RAWAMANGUN sekarang telah menjadi kawasan ramai, bahkan padat di Jakarta. Selain perumahan megah yang dibarengi kampung-kampung dengan rumah sempit, di sana berdiri pula arena pacuan kuda berikut beragam fasilitas olahraga lain dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Bahkan, Universitas Indonesia (UI) dulu pernah di Rawamangun, yang bisa dijejaki dari perumahan dosen di sisi barat UNJ.
Padahal, dulunya Rawamangun adalah kawasan pinggiran Batavia yang sepi. Dari namanya bisa diketahui bahwa daerah ini dulunya terdiri dari banyak rawa.
Maka, tak aneh bila kejahatan acap terjadi di sana. Salah satunya yang diberitakan koran terbitan Den Haag Dagblad van Zuid-Holland tanggal 26 Januari 1892. Kejadiannya bermula dari kisah asmara.
Suatu hari, seorang lelaki dan perempuan setempat yang sedang serius didatangi lelaki asal Cakung. Lelaki asal Cakung itu merupakan kekasih si perempuan. Tak lama dari kedatangannya, lelaki Cakung langsung menusuk perut si laki-laki yang sedang bersama kekasihnya hingga tewas. Rupanya lelaki Cakung yang terbakar cemburu itu tak terima kekasihnya telah disetubuhi.
Tak berhenti sampai di situ, lelaki Cakung itu lalu membakar rumah yang terbunuh dan mengamuk di tetangga si korban yang terbunuh tadi. Polisi lalu menahannya.
Selang beberapa tahun kemudian, yakni 17 Juni 1901, kisah kejahatan lain terjadi di Rawamangun juga. Polisi dari Meester Cornelis mengusut kasus pencurian di sana. Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 19 Juni 1901 memberitakan bahwa ketika polisi mengusut kasus pencurian itu, mereka menemukan seorang bernama Sebloe. Dia ternyata tentara yang sedang desersi. Maka kemudian Sebloe ditahan. Rawamangun yang sepi rupanya menjadi tempat baik buat kabur.
Pada 1941, perampokan terhadap seorang janda terjadi di Rawamangun. De Indisch Courant tanggal 15 Agustus 1941 memberitakan seorang janda bernama Darmi yang tinggal di Kampung Rawamangun pada 17 April 1941 dirampok gerombolan yang terdiri dari Mudjimi, Andi, Tinggal, Kan Ting Hwat, dan Seran. Darmi sembunyi di kamar mandi waktu perampok datang. Dua perampok masuk ke dalam rumahnya dan menggasak uang dan emas sementara tiga lainnya berjaga di luar.
Mudjimi rupanya baru saja bebas dari penjara. Lantaran tak punya uang, dia merampok lagi. Sedangkan mengapa Darmi yang dijadikannya sasaran, ternyata janda itu bukan orang asing baginya. Usut punya usut, Darmi dulunya ternyata istri Mudjimi. Pasangan ini pernah tinggal di Kampung Jembatan Lima. Setelah Mudjimi dihukum, Darmi pindah dari Jembatan Lima ke Rawamangun.
Polisi lalu mengusut dan menyeret para pelaku ke Landraad (pengadilan rendah). Mudjimi dapat tuntutan hukuman terberat, dua tahun penjara. Seran dan Kan Tiang dapat setahun penjara. Andi dan Tinggal dapat sembilan bulan penjara. Namun akhirnya hanya Mudjimi saja yang dihukum, dua tahun enam bulan penjara, sementara tersangka lain dibebaskan.
Di masa kejahatan Mudjimi terjadi, Rawamangun sudah jauh berkembang sehingga bukan kampung sepi lagi. Pada 1930-an, di Rawamangun sudah ada gedung pertemuan, Rawamangoen Clubgebouw. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 11 Juli 1932) memberitakan, para anggota Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Hatta-Sjahrir) cabang Batavia mengadakan pertemuan di Rawamangoen Clubgebouw. Pertemuan itu bersamaan dengan pertemuan yang diadakan clubhouse di Gang Kenari.
Selain gedung pertemuan itu, lapangan golf Rawamangun juga sudah ada di zaman Hindia Belanda. Dalam Jakarta Golf Club Sepanjang Masa, Arief Widjaya menyebut pada Februari 1937 lapangan golf Rawamangun sudah berdiri. Lapangan tersebut pindahan dari Bukit Duri dan sebelumnya lagi di sekitar Gambir.
Setelah Belanda kembali menduduki Jakarta usai perang, pada 1946 Rawamangun jadi sasaran pemeriksaan. Koran Het Dagblad tanggal 26 Juni 1946 memberitakan bahwa pasukan Belanda memeriksa 300 orang di Rawamangun, namun tak menemukan hal berbahaya di sana.
Setelah pengakuan kedaulatan, Rawamangun berkembang pesat. Selain ada kampus UI, pabrik-pabrik mulai didirikan di sana. Salah satunya, pabrik helicak yang menggunakan mesin Lambretta. Di era kepresidenan Sukarno, didirikan sebuah rumah sakit di Rawamangun (kini RS Persahabatan). Koran Gooi dan Eemlander tanggal 22 Maret 1962 memberitakan pada 1960 di Rawamangun dilakukan peletakan batu pertama pembangunan rumahsakit berkapasitas 200 tempat tidur oleh Presiden Sukarno atas bantuan dana Uni Soviet.
“Ketika saya mengunjungi Moskow beberapa tahun lalu dan meminta kredit sebesar 100 juta dolar kepada Uni Soviet, hal itu disetujui dalam waktu dua menit,” kata Sukarno terkait bantuan Soviet itu dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.