STUDY tour tengah menjadi sorotan setelah bus yang membawa siswa SMK dari Depok kecelakaan di Subang dan menelan banyak korban jiwa. Banyak orang pun mempertanyakan untuk apa study tour. Bahkan, ada pemerintah daerah yang melarang study tour ke luar daerah.
Study tour sudah lama menjadi kegiatan sekolah-sekolah setiap menjelang perpisahan. Tujuannya biasanya tempat-tempat bersejarah. Bila dilacak muasalnya, study tour berakar pada grand tour di Eropa.
Pada pertengahan abad ke-16, seorang bangsawan muda melakukan perjalanan dalam rangka memperbaiki perilaku dan meningkatkan tata kelola negaranya. Untuk tujuan tersebut, Italia dianggap sebagai model ideal. Kegiatan ini kemudian dikenal dengan sebutan grand tour.
Menurut Margarita Díaz-Andreu dalam A History of Archaeological Tourism: Pursuing Leisure and Knowledge from the Eighteenth Century to World War II istilah grand tour pertama kali digunakan dalam buku The Voyage of Italy atau A Compleat Journey through Italy karya Richard Lassels, yang diterbitkan di London pada 1670, sebuah buku yang cukup populer sehingga edisi barunya diterbitkan pada 1686 dan 1689.
Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Díaz-Andreu menyebut grand tour umumnya dilakukan oleh anggota kelas atas Inggris dan kemudian oleh rekan-rekan mereka yang merupakan Eropa-Amerika, terutama mereka yang berasal dari Prancis, Jerman, dan Amerika Utara. “Bagi orang Inggris, rencana perjalanannya melibatkan Prancis, terutama Paris, diikuti oleh Italia melalui Jerman dan Swiss. Tujuannya agar tiba di negeri-negeri yang akan dikunjungi secepat mungkin, tanpa mempertimbangkan kunjungan ke peninggalan kuno di negara lain, yang dianggap kurang menarik,” tulis Díaz-Andreu.
Tujuan utama grand tour adalah pendidikan; untuk memperbaiki kualitas diri anak-anak muda yang berkecukupan dalam berbagai bentuk seni, seperti musik, lukisan, patung, dan arsitektur. Perjalanan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran secara langsung mengenai peradaban kuno dari reruntuhan bangunan serta karya-karya seni yang ditinggalkan sebagai saksi masa lalu yang gemilang.
Reruntuhan itu semakin dilengkapi dengan penemuan-penemuan baru hasil investigasi arkeologi yang ditugaskan oleh Paus, yang kemudian menjadi objek wisata turis mancanegara. Meski begitu tak semua kunjungan ke Italia dapat dikategorikan sebagai grand tour.
Baca juga: Wisata Sumatra Era Kolonial
Menurut Bruce Redford dalam Venice and the Grand Tour ada beberapa hal yang menjadi penanda untuk dapat dikategorikan dalam perjalanan ini, di antaranya pertama, yang melakukan perjalanan adalah seorang pria bangsawan atau aristokrat muda Inggris; kedua, keberadaan seorang pendamping atau pemandu yang menemani sang bangsawan selama perjalanan –pendamping ini juga memikul tanggung jawab untuk memastikan pria muda yang ia damping merasa aman dan nyaman selama perjalanan; ketiga, rencana perjalanan yang tetap yang menjadikan Roma sebagai tujuan utama; keempat, durasi perjalanan memakan waktu yang lama, rata-rata dua atau tiga tahun.
Meski Italia menjadi negara tujuan utama, tidak ada rencana perjalanan yang ditetapkan dalam grand tour, dan dengan demikian tujuan perjalanan lebih bervariasi selama berabad-abad. Namun, pada abad ke-18, sebuah rute standar terbentuk, dengan Paris sebagai perhentian penting dan Roma sebagai puncak tur. Para pemuda Inggris biasanya menyeberangi Selat Inggris dari Dover ke Le Havre, Prancis. Mereka kemudian berkumpul dengan para pemuda dari negara lain seperti Prancis, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark di Paris untuk tinggal lebih lama. Di sana, para bangsawan muda itu mempelajari tata krama dan mode Prancis, serta mengambil pelajaran berkuda, anggar, dan menari.
Baca juga: Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing
Para pelancong kelas atas itu kemudian melakukan perjalanan menuju selatan ke Lyon dan menyeberang ke Italia melalui Pegunungan Alpen dan Mount Cenis Pass (lewat jalur darat) atau melalui laut dari Marseille ke Livorni atau Genoa. Begitu tiba di Italia, para pelancong biasanya akan mengunjungi Florence, Venesia, Roma, dan Napoli.
Florence terkenal dengan seni masa Renaisans. Para pelancong mencari akses masuk ke koleksi pribadi untuk mempelajari seni Leonardo da Vinci, Raphael, hingga Michelangelo. Sementara Venesia dikenal sebagai kota pesta dan banyak pengunjung yang ikut serta dalam karnaval tahunan. Kota ini juga menjadi tempat populer untuk memesan atau membeli karya seni, karena banyak turis mancanegara yang membawa pulang cenderamata.
Setelah mengunjungi Venesia, para pelancong kelas atas itu memperpanjang masa tinggal di Roma yang menjadi tempat perhatian terakhir dari grand tour. Di sana, mereka mempelajari reruntuhan kuno kota serta seni dan arsitektur Barok kontemporer. Perjalanan pulang sering kali mengambil rute timur, yang melewati Eropa Timur, Jerman, dan negara-negara Eropa Bawah –umumnya mereka singgah di kota-kota seperti Wina, Praha, Dresden, dan Berlin.
Baca juga: Jaminan Keselamatan Rakyat saat Melakukan Perjalanan
Seperti diungkapkan Bruce Redford, grand tour dilakukan oleh para bangsawan atau aristokrat muda karena membutuhkan biaya yang mahal. Di masa-masa kejayaannya, para pelancong yang mengikuti grand tour juga kerap menghabiskan uang untuk membeli cenderamata. Tak heran bila grand tour menyebabkan berkembangnya pasar barang antik yang berpusat di Roma, tetapi juga memicu masalah dengan kemunculan artefak-artefak palsu.
“Dalam daftar yang harus dilakukan oleh para pelancong, prioritas diberikan untuk membawa pulang cenderamata dari perjalanan mereka dalam bentuk benda-benda kuno, serta karya seni yang terinspirasi oleh peradaban dan budaya kuno. Hal ini mendorong ekspor barang antik secara terus-menerus yang tidak dapat dicegah oleh peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan namun tidak efisien yang bertujuan untuk menghentikan praktik ini selama abad ketujuh belas dan awal abad kedelapan belas,” tulis Díaz-Andreu.
Grand tour mencapai puncak popularitasnya pada abad ke-18 dan terus menurun pada abad ke-19. Menurut Judith Kapferer dalam Being All Equal: Identity, Difference and Australian Cultural Practice, seiring berjalannya waktu tur ini berkembang menjadi berbagai bentuk lain, salah satunya study tour. Perkembangan teknologi dan transportasi yang semakin canggih membuat biaya perjalanan ini menjadi lebih murah dan mudah diakses, sehingga tak hanya para bangsawan atau aristokrat muda, perjalanan ini juga dapat dilakukan oleh masyarakat umum, tak terkecuali anak-anak sekolah.*