Hari Raya Idulfitri atau Lebaran merupakan hari raya keagamaan terbesar di Indonesia. Berasal dari bahasa Jawa, istilah Lebaran kini telah dipakai oleh masyarakat Indonesia untuk mengacu pada hari pertama di bulan Syawal setelah umat muslim menjalankan puasa selama sebulan di bulan Ramadan. Setiap komunitas muslim di Indonesia memiliki tradisi uniknya masing-masing dalam merayakan Lebaran. Namun, secara umum, ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan kaum muslim Indonesia, yakni pulang kampung (mudik), takbiran, salat Id, dan halalbihalal atau bersilaturahmi dengan keluarga dan kolega di hari raya. Nuansa yang melingkupi Lebaran di Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa. Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah suasana Lebaran di masa awal eksistensi pemerintahan Orde Baru, khususnya menjelang akhir dekade 1960-an.
Bagi sebagian orang Indonesia, kelahiran Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto merupakan sebuah harapan setelah tahun-tahun yang sulit secara ekonomi dan politik di masa akhir pemerintahan Sukarno. Pemerintahan Soeharto mengambil sejumlah kebijakan penting, seperti usaha perbaikan ekonomi, penggiatan pembangunan, penjadwalan ulang pembayaran utang luar negeri, pembebasan tahanan politik yang terlibat PRRI/Permesta, kembali bergabungnya Indonesia dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan diakhirinya konfrontasi dengan Malaysia. Usaha-usaha ini tidaklah mudah. Di level masyarakat, situasi kehidupan yang sulit masih terasa di tahun-tahun akhir 1960-an.
Baca juga: Lebaran Tanpa Mudik di Awal Republik
Di tengah berbagai perubahan dan tantangan pada awal masa Orde Baru, keinginan untuk mudik Lebaran masih tetap kuat di tengah masyarakat. Pemerintah, dengan segala keterbatasannya, memfasilitasi keinginan tersebut. Pada 1968, Hari Raya Idulfitri jatuh pada hari Sabtu, 21 Desember. Masyarakat Indonesia sudah mulai mudik sejak beberapa hari sebelumnya. Surat kabar terbitan Yogyakarta, Mertju Suar tanggal 17 Desember 1968 memberitakan bahwa pemerintah, melalui jawatan kereta api, PNKA, sejak hari Senin, 16 Desember 1968, menyediakan kereta api luar biasa ekspres malam terbatas. Kereta api bernama Sendja 1 dan Sendja 2 ini melayani jurusan Solo-Semarang-Jakarta (Gambir) dan sebaliknya.
Perjalanan Mudik
Yang membuat perjalanan mudik kali ini lebih menyenangkan karena rangkaian kereta apinya baru dan terdapat kereta restorasi di mana penumpang dapat memesan makanan dan minuman. Penumpang pun dapat menyewa bantal agar dapat tidur dengan nyenyak selama perjalanan mudik. Yang tidak kalah penting adalah setiap penumpang yang memiliki karcis akan dijamin mendapatkan tempat duduk mengingat karcis dijual secara terbatas sesuai dengan ketersediaan tempat duduk. Berbagai tawaran baru ini membuat perjalanan dengan kereta api, yang di tahun-tahun sebelumnya amat berat karena fasilitas yang kurang, penumpang yang berdesakan, maupun kriminalitas di atas kereta, menjadi lebih menyenangkan. Hanya saja, konsekuensinya adalah tiket kereta lebih mahal.
Baca juga: Mudik Tahun 1960-an
Kaum muslim di Yogyakarta menyambut Lebaran tahun 1968 dengan meriah. Menurut laporan surat kabar Mertju Suar tanggal 18 Desember 1968, Panitia Perayaan Hari Raya Id Badan Koordinator Pengajian Anak-Anak (Bakopa) Kodya Yogyakarta bekerja sama dengan Masjid Syuhada menyerukan agar mengerahkan siswa-siswa pengajian untuk melaksanakan takbiran di lokasi-lokasi pembagian zakat fitrah dan melatih anak-anak untuk mengikuti acara panggung terbuka kesenian yang akan diadakan pada Januari 1969.
Baca juga: Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara
Polisi turun tangan untuk menjaga keamanan selama Lebaran tahun 1968. Di Jawa Tengah, Komandan Korps Polisi Kereta Api Daerah IX Jawa Tengah AKBP Sunarto Kolopaking meminta masyarakar agar berhati-hati selama menggunakan kereta api di masa Lebaran. Menurut Sunarto, sebagaimana diberitakan Mertju Suar pada 19 Desember 1968, kewaspadaan ini sangat dibutuhkan karena banyaknya penumpang yang akan pulang kampung serta berhalalbihalal dengan saudaranya. Ia khawatir keramaian itu digunakan oleh para pencoleng (pencopet) untuk menjalankan aksinya. Sunarto menyarankan agar masyarakat mengambil sejumlah tindakan agar tidak menjadi sasaran kejahatan, di antaranya dengan tidak menggunakan perhiasan yang mencolok dan membawa uang tunai secukupnya.
Pesan Politik
Presiden Soeharto tidak membiarkan Lebaran berlalu tanpa pesan politik, terutama terkait program-program dari pemerintahannya yang masih amat muda itu. Surat kabar Mertju Suar edisi 23 Desember 1968 memberitakan bahwa pada Hari Raya Idulfitri tahun 1968 itu Soeharto melaksanakan salat Id di halaman istana di Jakarta. Ribuan umat Islam, termasuk para menteri dan perwakilan korps diplomatik negara-negara Islam, turut hadir dalam salat Id tersebut.
Dalam sambutannya selepas salat Id, Soeharto mengemukakan berbagai hal penting dalam konteks keislaman dan kenegaraan. Menurut Soeharto, Idulfitri tahun 1968 itu memiliki arti penting bagi masyarakat Indonesia. Sebabnya ialah karena dalam beberapa hari kemudian Indonesia akan memasuki tahun baru, tahun 1969, tahun ketika pemerintah akan mulai melaksanakan pembangunan lima tahun, yang dikenal sebagai Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun, dimulai sejak 1969 dan berlangsung hingga akhir masa kekuasaan Orde Baru). Ia menekankan bahwa pembangunan lima tahun itu adalah usaha yang krusial dalam memberantas kemiskinan dan kemelaratan. Ia juga menggarisbawahi bahwa pemberantasan kemiskinan dan kemelaratan itu merupakan kewajiban umat Islam dan umat beragama lainnya di Indonesia, atau dengan kata lain, kewajiban seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Muatan Politik di Balik Soeharto Naik Haji
Di samping soal pembangunan, Soeharto juga berbicara tentang urusan lain seputar umat Islam, seperti pengumpulan zakat dan penghapusan subsidi haji. Seusai salat Id, Ketua MPRS A.H. Nasution, bersama Gubernur Jakarta Ali Sadikin dan Sekretaris Negara Alamsjah, mengadakan upacara peletakan batu pertama pembangunan masjid raya di Menteng, Jakarta.
Di hari Lebaran tahun 1968 itu banyak masyarakat Indonesia yang masih berjuang di tengah kesulitan ekonomi. Namun, mereka tetap berusaha untuk memeriahkan Lebaran dengan berbagai cara, baik yang bernuansa positif, maupun yang berlebihan hingga membahayakan diri sendiri. Di Yogyakarta, kebun binatang Gembira Loka didatangi sangat banyak pengunjung pada Lebaran kedua (22 Desember 1968).
Korban Petasan
Di Bandung, surat kabar Mertju Suar edisi 26 Desember 1968 melaporkan bahwa puluhan orang menjadi korban ledakan petasan. Pihak berwajib di Bandung sebenarnya mengizinkan penyimpanan, penjualan, dan penggunaan petasan menjelang Lebaran, namun hanya pada dua hari saja, yakni sehari sebelum dan sehari sesudah Lebaran. Tapi, ada saja anggota masyarakat yang bandel sehingga terjadi berbagai insiden yang mengakibatkan jatuhnya korban luka ringan dan berat. Setidaknya 30 orang terluka karena petasan di Bandung, sebagian besar remaja belasan tahun. Sedangkan satu orang tua luka berat di matanya sehingga harus dirawat di Rumah Sakit Cicendo dan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Yang menyedihkan, sang korban bukanlah orang yang memainkan petasan. Ada orang lain yang melemparkan petasan dan mengenai si korban. Pelakunya kemudian ditangkap polisi dan diperintahkan untuk membayar biaya rumah sakit korban petasannya.
Baca juga: Meledakkan Sejarah Petasan
Kalangan pers mengkritik keras izin yang diberikan pihak berwajib pada masyarakat untuk memainkan petasan, baik untuk merayakan Lebaran (21 Desember 1968) maupun Natal (25 Desember 1968). Surat kabar Mertju Suar, misalnya, dalam tajuk rencananya pada 26 Desember 1968 menyebut kebijakan pemerintah daerah tersebut sebagai “kebijaksanaan yang tidak bijaksana”. Situasi di Jakarta lebih buruk daripada di Bandung terkait soal petasan ini. Sementara di Bandung ada 30 orang yang menjadi korban petasan, di Jakarta jumlahnya mencapai 221 orang. Sebagian besar korban terluka di bagian tangan, dan ada pula yang terluka matanya sehingga membutuhkan tindakan operasi. Yang paling memilukan adalah adanya korban petasan yang putus lehernya dan meninggal dunia.
Baca juga: Pesta Petasan Memakan Korban
Mertju Suar menilai bahwa sebagian orang merespons izin pemerintah itu dengan terlalu jauh, sampai ke tahap apa yang disebut sebagai terjadinya “perang petasan”. Perang petasan ini membuat orang berlomba-lomba menguras kantongnya untuk membeli petasan dan bahkan memicu terjadinya perkelahian. Mertuju Suar menegaskan penolakannya pada kebijakan pemerintah tersebut, terutama karena, menurut redaksi Mertju Suar, “hal itu lebih banyak mendatangkan kerugian, baik materil maupun moril, juga karena situasi keamanan”.
Penulis adalah Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.