Travelling sudah menjadi gaya hidup muda-mudi generasi milenial dan generasi Z. Work from Bali, misalnya, sempat gencar saat pandemi dan pembatasan kegiatan perkantoran. Para pekerja memanfaatkan momen ini untuk bekerja dari luar kota atau tempat-tempat wisata di daerah luar tempat tinggal mereka. Banyak pula masyarakat yang memiliki anggaran khusus untuk travelling.
Fenomena tersebut pun dijadikan peluang usaha berbagai pihak. Banyak tempat wisata kini menyediakan penginapan, mulai dari hotel berbintang, cottage, villa, resor, hingga hostel. Bahkan, warga yang memiliki rumah cukup besar dengan fasilitas lengkap akan menyediakan kamar tersendiri untuk disewakan kepada wisatawan, dikenal dengan homestay.
Pendirian homestay saat ini diatur oleh Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No. 4 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha. Sarana dan prasarana apa saja yang harus ada saat pendirian homestay (pondok wisata) ditentukan dalam peraturan tersebut.
Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Sejatinya, peraturan semacam itu bukan hanya ada di masa kini. Pada 1865, Sultan Hamengkubuwono VI menulis surat untuk Tumenggung Natapraja selaku jaksa hukum pradata, berisi tentang peraturan mengenai perundang-undangan tradisional. Peraturan tersebut digunakan untuk mengadili rakyat yang berselisih. Salah satu yang diatur adalah perihal menginap di perjalanan.
Ada dua teks yang mengatur mengenai penginapan dan orang yang menginap ketika di perjalanan, yaitu Serat Angger Pradata Awal dan Serat Angger Pradata Akhir. Serat yang terakhir merupakan penyempurna dari Serat Angger Pradata Awal.
Pada Serat Angger Pradata Awal dikatakan apabila rakyat Kasultanan Yogyakarta melakukan perjalanan dan harus bermalam di desa-desa, maka pilihlah tempat menginap di rumah pembesar, perangkat desa, dan pemimpin agama. Ada perbedaan jaminan keselamatan bagi tamu dengan tujuan bekerja dan bukan. Jika tamu bertujuan bekerja, maka jaminan keselamatan diberikan selama ia perlu menginap. Sedangkan tamu dengan tujuan selain bekerja, jaminan keselamatan yang diberikan hanya satu hari satu malam.
Jika tamu yang menginap mengalami kehilangan barang bawaan, keluarga yang diinapi harus mengganti rugi sebesar tiga kali lipat (tribaga). Selanjutnya akan ada sumpah antara tamu dan tuan rumah di hadapan seluruh warga desa. Apabila ditemui tanda-tanda pencurian dari pihak lain, ganti rugi akan dikembalikan.
Baca juga: Pesona Wisata Pulau Dewata
Peraturan ganti rugi karena kehilangan ini berbeda apabila terjadi pada perangkat desa. Apabila perangkat desa mengalami kehilangan saat menginap di rumah rakyat kecil, maka tuan rumah tidak akan dituntut ganti rugi. Hal tersebut dianggap sebagai kesalahan pejabat perangkat desa itu sendiri.
Oleh sebab itu, untuk perangkat desa yang sedang melakukan perjalanan, dianjurkan memilih rumah pejabat setempat untuk tempat menginap. Apabila rumah pejabat perangkat desa jauh, boleh di rumah rakyat kecil namun harus dijaga oleh semua orang di desa tersebut. Maka jika tamu kehilangan, seluruh rakyat desa bertanggung jawab dengan mengganti rugi. Dalam hal ini jika pemilik rumah kecurian, hal pertama yang dilakukan adalah memberitahu pada tamu yang menginap.
“Jika ditemukan bukti, barang yang hilang berada pada yang menginap atau pembantunya, yang menginap harus menggantinya seperti keadaan semula. Dalam hal itu yang kehilangan harus disumpah, barangkali ia angruba gini (memasang jebakan). Jika sudah ketahuan barang buktinya, orang yang kehilangan segera memberitahu kepada pemerintah, serta barang buktinya dipegang oleh pejabat kliwon ke atas,” demikian kata Serat Angger Pradata Awal.
Peraturan jaminan keamanan bukan hanya mengatur tentang benda-benda saja namun jiwa tamu juga dijamin. Penduduk desa yang diinapi harus bertanggung jawab jika terjadi pemukulan terhadap tamu. Apabila ada tamu yang menginap dipukuli hingga menderita luka, maka penduduk desa didenda 25 reyal dan bila meninggal, didenda 50 reyal. Denda dapat dikembalikan jika sudah diketahui pelaku pemukulan tersebut dan nanti pemerintah pusat yang akan mengurus perkaranya.
Penjelasan lebih lanjut pada peraturan-peraturan sebelumnya ditulis kembali pada Serat Angger Pradata Akhir. Serat ini mengatur, ketika pejabat perangkat desa bermalam karena suatu perjalanan, di manapun pilihannya, di rumah rakyat kecil maupun rumah pejabat, tetap dijamin keamanannya. Jika tamu dengan titel pejabat desa kehilangan barang, maka si pemilik rumah harus mengganti. Jika dibegal dalam perjalanan, juga harus dilindungi dengan cara membunyikan kentongan di rumah terdekat untuk segera memburu pencuri.
Baca juga: Wisata Sumatra Era Kolonial
Untuk rakyat yang memiliki kebutuhan bekerja dan berdagang, dalam peraturan awal diperbolehkan menginap sepanjang kebutuhan waktunya. Akan tetapi pada Serat Angger Pradata Akhir disarankan untuk bergantian dari satu rumah ke rumah lain dan salah satu rumahnya harus rumah lurah.
“Apabila lurah sedang bepergian, maka kamituwa punya kewajiban untuk melindungi tamunya selama sehari semalam,” kata Serat Angger Pradata Akhir.
Oleh sebab itu, jika terjadi kemalingan maka pemilik rumah harus mengganti tiga kali lipat. Kemudian apabila suatu hari si maling dapat ditangkap, harus diselesaikan dengan musyawarah. Demikianlah jaminan keselamatan rakyat saat melakukan perjalanan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI.