Masuk Daftar
My Getplus

Wisata Sumatra Era Kolonial

Kaya akan pemandangan alamnya yang indah, Sumatra menyimpan potensi turisme sejak zaman pemerintah Hindia Belanda. Sayangnya, infrastruktur dan keamanan menjadi kendala.

Oleh: Martin Sitompul | 18 Mar 2021
Iklan promosi wisata Sumatra oleh maskapai pelayaran Belanda tahun 1930. Sumber: Repro buku "Menuju Sejarah Sumatra" karya Anthony Reid.

Seberkas iklan pariwisata zaman kolonial menerangkan informasi yang menarik. Terlihat peta Pulau Sumatra dengan titik destinasi wisata andalan yang terhubung satu sama lain. Mulai dari keelokan Danau Toba di jantung Tanah Batak, pesona rumah gadang di Kota Padang, hingga Pulau Nias nan eksotis. Tempat-tempat wisata itu dapat dikunjungi lewat dua jalur rute perjalanan, yakni Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatra.

“Sebuah tamasya yang indah untuk perjalanan liburan Anda berikutnya,” demikian pesan promosi yang ditawarkan Perusahan Pelayaran Belanda (KPM) bertitimangsa 1930 itu.

Menurut sejarawan Achmad Sunjayadi, kegiatan kepariwisataan di Sumatra pada masa kolonial tidak kalah dengan kepariwisataan di Jawa. Pada akhir abad  ke-19 hingga awal abad ke- 20, sejumlah destinasi wisata di Sumatra banyak tersua dalam buku catatan perjalanan maupun buku panduan turisme. Kebanyakan objek wisata yang ditawarkan adalah wisata pemandangan alam seperti gunung berapi, pegunungan, air terjun, ngarai (lembah), dan danau. Objek lain yang juga menjadi perhatian adalah bentuk bangunan rumah, seperti rumah gadang di wilayah Pantai Barat Sumatra.

Advertising
Advertising

Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia

“Perbedaan dengan di Jawa adalah belum semua wilayah di Sumatra dipersiapkan untuk kegiatan wisata, khususnya sarana infrastruktur dan akomodasi yang baik,” kata pengajar Prodi Sastra Belanda UI yang meneliti “Pariwisata di Hindia Belanda” sebagai disertasinya ini kepada Historia

Terbentur Infrastruktur

Perhatian terhadap kegiatan kepariwisataan di Sumatra sebenarnya telah dipikirkan oleh beberapa pejabat kolonial yang progresif. Salah satunya ialah Louis Constant Westenenk, seorang pejabat kolonial di wilayah Pantai Barat Sumatra. Dia memperkenalkan potensi turisme, terutama kawasan bovenlanden (dataran tinggi) di Pantai Barat Sumatra.

Pada 1907, Lois menyusun buku Veertien dagen in de Padangsche Bovenlanden. Karya tersebut pada 1913 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris bekerja sama dengan Vereniging Toeristenverkeer – VTV, asosiasi turisme Hindia Belanda – menjadi Sumatra: Illustrated Tourist Guide. A fourteen day’s trip in the Padang Highlands (the land of Minangkabau).  Buku itu menjadi rujukan penting bagi para turis maupun pelancong yang ingin berkunjung ke dataran tinggi Minangkabau.

Baca juga: Turis Bukan Hanya Orang Asing

Pada 1916, di Padang lahir Vereeniging Toeristenbelang op Sumatra (VTS). Para pengurus dan anggota VTS merupakan gabungan dari pemerintah dan pengusaha yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan, seperti pelayaran, kereta api, perbankan, perhotelan. Dari organisasi itu promosi dilakukan untuk menawarkan daya tarik objek wisata

“Kebijakan pemerintah kolonial yang terpenting adalah promosi. Wilayah yang dipromosikan adalah Keresidenan Pantai Barat Sumatra dan Tapanuli,” ungkap Achmad Sunjayadi.

Baca juga: Ketika Ibukota Kesultanan Deli Pindah ke Medan

Potensi turisme di Sumatra sayangnya tidak dipoles dengan infrastruktur dan akomodasi yang memadai. Kendala ini mengakibatkan industri wisata tidak dapat menyentuh seluruh wilayah. Karena pertimbangan stratergis, hanya segelintir yang mendapat dukungan infrastruktur. Daerah perkebunan Deli di Medan dan kota benteng pertahanan seperti Fort de Kock di Bukittinggi dan Fort van der Capellen di Batu Sangkar adalah beberapa diantaranya. Pemerintah kolonial menaruh perhatian untuk mengembangkan wisata di sana sebab keuntungan ekonomi dan keamanan sudah terjamin. Tantangan lainnya, pemerintah ketika itu lebih mengedepankan Jawa daripada Sumatra.

“Hal ini menjadi kritik Vereeniging Toeristenbelang op Sumatra terhadap Vereniging Toeristenverkeer di Batavia yang lebih menitikberatkan Jawa,” kata Sunjayadi lagi.

Perbaikan Infrastruktur

Selain promosi, pemerintah kolonial berupaya membangun dan memperbaiki infrastruktur berikut sarana penunjang kegiatan kepariwisataan. Akan tetapi, membutuhkan waktu panjang untuk mewujudkan itu semua. Sebagaimana dicatat sejarawan Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia, “jalan trans-Sumatra dibahas untuk pertama kali pada 1916, tetapi baru akhirnya selesai pada 1938.”

Menurut Achmad Sunjayadi, pembangunan jalan di beberapa wilayah di Sumatra sudah dimulai sejak awal abad ke-19. Mengutip Encyclopedia van Nederlandsch Indië  pembangunan itu bermula dari Padang menuju wilayah di pedalaman. Salah satu jalurnya melewati Lembah Anai. Jalur lainnya melewati Tiku menuju Lubuk Basung dan Matua. Jalur lain menghubungkan Fort de Kock dan Lembah Bonjol.  

“Pembangunan jalan lintas Trans Sumatra pada 1920-an tentu memiliki kontribusi untuk kegiatan kepariwisataan di Sumatra, khususnya para wisatawan atau pejalan (travellers) yang menggunakan mobil (wisata mobil),” jelasnya. Wisatawan tipikal demikian adalah mereka yang senang bertualang dan memiliki banyak waktu menjelajah dari satu tempat ke tempat lain.

Baca juga: Jalan Panjang Menghubungkan Sumatra

Sebelumnya, para wisatawan hanya mengandalkan jalur laut. Minimnya minat wisatawan tipikal petualang di Sumatra lantaran tidak di semua kota tersedia akomodasi yang memadai dan juga tawaran untuk melihat objek wisata. Hal lain adalah faktor keamanan. Belum ada asuransi yang berani menjamin keamanan para wisatawan yang plesiran di Sumatra saat itu.

Proyeksi pemerintah kolonial dalam kepariwisataan memang tidak pernah terwujud. Pada 1942, Jepang datang mengakhiri negara kolonial Hindia Belanda. Setelah itu,  zaman Indonesia merdeka berlangsung sampai saat ini.

Kendati zaman berubah, Achmad Sunjayadi melihat adanya kesinambungan pengembangan kepariwisaan dari masa kolonial hingga era Indonesia. Seperti contoh, Danau Toba merupakan salah satu objek wisata yang disarankan dan dipromosikan dari dulu sampai sekarang. Begitu pula dengan objek wisata rumah gadang yang pernah menjadi ikon promosi kepariwisataan masa kolonial di Sumatra. Meskipun saat ini rumah gadang di Sumatra Barat sudah tidak sebanyak pada masa kolonial.

Baca juga: Utamakan Nilai Ekonomi, Ancaman Bagi Situs Bersejarah

Menurut Achmad, yang perlu dibenahi saat ini adalah sinergi berbagai pihak untuk kemajuan wilayah. Apalagi kini bergulir pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra yang dapat  mempermudah wisatawan petualang menjelajahi wilayah Sumatra.

“Meminjam konsep pentahelix pada kegiatan kepariwisataan masa kini yaitu bisnis (pengusaha), pemerintah (dari pusat hingga desa), komunitas, akademisi, dan media yang akarnya ternyata sudah ada pada masa kolonial. Lalu bagaimana mengedukasi para wisatawan untuk ikut juga berperan (wisatawan atau pejalan bijak) dalam kegiatan kepariwisataan, supaya tidak hanya sekedar sebagai tamu,” pungkasnya.  

TAG

pariwisata

ARTIKEL TERKAIT

Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing Jaminan Keselamatan Rakyat saat Melakukan Perjalanan Kecak dari Sakral Jadi Profan Merekam Dua Sisi Pematangsiantar Hanandjoeddin dan Sejuta Pesona Pariwisata Belitung Awal Mula Pelesiran Lebaran ke Kebun Binatang Tari Kecak Mencoba Terus Menari Kala Pandemi Cerita di Balik Pembangunan TMII Pudarnya Pesona Hostel Pertama di Jakarta Perjalanan Habitat Ora atau Komodo Menjadi Tempat Wisata