Nama Mario Dandy Satrio mendadak jadi pemberitaan. Anak seorang pejabat di instansi pajak itu viral karena menganiaya David Latumahina hingga koma.
Laku tercela Mario tak hanya berbuah pahit bagi dirinya dengan ditetapkan menjadi tersangka dan dikeluarkan dari kampusnya, netizen ramai mencela ulahnya. Terlebih, Mario hobi pamer harta. Banyak netizen pun menghujat ulah sombongnya itu.
Fenomena suka pamer bukanlah "barang" baru di negeri ini. Fenomena sosial yang tak lazim juga muncul setelah Revolusi Sosial meletus di Sumatra Timur. Orang yang tadinya hanya jalan kaki ke mana-mana, kini mempunyai mobil. Mereka yang semula hidupnya biasa-biasa sekarang telah bergelimang harta. Mereka hilir-mudik memborong ke pasar, membelikan istri mereka pakaian dan perhiasan.
Itulah pemandangan masyarakat di Pematang Siantar yang disaksikan Muhamad Radjab, wartawan Kantor Berita Antara pada 23 Juli 1947. Radjab salah satu anggota rombongan utusan Kementerian Penerangan untuk meliput keadaan revolusi di Sumatra. Menurutnya orang-orang yang kaya mendadak di Sumatra Timur beratus-ratus jumlahnya. Mereka tampil mencolok dengan pameran harta yang entah dari mana asalnya.
“Oleh rakyat di sana mereka dinamakan OKB (Orang Kaya Baru), atau kaum feodal baru, yang menggantikan kaum feodal yang dibasminya setahun yang lalu,” sentil Radjab dalam memoarnya Tjatatan di Sumatra yang diterbitkan pada 1949.
Baca juga: Masa Lalu Orang Kaya Baru
Lahirnya kelompok sosial OKB merupakan imbas Revolusi Sosial yang terjadi tahun 1946. Pada 3 Maret, pemimpin-pemimpin laskar Pesindo, PNI, dan PKI melancarkan aksi sepihak terhadap kerajaan-kerajaan lokal di Sumatra Timur. Kelompok laskar ini bergerak di bawah payung organisasi Persatuan Perjuangan. Gerakan tersebut berlangsung hingga bulan April.
Menurut sejarawan Anthony Reid, tujuan para pemimpin laskar melenyapkan raja-raja sebagai potensi sekutu bagi Belanda. Kemudian, harta kekayaan kerajaan yang melimpah disita untuk kepentingan perjuangan nasional. Dan akhirnya, menghapuskan feodalisme dengan memajukan Revolusi Sosial.
Revolusi Sosial berlangsung mulus di Tanah Karo, Kesultanan Serdang, dan sebagian kerajaan di wilayah Simalungun. Penguasa setempat berhasil disingkirkan tanpa pertumpahan darah. Para bangsawan ditahan dalam pengawalan tentara Republik dan sebagian besar harta istana disita. Namun, pertumpahan darah terjadi di wilayah lain, terutama di distrik selatan yang tersebar (Asahan, Kualuh, Bila, Panai, dan Kota Pinang), Kesultanan Langkat, Pane, dan Kerajaan Raya di Simalungun. Di kerajaan-kerajaan itu banyak keluarga istana yang terbunuh serta harta-benda istana dijarah sampai ludes.
Baca juga: Timur Pane: Lakon Sang Bandit
“Hanya di sedikit wilayah saja ada perlawanan balik dari para pendukung raja-raja, dan yang paling mencolok ialah di Sunggal, tempat sekitar 40 orang mungkin tewas dalam pertempuran itu,” catat Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia.
Menurut aturan Revolusi Sosial, mereka yang masih mempertahankan feodalisme harus ditangkap, ditawan, dan proses pengadilan akan menentukan nasib mereka. Apakah mereka harus dihukum atau cukup diasingkan dari lingkungan. Kendati demikian, pelaksanannya tidak selalu seturut dengan aturan.
Seorang penyair religius yang masih keluarga Kesultanan Langkat, Teungku Amir Hamzah, menjadi salah satu korban tidak bersalah dari Revolusi Sosial ini. Sebaliknya, seorang perampok bisa saja memimpin penjarahan ke kediaman sultan dengan dalih menjalankan revolusi. Dendam di masa silam terhadap kaum feodal ini acap menyulut perbuatan sadis. Pemerkosaan terhadap wanita keluarga kesultanan hingga penganiayaan anak-anak jadi cerita kelam dalam Revolusi Sosial.
Baca juga: Hikayat Amat Boyan dan Pasukan Cap Kampak
“Peristiwa itulah yang disebut Revolusi Sosial. Revolusi yang ditujukan kepada kaum feodal. Padahal mereka itu adalah bangsa Indonesia sendiri. Namun, hukum revolusi berjalan menurut kodratnya, keras, spontan, dan memakan korban. Tidak sedikit mereka yang habis tanpa melalui proses pengadilan,” ungkap veteran tentara pelajar front Medan Area Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area.
Harta yang dijarah pun bukannya diurus dengan benar. Para laskar maupun sekelompok atas nama rakyat yang terlibat dalam aksi itu menangguknya untuk kepentingan mereka sendiri. Ini seperti disebut Suprayitno, sejarawan Universitas Sumatra Utara, dalam makalahnya “Revolusi Sosial di Sumatra Timur 1946”.
“Setelah menyerbu Istana Langkat, barisan bersenjata itu bertebaran ke Jawa dan Malaya. Tiga kaleng sigaret 555 penuh berisi intan berlian sebesar-besar buah kemiri telah dirampas dan dijual ke Pulau Pinang. Mereka tidak kembali lagi ke induk pasukannya untuk melanjutkan perjuangan,” tulis Suprayitno.
Baca juga: Lagak Laskar Sumatra Timur
Kisah pencoleng inilah yang dicatatkan Radjab dalam reportasenya di Pematang Siantar. Hasil jarahan Revolusi Sosial itu masuk dalam kantung para pemimpin yang cerdik tapi licik. Di satu pabrik yang dikuasai kelompok laskar, sudah setahun sejak bergulirnya Revolusi Sosial tiada pembagian pakaian kepada kaum buruhnya. Uang untuk membeli bahan pakaian yang melimpah-limpah di Pasar Siantar bukannya tidak ada. Hanya saja para pemimpinnya enggan untuk sekadar berbagi dengan mereka orang-orang bawahan.
“Kekayaan yang diperolehnya dengan cara begini, dengan mengisap darah kaum buruhnya, dipakainya untuk membeli gedung, oto, perhiasan yang bagus-bagus untuk istrinya –yang ikut beruntung dengan adanya revolusi ini– dan untuk belanja pelesir mondar-mandir di jalan raya,” tandas Radjab.
Kapitalisme Belanda dan Jepang, ucap salah seorang buruh dikutip Radjab, digantikan oleh kapitalisme bangsa sendiri. Suatu kesenangan yang tidak pernah dirasakan manusia-manusia culas itu di masa penjajahan Belanda maupun pendudukan Jepang. Demikianlah sekilas cerita Orang Kaya Baru tempo dulu.
Baca juga: Ketika Wartawan Dipalak Laskar Sumatra