Buku panduan bagi para pelancong tertata rapi di rak toko buku di pusat perbelanjaan di Jakarta. Buku panduan tersebut biasanya berisi informasi tentang makanan khas, cara menggunakan transportasi umum, hingga beragam tempat wisata yang wajib dikunjungi.
Pada zaman Belanda juga tersedia buku panduan wisata di Hindia Belanda. Buku panduan itu kebanyakan ditulis oleh orang-orang yang pernah tinggal atau berkunjung ke Hindia Belanda.
Menariknya, para penulis catatan perjalanan itu tak hanya mengulas soal kuliner lokal maupun kondisi wilayah yang dikunjungi. Mereka juga membahas kebiasaan masyarakat Hindia Belanda. Salah satunya siesta dan kebiasaan mandi.
Achmad Sunjayadi, dosen Program Studi Belanda FIB UI, dalam Pariwisata di Hindia Belanda (1891–1942) menjelaskan, siesta dapat diartikan sebagai beristirahat selama beberapa jam di kamar masing-masing atau duduk di kursi malas di serambi hotel.
“Para pengunjung disarankan tidak keluar hotel dan menghindari sinar matahari. Pada pukul empat sore setelah beristirahat mereka menikmati teh yang telah disiapkan oleh para jongos. Setelah itu mereka diminta menyegarkan diri dengan mandi,” tulis Achmad.
Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Pelancong dari Amerika, Eliza Scidmore mencatat mengenai siesta dan mandi setelah menikmati rijsttafel. “Setelah menyantap sajian riz tavel, semua orang kemudian tidur –sebagaimana yang lumrahnya pasti terjadi pada orang setelah memakan hidangan yang sangat ‘mengenyangkan’– sampai pukul empat sore, ketika mandi dan minum teh menyegarkan jiwa tropi,” kata Eliza.
Bila siesta usai menikmati rijsttafel, maka mandi setelah beristirahat beberapa jam. Kebiasaan mandi di negeri tropis Hindia Belanda merupakan keharusan. Namun, bagi mereka yang hidup di negara dengan empat musim seperti Eropa, kebiasaan mandi bukan hal yang umum. Tak sedikit dari mereka yang menganggap air sebagai bahaya dan memicu kecurigaan bahwa membasuh tubuh dengan air dapat membangkitkan gairah.
Di Batavia pada abad ke-17 dan ke-18, orang-orang Belanda, khususnya mereka yang lahir di Belanda, menolak untuk mandi. “Mereka menurut De Haan dikenal sebagai hydrophobia,” tulis Achmad.
Bahkan, menurut buku Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Volume 1, ketidaksukaan orang Belanda pada kebiasaan mandi menyebabkan dikeluarkannya peraturan khusus bagi serdadu Kompeni untuk mandi setiap delapan atau sepuluh hari sekali.
Baca juga: Charlie Chaplin Berkunjung ke Garut
Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta menyebut pada masa VOC orang Belanda mandi paling tidak seminggu sekali karena menganggap mandi sebagai kegiatan yang tidak sehat. Mereka kemudian mempelajari kebiasaan mandi setiap hari dari istri mereka, yang biasanya keturunan Indo dan telah terbiasa mandi sekali sehari atau lebih.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan mandi mulai dilakukan orang-orang Belanda yang menetap di Hindia Belanda. Salah satu alasannya karena bau badan yang menyengat dapat menganggu orang-orang di sekitarnya. Kamar-kamar mandi pun bermunculan di Batavia.
Tak hanya dilakukan orang-orang Belanda, kebiasaan mandi pun dikenalkan kepada para pelancong. Kebiasaan mandi serta gambaran kamar mandi dan cara mandi menjadi perhatian para penulis catatan perjalanan pada abad ke-19 dan ke-20. “Perkenalan dengan kebiasaan mandi dimulai di atas kapal dan berlanjut di hotel tempat mereka menginap,” tulis Achmad.
Pelancong William Barrington D’Almeida menyebut cara mandi di Hindia Belanda berbeda dengan di Eropa. Di Hindia Belanda, cara mandi dengan mengguyurkan ember kecil berisi air di kepala, seperti kebiasaan masyarakat setempat.
Baca juga: Membilas Sejarah Sabun
Pelancong lain, Anne Forbes diberitahu cara mandi di hotel oleh seorang wanita yang telah lama tinggal di Batavia. “…dengan mengguyurkan air dalam ember ke kepala; kalau tidak, saya pasti kebingungan ketika memasuki kamar mandi, tidak tahu apakah harus masuk ke bak besar yang berdiri di sana. Kamar mandi diatur sedemikian rupa agar tahan terkena guyuran air: jaring kayu, tempat berdiri orang yang mandi, menutupi lantai batu ubin, dan air mengalir deras dari pipa saluran lebar,” kata Anne dikutip Achmad.
Para penulis catatan perjalanan juga menggambarkan bentuk bak mandi yang berbeda dengan bak berendam (bathtub). Mereka pun diminta tak memasukkan badan ke dalam bak mandi untuk mencegah air menjadi kotor. Namun, ketidaktahuan para pelancong asing kerap memicu kesalahpahaman. Mereka yang kebanyakan baru pertama kali menginjakkan kaki di Hindia Belanda kerap menceburkan diri ke dalam bak mandi.
Untuk mengantisipasi kejadian tersebut, hotel-hotel memasang papan peringatan: Het is verboden in den mandiebak te baden of het water met zeep te verontreinigen artinya “Dilarang mandi di dalam bak mandi atau mengotori air dengan sabun”.
Oleh karena itu, Hotel de l’Univers di Batavia, yang dibuka oleh pengusaha Victor Thornerieux pada 1861, menjadikan kebiasaan mandi sebagai salah satu daya tarik. Iklan hotel yang berlokasi di kawasan Molenvliet ini menyebut memiliki fasilitas kolam mandi berisi air sungai.*