Sebagai salah satu wilayah permukiman lama yang pernah diduduki Belanda dan Jepang, Pematangsiantar di Sumatra Utara bergelut dengan banyak perubahan. Namun, di tengah geliat perkembangan masa, jejak-jejak masa lalu tidak lantas hilang. Salah satu jejak masa lalu itu adalah kebiasaan masyarakat berkumpul di kedai kopi pada pagi hari.
Kegiatan itu tidak hanya soal mengisi perut, melainkan sebuah aktivitas sosial. Kegiatan sarapan ini merupakan sarana masyarakat untuk berdiskusi tentang apa saja dengan siapa saja yang mereka temui di kedai kopi. Dengan tradisi sarapan itu juga, masyarakat turut menjaga eksistensi kuliner khas Pematangsiantar, yaitu kopi Siantar, cakwe, dan roti srikaya.
“Sarapan di kedai begini memang sudah menjadi kebiasaan kami sekeluarga bahkan dari dulu dari zaman ayah saya. Beliau sudah sering mengajak saya sarapan kopi dan roti di berbagai kedai disini.” Kata Edward (42) yang datang bersama anak dan istrinya.
Baca juga: Saksi Bisu Kerusuhan Mei 1998 di Glodok
Jejak sejarah lain yang dapat kita lihat adalah Hotel Siantar, yang dibangun dan beroperasi pada masa pendudukan Belanda di wilayah itu, pada 1915. Saat ini, ada banyak hotel lain di Pematangsiantar. Namun, seperti halnya tradisi sarapan di kedai kopi, Hotel Siantar tetap memiliki daya tarik tersendiri.
Seiring perkembangan zaman pula, Pematangsiantar semakin ramai. Suasana pagi yang dulu relatif tenang, berubah menjadi lebih ramai. Banyak orang berlalu-lalang dengan bentor atau becak motor. Ada pula warung kwetiau dengan asap dan wangi membuat kita tak tahan untuk berhenti dan mencicipnya.
Baca juga: Saat Jakarta Sunyi karena Pendemi
Ketika malam datang, suasana kota semakin menarik dengan kehadiran kendaraan bermotor dengan lampu berwarna-warni yang biasa disebut odong-odong. Merekam Pematangsiantar di saat ini seperti melihat dua dunia yang berbeda. Perilaku masyarakatnya pada masa kini beriringan dengan suatu pemahaman untuk terus menjaga sebuah tradisi.
Boleh jadi, tradisi sarapan di kedai kopi menjadi sebuah filter alami yang menjembatani perubahan zaman dan peralihan generasi. Tradisi ini seperti fenomena yang menumbuhkan harapan bahwa Pematangsiantar akan terus berkembang tanpa kehilangan identitas dan keunikan mereka sendiri.
Baca juga: Dihantam Pandemi Bali bak Kota Mati