Masuk Daftar
My Getplus

Albert Dietz dan Pangeran Yogyakarta yang Dibuang

Seorang dukun mengaku pangeran keturunan Sultan Yogya. Meresahkan banyak pihak, termasuk pemerintah kolonial.

Oleh: Petrik Matanasi | 26 Agt 2024
Ratu Kedaton, permaisuri Sultan Hamengkubuwono V, dibuang bersama putranya karena menuntut takhta. Menginspirasi seorang untuk mengaku sebagai keturunannya. (Tropenmuseum/Wikipedia.org)

APARAT hukum kolonial terpaksa sibuk karena ulah seseorang. Kendati tidak membahayakan pemerintah kolonial atau kerajaan Belanda, orang tersebut dianggap sakti  dan dianggap “Ratu Adil” yang mengaku keturunan Sultan Hamengkubuwono (HB) V. Orang itu adalah Albert Dietz.

“Albert Dietz alias Gusti Muhammad Herucokro alias Haji Mohammad Ngusman dikabarkan sebagai anak tunggal Sultan Hamengkubuwono V dari Yogyakarta dengan Ratu Kedaton, yang ikut ibunya yang dibuang ke Manado. Pada 1915 dia tinggal di Ungaran, Semarang. Sejak itu dia berusaha menuntut haknya atas tahta kerajaan Yogyakarta,” catat Kuntowijoyo dalam Muslim tanpa Masjid.

Pada hari Jumat, 24 April 1929, kepolisian dan kejaksaan Semarang mendatangi rumah Albert Dietz di Urangan. Koran De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 2 Mei 1929 memberitakan, lelaki yang dianggap Herucokro itu dikenal juga sebagai seorang tabib, dukun sakti ajaib, peramal, dan sejenisnya. Dengan citra saktinya itu dia mencari uang dari penduduk yang hidupnya masih tradisional. Wajahnya putih mirip Tionghoa, janggutnya lebat dan rambutnya panjang penuh uban.

Advertising
Advertising

Ketika aparat datang, Albert menyelipkan keris kecil di depan dadanya. Sesuatu yang tak umum dilakukan orang Jawa kecuali dalam keadaan perang demi menegakkan martabat. Rumah Albert lalu digeledah. Dari sebuah kotak besar miliknya, aparat mentemukan sejumlah tombak, keris, pedang, sebuah senapan berburu, dan sebuah pistol. Di antara kerisnya, beberapa telah diberi bumbu racun –mungkin dengan serpih batu arsenik– bagian ujungnya. Albert Dietz kemudian dibawa untuk diamankan.

Dari informasi yang didapat pemerintah, dulunya dia pernah mengaku sebagai keturunan Eropa dengan nama Albert Dietz yang disandangnya. Di lain waktu, dia bilang dirinya orang Jawa atau Manado. Namun yang membuat orang ragu, kemampuan bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa yang ada padanya cukup buruk. Gerak-gerik Harucokro sejatinya sudah tercium sejak sekitar 1914.

“Rupanya orang ‘Jawa’ ini menyerahkan diri pada rahasia keturunan atau reinkarnasi putra Ratoe Kedaton yang saat itu diasingkan ke Menado,” kata Zentgraaff di koran Algemeen Handelsblad tanggal 10 Juni 1929.

Setelah diselidiki lebih lanjut, rupanya Albert Dietz adalah orang Indo-Eropa. Dia dilahirkan di Pangkajene, Sulawesi Selatan sebagai anak dari seorang juru tulis di Landraad (pengadilan rendah dan untuk pribumi). 

Albert Dietz sudah mendengar tentang kisah Ratu Sekar Kedaton dan putranya yang malang. Ratu Kedaton sendiri merupakan permaisuri Sultan HB V. Konon salah satu selir HB V berulah hingga membuat sultan meninggal dunia. Setelah Sultan HB V meninggal dunia, putranya dengan Ratu Kedaton yang –semestinya menjadi pewaris tahkta; bernama Gusti Raden Mas Timur Muhammad– lahir tak lama setelah sultan meninggal, tak pernah diakui sebagai penerus takhta Kesultanan Yogyakarta.

Ratu Kedaton selaku janda Sultan HB V bergerak menuntut takhta anaknya dengan diplomasi, lalu pemberontakan. Hai itu membuatnya dibuang ke Manado. Putra Kedaton yang bernama Gusti Raden Mas Timur Muhammad (1855-1901) itu dikenal sebagai Pangeran Ario Soerjenglogo.

Albert Dietz mengaku dirinya adalah Pangeran Ario Soerjenglogo. Padahal, Raden Mas Timur meninggal dunia pada 12 Januari 1901. Ratu Kedaton sendiri meninggal setelahnya, 25 Mei 1918. Keduanya meninggal di pembuangan. Namun lewat Albert Dietz, imajinasi tentang putra Ratu Kedaton tetap hidup. Setelah jadi titisan Pangeran Ario Soerjenglogo, Albert Dietz mengaku mengalami perjalanan hidup yang luar biasa.

“Dia menjadi anak angkat orang Belanda, dan mendaftar dengan nama Albert Dietz pada Europeesch Lagere School. Dia pergi ke Belanda, Jerman, Belgia, dan menunaikan ibadah haji,” catat Kuntowijoyo. Dengan bekal ilmu dan pengalaman dari kelananya itu, dia lalu dikenal sebagai guru ngelmu yang bisa menyebuhkan bermacam penyakit dan memberi jimat dengan pengikut di Yogyakarta dan Surakarta.

TAG

sultan hamengkubuwono kesultanan yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Beda Cara Polisi Dulu dan Sekarang dalam Berpolitik Partai Murba Seperti Tan Malaka