JAKARTA baru saja merayakan ulang tahun ke-497 pada Sabtu, 22 Juni 2024. Di usia yang nyaris mencapai lima abad, kota yang tak lagi berstatus ibukota ini menyimpan banyak kisah menarik terkait sejarah kemunculan kota maupun orang-orang yang bermukim di dalamnya.
Kota ini direbut Jan Pieterszoon Coen dan pasukannya pada 30 Mei 1619. Coen yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal VOC segera membangun kota berbenteng yang dikenal dengan nama Batavia. Tak butuh waktu lama, Batavia menjelma menjadi kota yang dihuni oleh berbagai etnis, salah satunya orang-orang Melayu.
Menurut sejarawan Anthony Reid dalam Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia, orang-orang Melayu menyebar hampir ke seluruh Asia Tenggara untuk kepentingan berdagang. Diaspora mereka membantu memberikan kehidupan baru ke berbagai pusat pelabuhan, tak terkecuali Batavia.
Baca juga:
VOC yang mulai menancapkan hegemoninya di Nusantara pada awal abad ke-17 segera melakukan identifikasi dan menyusun aturan untuk mengatur wilayah yang didudukinya. “Batavia selanjutnya dianggap sebagai wadah pelabelan etnis. Selain orang Eropa dari berbagai negara, diaspora perdagangan utama yang dikenal Belanda di pelabuhan-pelabuhan mereka adalah orang Cina, Moor (Muslim India), Melayu, Jawa, dan Bugis,” tulis Reid.
Di Batavia, komunitas-komunitas perdagangan yang paling penting dikelola melalui seorang lurah atau dikenal dengan sebutan kapitan. Ketika seorang Kapitan Melayu diangkat di Batavia pada 1644, para pedagang yang berasal dari Patani mengambil peran kepemimpinan ini.
Ahli sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ menulis dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta bahwa pada masa itu, Kapitan Melayu merupakan tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat. Ia tak hanya bertugas menjadi perantara bagi penguasa lokal dengan pemerintah kolonial, tetapi juga bertindak sebagai kepala protokol atau ceremonie-meester.
Orang pertama yang diangkat menjadi Kapitan Melayu di Batavia adalah Entji Amat. Menurut arsiparis Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume I, selain cakap dalam urusan perdagangan, pria yang berasal dari Patani ini juga dikenal sebagai penulis dan penerjemah untuk VOC. Selama menjabat sebagai Kapitan Melayu, Entji Amat juga kerap menemani utusan Belanda bertemu dengan penguasa lokal. Pada 1652, sang kapitan melepaskan jabatannya dan kembali ke tanah airnya.
Baca juga:
Menurut de Haan, Kapitan Melayu menduduki posisi yang menonjol untuk waktu yang lama. Tugas mereka tak terbatas sebagai pemimpin untuk orang-orang Melayu di Batavia, tetapi juga turut menjalin relasi dengan penguasa-penguasa lokal dalam kapasitasnya sebagai perantara VOC di wilayah koloni. “Tak heran bila kemudian kerap ditemukan surat-surat dari para penguasa lokal yang ditujukan kepada pemerintah kolonial namun dikirimkan kepada Kapitan Melayu, yang menerima dan mengakomodasi kepentingan mereka atau utusan mereka atas nama pihak VOC,” tulis de Haan.
Selepas kepergian Entji Amat, jabatan Kapitan Melayu dipegang oleh Entji Bagoes yang juga berasal dari Patani. Ia tidak terlalu lama mengemban jabatan Kapitan Melayu karena pada 1656 ia meninggal dunia dalam perang di Banten. Posisinya diambil alih oleh putranya, Wan Abdoel Bagoes yang juga dikenal sebagai penulis dan penerjemah bagi VOC.
Seperti para pendahulunya, Wan Abdoel Bagoes juga memegang jabatan ini dengan sungguh-sungguh. Di waktu-waktu tertentu, ia tak hanya menjadi penulis dan penerjemah bagi VOC, tetapi juga menjadi utusan maupun kepala protokol untuk kepentingan VOC, dan kadang-kadang turut ambil bagian sebagai perwira dalam perang di Jawa Tengah dan Banten. De Haan menyebut Wan Abdoel Bagoes sempat terluka parah ketika ikut serta memadamkan pemberontakan Kapten Jonker.
Nama Wan Abdoel Bagoes berkaitan erat dengan kemunculan Kampung Melayu yang berada di wilayah Jatinegara (dulu dikenal dengan nama Meester Cornelis). Dalam Asal-usul Nama Tempat di Jakarta, Rachmat Ruchiat menjelaskan bahwa wilayah itu dinamakan demikian karena sejak paruh kedua abad ke-17 area tersebut menjadi tempat tinggal orang-orang Melayu yang berasal dari Semenanjung Malaka di bawah pimpinan Kapten Wan Abdoel Bagoes. Meski begitu, wilayah ini bukan satu-satunya daerah yang berkaitan dengan Wan Abdoel Bagoes. Di selatan Kampung Melayu terdapat sebuah daerah yang diberi nama dari bawahan sang kapitan, yakni Cawang.
Baca juga:
Dibuang Gara-gara Menagih Utang
Di wilayah itu, bawahan Wan Abdoel Bagoes yang bernama Entji Awang bermukim bersama pasukannya. Seiring berjalannya waktu, wilayah tersebut lebih dikenal dengan nama Cawang. Entji Awang dikenal sebagai seorang Letnan Melayu yang mengabdi kepada VOC. Besar kemungkinan ia turut ambil bagian dalam sejumlah pertempuran yang diikuti oleh Wan Abdoel Bagoes.
Pada abad ke-18, Cawang menjadi salah satu wilayah yang dimiliki oleh Pieter van de Velde. Sang tuan tanah menguasai beberapa wilayah di Batavia, seperti Cililitan, Cikeas, Pondok Terong, Tanjung Timur, hingga Tanjung Priok.
Setelah kematian Wan Abdoel Bagoes pada 1716, jabatan Kapitan Melayu diemban oleh putranya, Wandoellah yang memegang jabatan ini selama 16 tahun hingga akhirnya Gubernur Jenderal Diederik Durven menggulingkannya. Tak hanya dicopot dari jabatan Kapitan Melayu secara tidak hormat, Wandoellah yang dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang, dibuang dan asetnya disita oleh pemerintah.
“Setelah kejadian itu seorang kapitan baru diangkat kembali untuk sementara waktu, tetapi jabatan ceremonie-meester tidak lagi menjadi bagian tugas sang kapitan. Pada 1809, VOC memutuskan untuk tidak lagi mengangkat Kapitan Melayu,” tulis de Haan.*