BERPOSE dengan mengatakan cheese telah menjadi ciri khas budaya foto populer masa kini. Tak heran bila kemudian kata ini umum digunakan untuk mengarahkan orang agar tersenyum saat difoto. Kebiasaan tersenyum di depan kamera mulai muncul pada awal abad ke-20. Sebelum itu, foto-foto yang dipotret pada abad ke-19 umumnya menampilkan wajah-wajah dengan ekspresi serius atau datar dengan tatapan mata yang seringkali kosong.
Di era Victoria, senyum menampilkan gigi saat difoto tak umum untuk dilakukan. Hal ini dianggap tidak sopan bagi orang-orang kalangan atas. Menurut Marcus Collins dalam For the Culture: The Power Behind What We Buy, What We Do, and Who We Want to Be, tersenyum di depan kamera semakin dihindari karena pada masa itu para praktisi seni rupa menganggap bahwa tersenyum adalah sebuah praktik yang hanya dilakukan oleh para petani, pemabuk, atau anak-anak.
“Pada dasarnya, tersenyum dalam sebuah foto berarti anda berasal dari kelas yang lebih rendah; oleh karena itu, orang tidak akan tersenyum dalam foto sebagai strategi untuk memproyeksikan status sosial yang mereka inginkan,” tulis Collins.
Baca juga:
Maka sangat jarang menemukan seseorang tersenyum lebar atau menampilkan gigi mereka saat berpose di depan kamera karena pada masa itu hanya orang-orang berdompet tebal yang dapat memiliki potret diri. Alih-alih mengatakan cheese, para fotografer di abad ke-19 biasanya menginstruksikan orang-orang yang akan difoto untuk mengucapkan prunes agar bisa mendapatkan tampilan bibir yang terkatup, yang dianggap lebih menarik dan menjadi mode era itu.
Untuk memberi kesan hangat dan bahagia dalam sebuah foto keluarga, Christina Kotchemidova menulis dalam Why We Say “Cheese”: Producing the Smile in Snapshot Photography, termuat di Critical Studies in Media Communication Vol. 22 No. 1, March 2005, orang-orang di era Victoria biasanya akan mengambil foto di depan properti keluarga.
“Aturan tata krama di masa lalu mewajibkan mulut untuk dikontrol dengan hati-hati; standar kecantikan juga menganggap mulut yang kecil lebih menarik. Oleh karena itu, studio foto pertama di London, yang didirikan pada tahun 1841, mengadopsi ungkapan ‘say prunes’ untuk membantu orang yang sedang difoto membentuk mulut yang kecil,” tulis Kotchemidova.
Kebiasaan mengatupkan bibir saat akan difoto tak hanya populer di Inggris. Kebiasaan ini menyebar luas ke berbagai wilayah, termasuk Amerika Serikat. Namun, di Negeri Paman Sam inilah kebiasaan tersebut mulai ditinggalkan ketika Eastman Kodak, perusahaan yang berbasis di New York dan mendominasi industri fotografi, melancarkan promosi produk mereka yang dianggap merevolusi cara pandang dan kebiasaan orang-orang dalam berfoto. Hal ini kemudian dikenal sebagai Kodak culture.
Baca juga:
Foto di Warung Padang Ini Dicap Orang Sakti
Hingga pergantian abad menuju abad ke-20, fotografi adalah milik orang-orang kaya dan dipandang sebagai upaya serius yang digunakan untuk ekspresi artistik serta dokumentasi arsip. Oleh karena itu orang tidak banyak mengambil foto. Namun dengan produksi kamera Brownie seharga $1 pada tahun 1900, Kodak secara agresif mulai menciptakan pasar massal. Guna menarik minat lebih banyak konsumen, Kodak memasarkan produknya sebagai permainan atau hal yang menyenangkan. Kehadiran Kodak Girl -seorang gadis berpakaian penuh gaya yang berperan sebagai ikon penjualan utama Kodak selama 80 tahun- yang mengambil foto anak-anak, liburan, jalan-jalan, dan piknik dengan kamera portabel, juga berperan besar dalam membentuk pandangan masyarakat bahwa mengambil foto maupun difoto merupakan pengalaman yang menggembirakan.
Menurut Michael Morris dalam Tribal: How the Cultural Instincts That Divide Us Can Help Bring Us Together, tak hanya memperkenalkan Brownie, kamera yang murah dan mudah digunakan, serta Kodak Girl, perusahaan ini juga menyumbangkan kamera ke sekolah-sekolah dan kelompok kepanduan seperti Pramuka untuk memikat anak-anak muda. Strategi pemasaran lain yang dilakukan Kodak adalah dengan mengadakan kontes foto amatir dan menerbitkan foto-foto orang Amerika biasa yang berseri-seri saat piknik, parade, dan pesta dansa. Sebuah bulletin yang dimiliki perusahaan ini, Kodakery, bahkan mengajarkan trik-trik untuk membangkitkan senyuman di wajah orang-orang yang akan difoto, mulai dari memberikan mainan untuk bayi hingga meminta orang dewasa untuk mengatakan “cheese”.
“Strategi pemasaran Kodak yang mengajak orang-orang untuk mengabadikan momen membahagiakan dan menyenangkan bersama orang-orang terdekat inilah yang membuat orang Amerika pada awal abad ke-20 mulai terbiasa melihat orang lain tersenyum di depan kamera. Tersenyum menjadi praktik yang dapat diterima, dan hal ini membuat lebih banyak foto tersenyum yang beredar,” tulis Morris.
Baca juga:
Juru Foto di Bawah Desingan Peluru
Lambat laun, orang-orang mulai terbiasa mengatakan cheese saat akan difoto. Kotchemidova berpendapat bahwa melalui foto-foto semacam itu, publik telah menyerap sepenuhnya ide-ide tentang bagaimana membuat foto, serta ekspresi wajah dan pose apa yang harus dilakukan saat difoto untuk menciptakan kesan kepuasan dan integrasi sosial: “Tidak peduli seberapa bosan kita di sebuah pertemuan sosial, kita selalu tersenyum di depan kamera.”
Hal ini pula yang kemudian melatarbelakangi kepopuleran kata cheese saat berpose di depan kamera. Sejarawan Andrew Thompson menulis dalam Why Does Coffee Make You Poop? The Ultimate Collection of Curious Questions and Intriguing Answers, kata ini berguna untuk tujuan fotografi, karena bunyi “ch” menyebabkan seseorang membuka bibir, sementara bunyi “ee” menarik pipi ke arah luar, dan memunculkan gigi dalam pose yang menyerupai senyuman.
Pada akhirnya, pandangan orang tentang foto telah berubah, dan akibatnya, perilaku mereka pun berubah dengan cara yang sistematis dan dapat diprediksi. Melalui upaya pemasarannya, Kodak mampu membalikan arus konsumsi, bukan karena kemajuan produk tertentu saja, tetapi lebih karena pemahamannya terhadap budaya.