Guna mencegah penularan virus corona dari daerah zona merah ke berbagai wilayah lainnya, pada Selasa, 21 April 2020 Presiden Joko Widodo resmi melarang masyarakat mudik Lebaran. Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, mengingat mudik adalah salah satu tradisi terbesar umat Islam di Indonesia. Pada saat yang sama mencegah penularan virus juga penting. Pendeknya, ‘perang’ melawan virus menyebabkan terhentinya arus keinginan untuk mudik.
Menilik sejarah Indonesia, sebenarnya umat Islam Indonesia tidaklah selalu bisa mudik ke kampung halamannya. Salah satunya pada masa awal pascakemerdekaan Indonesia, saat muslim Indonesia merayakan Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 28 Agustus 1946. Waktu itu mudik sudah jadi tradisi walau belum segencar dekade 1970-an, saat urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Indonesia. Pada 1946 itu, beberapa kota di Indonesia telah cukup besar dan menarik banyak orang, terutama pelajar, pedagang, dan pencari kerja dari luar kota bahkan luar pulau Jawa.
Suasana politik di Indonesia sedang tidak stabil karena menghadapi banyak kesulitan. Belanda dan Inggris menguasai kota-kota penting di Jawa. Di beberapa tempat, perayaan hari ulang tahun pertama kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sebelas hari sebelum lebaran tahun 1946 pun dilakukan sangat sederhana. Keretakan juga sedang terjadi di tubuh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal itu tampak dalam krisis politik 3 Juli 1946 di Yogyakarta, saat kelompok oposisi yang berafiliasi dengan Tan Malaka melancarkan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan adanya Konferensi Malino (16-25 Juli 1946) yang diselenggarakan Belanda untuk menarik dukungan para raja lokal di Indonesia Timur.
Terdapat berbagai situasi yang menyebabkan mudik Lebaran tak bisa dilakukan masyarakat Indonesia pada saat itu. Pertama, kontak senjata pejuang Republik dengan Belanda masih terus berlangsung di berbagai tempat di Indonesia, bahkan pada hari raya Idul Fitri tahun 1946. Kantor berita Antara pada 30 Agustus 1946 menurunkan berita bertajuk ‘Pertempoeran pada hari Lebaran’, menyampaikan ‘Bertepatan dengan hari Raja Idoel Fitri pada tg. 28/8 barisan rakjat memberi poekoelan pada pasoekan2 Nica didesa Tjibeber sehingga mereka terpaksa moendoer’.
Dari laporan itu diketahui bahwa pertempuran tidak hanya pecah di Cibeber (Bogor) tapi juga di tempat-tempat lainnya, mengindikasikan bahwa kontak senjata melawan Belanda pada hari Lebaran bukanlah sesuatu yang jarang terjadi. Artinya ada sebagian umat Islam yang terhalang mudik akibat pertempuran.
Baca juga: Lebaran di Mata Kolonialis
Cerita sedih semacam itu terjadi juga di Padang, kota terbesar di Sumatera Barat. Memang Padang bukan kawasan inti masyarakat tradisional Minangkabau. Padang lebih dikenal sebagai rantau (yang berbeda dengan wilayah darek di pedalaman), yang lebih mencirikan sebuah kota tujuan perantauan untuk alasan ekonomi dan pendidikan bagi orang-orang dari kawasan pegunungan di Minangkabau.
Pada hari raya Idul Fitri 1946 orang Minangkabau di Padang tidak bisa berlebaran di kampung halamannya. Pertempuran antara pejuang Republik dengan pasukan Inggris dan NICA pada dini hari atau beberapa jam sebelum shalat Id di kota itu membuat banyak warganya tak bisa mudik dan berlebaran. Kementerian Penerangan dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Tengah (1959: 136), menyebutkan pada dini hari itu Padang telah menjadi ‘lautan api’ akibat kebakaran dan pertempuran di berbagai sisi kota.
Ketegangan berlangsung hingga pagi harinya. Koran Kedaulatan Rakjat yang tempat terbitnya berjarak ribuan kilometer dari Padang, menjadikan berita pertempuran di Padang ini sebagai headline-nya pada 31 Agustus 1946. ‘Idoelfitri di Padang dirajakan dengan tjara jang istimewa oleh pemoeda2 Padang dan barisan rakjat disekeliling kota terseboet,’ tulis Kedaulatan Rakjat.
Selain pertempuran, masih ada problem lainnya yang menyulitkan orang mudik saat itu: transportasi. Pesawat masih jauh dari umum dan terjangkau; lagipula, di bulan-bulan awal pascamerdeka, pemerintah Republik hanya punya pesawat-pesawat latih kecil yang mereka ambil alih dari Jepang. Kendaraan roda empat masih barang mewah. Lebih buruk lagi, mobil-mobil peninggalan masa Jepang yang tersedia mengalami kekurangan onderdil. Infrastruktur seperti jembatan dan rel kereta berada dalam kondisi buruk; sebagian sengaja dihancurkan pasukan Belanda guna mencegah pergerakan Jepang di awal perang, sementara yang lainnya rusak lantaran aksi-aksi sabotase pada masa revolusi.
Baca juga: Sejarah Mudik Tahun 1960-an
Jawatan kereta api sebenarnya menyediakan apa yang mereka sebut sebagai ‘kereta Lebaran’ dengan menambah beberapa perjalanan kereta api. Ini tampak dalam sebuah daftar perjalanan kereta yang dipublikasikan di Kedaulatan Rakjat sehari sebelum Lebaran tahun 1946 itu. Tapi itu hanya antarkota di dalam provinsi Jawa Tengah saja, dan itu pun di daerah dengan kekuatan Republik yang dominan, misalnya Solo, Magelang, Ambarawa, Kutoarjo dan Yogyakarta. Sedangkan kereta Lebaran dari maupun ke Jakarta yang diduduki Belanda dan Sekutu tidak tersedia.
Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, pun tidak mudik ke kampung halamannya pada Lebaran tahun 1946. Selain transportasi yang sulit ke pesisir barat Sumatera serta situasi keamanan Sumatera secara umum yang masih rawan, ia pun sedang didera sakit. Sekretariat Wakil Presiden dalam sebuah komunikenya di harian Kedaulatan Rakjat, 27 Agustus 1946 atau sehari sebelum Lebaran menyampaikan bahwa Hatta berencana shalat Idul Fitri pada pagi hari, namun selepas itu ia akan beristirahat sehingga tak bisa menerima tamu yang akan halal bi halal padanya.
Hatta sendiri, menurut laporan Kedaulatan Rakjat 29 Agustus 1946, turut menyampaikan pidatonya selepas shalat Idul Fitri di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada 28 Agustus 1946. Dia berpidato usai khutbah Id yang disampaikan oleh ulama Muhammadiyah asal Kauman, M.J. Anis. Dalam pidatonya Hatta menekankan tentang ajaran Islam yang mengandung unsur-unsur perdamaian dan kesatuan, dua hal yang ia nilai penting bagi Indonesia dewasa itu.
Baca juga: Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Indonesia Sutan Sjahrir pun urung mudik ke kampung halamannya di Koto Gadang, Sumatera Barat. Tugas membuatnya tetap harus berada di Yogyakarta. Pada 29 Agustus 1946 atau sehari setelah Lebaran, Sjahrir dijadwalkan bertemu dengan Lord Killearn, wakil pemerintah Inggris di Asia Tenggara, untuk membicarakan perdamaian Indonesia-Belanda yang sedang memasuki fase kritis karena kegagalan perundingan Hoge Veluwe, April 1946. Pertemuan tersebut berlangsung di Istana Presiden, Yogyakarta, Kamis siang, 29 Agustus 1946 atau hari kedua bulan Syawal 1365 Hijriyah itu.
Kendati dalam suasana revolusi, bukan berarti umat Islam Indonesia tidak merayakan Hari Raya Idul Fitri secara meriah namun tetap khidmat. Perayaan dipusatkan di masjid dan ruang publik di kota. Pemerintah RI di Yogyakarta menyiapkan berbagai acara untuk menyambut hari besar itu sehingga para perantau di ibukota itu, baik yang berasal dari kota-kota lain di Jawa maupun dari Sumatera. Yogyakarta pada masa itu jadi pusat kegiatan politik pihak Republik. Banyak pejabat dan keluarganya turut pindah ke Yogyakarta setelah Jakarta tak aman lagi dari teror NICA.
Shalat Idul Fitri diselenggarakan di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Sehari sebelum Lebaran, harian Kedaulatan Rakjat menyerukan kepada pembacanya: ‘Bandjirilah Aloen2 Oetara!’. Yang lebih menarik lagi, selepas shalat Id para pilot Republik menerbangkan sejumlah pesawat di langit Yogyakarta guna menyebarkan berbagai selebaran berisi ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri pada masyarakat Yogyakarta.
Baca juga: Merayakan Lebaran di Masa Lampau
Harian Kedaulatan Rakjat punya cara untuk memberi kesempatan bagi umat Islam untuk bisa secara mudah dan praktis menyapa keluarga dan koleganya di Hari Lebaran tanpa perlu mudik secara fisik. Surat kabar (dan radio) adalah teknologi komunikasi massa termodern di zaman itu, dan pemanfaatan teknologi mutakhir merupakan usaha paling masuk akal untuk menyambungkan individu di masa ketika sambungan secara fisik terkendala banyak problem. Cara yang dilakukan Kedaulatan Rakjat adalah dengan menyewakan kolom yang bisa diisi pembacanya dengan ucapan selamat Hari Raya.
Ucapan selamat Lebaran di kolom tersebutlah yang melakukan ‘mudik’, mencapai keluarga atau kolega di tempat-tempat di luar Yogyakarta. Kolom-kolom yang bisa dikatakan sebagai mudik yang dimediasi ini sangat populer karena mencapai hampir setengah halaman pada satu hari menjelang Lebaran dan pemuatannya masih berlanjut hingga beberapa hari selepas Lebaran.
Menarik diperhatikan bahwa sosok-sosok yang mengisi adalah tokoh terkemuka di seputaran Jawa Tengah dan Yogyakarta, juga organisasi ekonomi dan para pemilik usaha seperti toko dan rumah makan. Di antara mereka ada Anwar Bey yang mengucapkan ‘Selamat Lebaran Idoel Fitri’, Datoek Taloek Basa (tinggal di Yogyakarta, dengan kantor di Malioboro, dan dari namanya jelas berasal dari Minangkabau) yang mengucapkan ‘Maaf lahir batin’, B.P.H. Pakoeningrat dan keluarga yang menyampaikan ‘Alal-bihalal’, Perseroan Dagang Indonesia IMEXI yang mengucapkan ‘Selamat Hari Raja Idoel Fitri’, dan beberapa pemilik toko buah, toko kerajinan perak dan toko roti yang juga menyampaikan ucapan selamat Lebaran.
Tradisi mengucapkan selamat Lebaran di kolom media cetak sebenarnya bukanlah hal yang baru kala itu. Di era kolonial misalnya, majalah Soeara Moehammadijah yang terbit di Yogyakarta sudah menyediakan kolom khusus untuk pembacanya yang ingin bersilaturahmi dengan sanak famili maupun koleganya yang ada di antero Indonesia pada Hari Raya Idul Fitri. Ini bisa dilihat di Soeara Moehammadijah No. 9, Ramadan 1360 (Oktober 1941). Pada tahun 1941 itu, Idul Fitri jatuh pada tanggal 22 Oktober. Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah di Yogyakarta menerima berbagai visitekaart (kartu ucapan) Selamat Hari Raya dari para anggota, pengurus, cabang dan ranting Muhammadiyah se-Indonesia.
Baca juga: Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara
Di bagian lain di Soeara Moehammadijah edisi yang sama, ada sebuah kolom berisi ucapan ‘Selamat Hari-Raja Fithrah’ yang disampaikan oleh R. Moehtadi dan keluarga di Singapura. Dari namanya, R. Moehtadi jelas berasal dari Jawa. Pada Lebaran tahun 1941 itu ia tidak bisa pulang kampung ke Jawa. Mungkin ini disebabkan karena situasi di sekitar Semenanjung Malaya dan Singapura sedang tidak aman mengingat pasukan Jepang, dalam operasi militernya menguasai Asia Tenggara, sudah mulai memasuki Vietnam pada Juli 1941. Malaya sendiri takluk di tangan Jepang pada Desember 1941, dan disusul oleh jatuhnya Singapura pada Februari 1942 (Katroska, 2018). Jadi, pulang kampung bukanlah pilihan bagi Moehtadi dan famili. Tapi, toh Moehtadi masih bisa tetap ‘mudik’ melalui kata-kata yang difasilitasi oleh media cetak, sebuah produk kemajuan teknologi komunikasi yang memastikan orang tetap bisa saling berinteraksi walau terpisah jarak ribuan kilometer.
Beberapa tahun setelah perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia usai dan kehidupan masyarakat bisa berjalan dengan normal, barulah tradisi mudik secara fisik mulai bisa dilakukan dalam skala besar oleh masyarakat Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Indonesia sibuk membangun negara muda ini. Jalur-jalur transportasi sudah aman dilalui. Ibukota telah pindah kembali, dari Yogyakarta ke Jakarta. Tak hanya ibukota yang beralih lagi ke Jakarta, tetapi juga orang Yogyakarta yang ikut bermigrasi ke sana. Ketika Hari Raya Idul Fitri mendekat, tampaklah besarnya keinginan orang Yogyakarta di Jakarta untuk pulang kampung guna berlebaran bersama keluarganya. Ini bisa ditengok pada tahun 1955, tatkala Idul Fitri jatuh pada tanggal 24 Mei. Kapasitas normal kereta Jakarta-Yogyakarta kalah oleh keinginan kuat untuk pulang di Hari Lebaran. Menurut laporan Kedaulatan Rakjat tanggal 20 Mei 1955, beberapa hari menjelang Lebaran tahun itu kereta dari Jakarta ke Yogyakarta sampai perlu ‘ditambah dengan 6 gerbong kelas 3 karena orang2 Djakarta jang hendak berlebaran di Jogja begitu banjak’. Saking besarnya animo mudik dengan kereta ke Yogyakarta di era Indonesia merdeka itu, kereta-kereta dari Jakarta sampai terlambat 3 jam lebih tiba di Yogyakarta.
Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.