Orang Indonesia begitu semangat memasuki bulan suci Ramadan. Salah satunya kegiatan pulang ke kampung halaman atau lebih dikenal dengan istilah mudik. Kata mudik berasal dari kata udik yang artinya hulu. Alkisah, pada zaman dahulu sebelum migrasi urban terjadi di kota-kota besar Indonesia, banyak wilayah kampung disebut udik. Ini misalnya tersua di Batavia. Berbagai hasil pangan diambil dari wilayah-wilayah di luar tembok kota di selatan atau wilayah hulu (udik). Para petani tersebut membawa hasil pangan mereka untuk dijual melalui sungai di wilayah hilir (kota) dari sanalah kemudian tercipta istilah hilir-mudik.
Mudik berkembang di berbagai negara terutama yang penduduknya mayoritas muslim dan Indonesia termasuk di dalamnya. Mudik di Indonesia menjadi tradisi tahunan jelang Lebaran. Itulah kesempatan bagi masyarakat untuk bertatap muka dengan sanak saudara, berpisah sebentar dari kepenatan kota tempat mereka bekerja.
Baca juga: Sejarah Mudik Lebaran
Situasi agak berbeda dalam dua tahun ini akibat pandemi Covid-19. Pemerintah kembali mengeluarkan larangan mudik tahun ini seperti pada tahun 2020 lalu. Larangan berlaku mulai 6 sampai 17 Mei. Alasannya untuk menekan penularan Covid-19.
Bila menengok ke belakang, larangan mudik bukan kali ini terjadi. Larangan mudik pernah berlaku pula pada 1946, ketika kondisi keamanan dalam negeri tidak kondusif. Faktor utamanya adalah kontak senjata antara para pejuang Indonesia dengan Belanda dan Inggris masih berlangsung di berbagai daerah. Hal itu membuat mudik menjadi tidak mungkin bagi masyarakat saat itu.
Baca juga: Lebaran Tanpa Mudik di Awal Republik
Kali ini situasi serupa terulang meski tidak persis sama. Orang-orang yang merantau ke kota-kota besar di Indonesia berbondong-bondong memenuhi stasiun kereta api untuk pulang lebih dahulu sebelum larangan berlaku. Untuk mudik kali ini, mereka juga harus menyiapkan waktu dan biaya tambahan untuk serangkaian tes seperti PCR, GeNose, atau Rapid Antigen.
“Walaupun ribet dan lelah, tidak apa-apa karena sudah hampir 2 tahun tidak pulang kampung,” ujar Shalim (28), salah satu penumpang kereta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta.
Baca juga: Mudik Tahun 1960-an
Suasana serupa juga tampak di Terminal Bus Pulo Gebang, Jakarta Timur. Selain aktivitas berbagai bus AKAP dalam melayani penumpang untuk berbagai rute, ada juga beberapa supir yang mengeluh karena sepi penumpang.
“Sudah empat hari ini (saya) tidak bawa penumpang karena sepi akibat larangan mudik. Sebelum Covid-19, tidak pernah begini. Kalau tidak ada penumpang juga sampai hari ini, ya terpaksa saya tidak pulang ke Solo,” kata Darsono (53), salah satu sopir bus jurusan Jakarta–Solo.
Baca juga: Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara
Kesukaran-kesukaran itu tentu saja menjadi bagian dari warna-warni mudik lebaran tahun ini. Walaupun keputusan ini terasa sulit, orang-orang itu berupaya menyikapinya dengan bijaksana. Toh, ini semua bertujuan agar angka penyebaran covid-19 tidak meningkat. Dengan menahan diri untuk tidak mudik tahun ini, malah mungkin akan menjadikan tradisi mudik kembali hadir pada tahun-tahun selanjutnya bagi kita semua.