Masyarakat Indonesia mulai mudik Lebaran ke kampung halaman sejak beberapa hari lalu. Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik tahun ini mencapai 85 juta orang. Jumlah pergerakan manusia yang gigantik ini akan menimbulkan tantangan besar dari segi logistik, keselamatan, dan keamanan. Perkiraan angka ini didasarkan pada fakta bahwa banyak orang Indonesia yang tidak bisa mudik selama dua tahun terakhir karena pandemi Covid-19.
Dalam sejarah mudik dan Lebaran, ada beberapa peristiwa besar yang membatasi orang pulang kampung. Ketika peristiwa tersebut berhasil dilewati, orang kembali bisa bersilaturahmi dengan keluarga dan kolega serta dapat merayakan Lebaran dengan khusyuk. Contohnya adalah pandemi Covid-19 tahun 2019–2021 dan perang kemerdekaan tahun 1945–1949.
Baca juga: Merayakan Lebaran di Masa Lampau
Sukarno dan Mohamad Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, usaha menegakkan kemerdekaan tidaklah mudah. Konflik dengan Sekutu terjadi di bulan-bulan terakhir tahun 1945. Berbagai perselisihan dan kontak senjata melawan Belanda, yang ingin menegakkan kembali kolonialismenya, terjadi dari akhir 1945 hingga pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949.
Perang selama bertahun-tahun itu berdampak besar kepada masyarakat, termasuk dalam merayakan Lebaran. Barulah pada dekade 1950-an umat Islam dapat merayakan Lebaran dengan lebih tenang sekaligus meriah. Ini bisa dilihat dari perayaan Lebaran tahun 1950, Hari Raya Idulfitri pertama sesudah perang kemerdekaan.
Lebaran tahun 1950 jatuh pada hari Senin, 17 Juli. Sebagian besar persoalan Indonesia dengan Belanda sudah beres. Namun, sejumlah tantangan masih harus dihadapi. Dalam surat kabar terbitan Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, penulis berinisial W.H. (kemungkinan Wonohito, pemimpin redaksi koran tersebut) mencoba menangkap spirit Lebaran dalam konteks usaha penyelesaian berbagai masalah di Indonesia.
Baca juga: Lebaran Tanpa Mudik di Awal Republik
Dalam tulisannya di Kedaulatan Rakjat edisi 15 Juli 1950, atau dua hari menjelang Lebaran, ia mengemukakan dua permasalahan berat di dalam negeri, yakni pemberontakan Maluku Selatan dan Darul Islam. Ia menyayangkan terjadinya kedua gerakan tersebut, yang mengambil jalan kekerasan untuk mewujudkan aspirasi politiknya, padahal mereka juga sama-sama orang Indonesia seperti yang lainnya. Di samping itu, ia juga prihatin dengan belum terwujudnya keadilan dan kemakmuran di tengah masyarakat.
W.H. menutup tulisannya dengan sebuah harapan menjelang Lebaran tahun 1950 itu: “Mudah-mudahan kita memasuki hari Lebaran dengan kesadaran akan kewajiban kita mengenai soal-soal itu semua dan berdoalah kita, mudah-mudahan diberi kita kekuatan untuk berusaha agar Lebaran tahun yang akan datang lebih memberi kepuasan”.
Iklan Lebaran
Untuk memberi kesempatan para pegawainya berlebaran, surat kabar Kedaualatan Rakjat meliburkan kantornya. Adapun kantor pos memilih untuk mengatur jam kerjanya, mengingat banyak anggota masyarakat yang akan mengirim pesan Lebaran. Kantor Besar Pos dan Telegrap di Setjodiningratan menutup loket pos, namun membuka loket telegraf secara terbatas (jam 09.00–11.00). Kantor pos tambahan di Gondolaju juga menutup loket pos dan membuka loket telegraf hanya selama satu jam (09.00–10.00). Demikianlah keterangan yang dimuat Kedaulatan Rakjat edisi 15 Juli 1950.
Stasiun radio pemerintah, RRI Yogyakarta, menyajikan program-program siaran khusus menyambut Lebaran. Program tersebut antara lain salat Id (jam 07.00), Cerita Hari Lebaran (jam 11.30), dan pengajian (jam 17.50).
Baca juga: Keindahan dalam Kartu Lebaran
Menjelang Lebaran, sejumlah individu dan lembaga beriklan di media cetak. Ini lebih efektif menjangkau banyak orang dibandingkan dengan telegraf atau kartu pos. Surat kabar Kedaulatan Rakjat menyediakan hampir setengah dari enam halaman terbitannya pada 15 Juli 1950 sebagai halaman iklan bertema Lebaran. Bahkan, bagian tata usaha Kedaulatan Rakjat menyebut bahwa itu pun belum cukup untuk menampung iklan-iklan yang masuk sehingga iklan yang belum dimuat akan diterbitkan di edisi setelah Lebaran.
Sebagai contoh, Hotel Merdeka di Yogyakarta “menghaturkan selamat dan bahagia berkenaan dengan Hari Raya Iedul-Fithri dan minta dimaafkan segala kesalahan lahir dan batin”; Perpustakaan Islam (di Natapradjan 72 Yogyakarta) mengucapkan “Selamat Hari Raya”; sementara toko Lie Gwan Giem (yang beralamat di Patjinan 143 Yogyakarta) mengucapkan “Selamat Hari Lebaran”; dan The Guna Institute for Modern Languages Study (yang berkantor di Bintaran Wetan, Yogyakarta) mengucapkan “Best wishes for a happy and sinless fasting-end”.
Baca juga: Lebaran di Mata Kolonialis
Beberapa perusahaan mengucapkan selamat Lebaran sembari menjual produknya. Contohnya perusahaan teh Tio Poo Kia mengucapkan selamat Lebaran dengan menampilkan gambar seseorang sedang meminum teh disertai slogan produk teh tersebut: “Enak rasanya-murah harganya. Baunya harum, segar diminum”. Toko jamu Tjap Djago mengucapkan “Selamat Hari Raja Idul Fitri” dengan menampilkan gambar seekor ayam jago mengenakan jas tengah bersalaman dengan satu keluarga yang tengah merayakan Lebaran.
Buruh Mogok
Tidak semua orang bisa berlebaran dengan modal yang cukup. Kedaulatan Rakjat edisi 15 Juli memberitakan bahwa di sejumlah kota besar terjadi pemogokan buruh. Penyebabnya lantaran para majikan belum memberikan “hadiah lebaran” kepada para buruh. Di Jawa Barat, Gubernur Militer Jawa Barat melarang buruh mogok. Namun, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) mengkritik tajam larangan ini.
Menurut SOBSI, kebijakan itu tidak pada tempatnya mengingat buruh “hanya minta sekadar hadiah untuk meramahkan Lebaran, sebagaimana dijalankan oleh pegawai-pegawai pemerintah yang dapat uang pemulihan beratus-ratus rupiah”. SOBSI bahkan menyebut aturan tersebut hanya menguntungkan pihak majikan dan secara tidak langsung melarang kaum buruh merayakan Lebaran “karena syarat untuk merayakan tidak diberikan”.
Baca juga: Ketika THR Bikin Geger
Dibandingkan Lebaran tahun-tahun sebelumnya yang dilingkupi suasana peperangan, Lebaran tahun 1950 jauh lebih khusyuk sekaligus meriah. Di Yogyakarta, pada Ahad pagi tanggal 16 Juli 1950 diadakan rapat umum menyambut Lebaran di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Dalam acara itu, Menteri Agama Fakih Usman menyerahkan lukisan bergambar lembu perahan kepada Mr. Assaat sebagai kenang-kenangan dalam perayaan Idulfitri tahun itu. Lembu perahan itu memiliki makna yang dalam. Hewan tersebut menghasilkan susu sekaligus kotoran. Susu digambarkan sebagai hasil pembangunan, sementara kotoran menyimbolkan kehancuran akibat peperangan. Kedaulatan Rakjat menampilkan foto penyerahan lukisan tersebut di halaman depan edisi sehari setelah Lebaran (18 Juli 1950).
Baca juga: Suasana Mudik dan Lebaran di Awal Orde Baru
Assaat memberikan sambutan yang mengombinasikan antara ajaran Islam dan nasionalisme Indonesia. Ia menyerukan agar kesempatan Hari Raya Idulfitri digunakan oleh kaum muslimin untuk membersihkan diri secara lahir dan batin. Ia menyebut dua perasaan yang harus dihilangkan ialah rasa dendam dan curiga, karena kedua faktor tersebut merupakan sumber perselisihan di antara sesama rakyat Indonesia. Dalam pandangan Assaat, memelihara dendam dan curiga sama saja merintangi pembentukan negara kesatuan di Indonesia.
Ibadah salat Id di ibu kota Republik Indonesia dipusatkan di Alun-Alun Utara Yogakarta. Di antara jamaah yang hadir terdapat para pejabat, seperti Acting Presiden Republik Indonesia (yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat dengan Sukarno sebagai presidennya) Mr. Assaat, Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim, dan para menteri yang lain.
Salat Id dan Halalbihalal
Di Jakarta, ibadah salat Id dipusatkan di Lapangan Banteng. Salat Id yang dihadiri sekitar 20.000 umat Islam ini dipimpin oleh Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) Wahid Hasyim. Dua tokoh politik nasional, Presiden RIS Sukarno dan Mohamad Natsir, menyampaikan pidato dalam rangkaian ibadah salat Id tersebut. Inti pidato Sukarno serupa dengan pidato Assaat di Yogyakarta, yakni perlunya bangsa Indonesia menghindari pertentangan di antara sesamanya karena pertentangan hanya akan menggagalkan usaha pembentukan negara kesatuan.
Baca juga: Melacak Sejarah Halalbihalal di Masa Kolonial
Sebagaimana dilaporkan Kedaulatan Rakjat pada 18 Juli 1950, acara halalbihalal Lebaran digelar oleh para pejabat, termasuk di Jakarta dan Yogyakarta. Di Jakarta, Sukarno mengadakan acara halalbihalal di Istana Merdeka pada siang hari Lebaran pertama. Di sana ia menerima para menteri dan sekretaris jenderal. Malamnya, acara halalbihalal kembali diselenggarakan, kali ini diperuntukkan bagi utusan-utusan dari masyarakat.
Sementara itu, di Keraton Kesultanan Yogyakarta diadakan upacara ngabekten atau sungkeman di Hari Raya Idulfitri, yang diperuntukkan bagi para abdi dalem dan saudara-saudara Sultan (Lebaran pertama) dan keluarga dekat Sultan dan para istri bupati serta mereka yang berada di jabatan di atasnya (Lebaran kedua).
Baca juga: Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara
Untuk menambah semarak perayaan Lebaran, di Alun-Alun Sewandanan di depan Puro Mangkualaman Yogyakarta diselenggarakan acara pasar malam. Laporan Kedaulatan Rakjat menyebutkan bahwa pasar malam Lebaran tersebut “mendapat hasil memuaskan”.
Suasana Lebaran yang meriah bagi masyarakat Indonesia juga terasa di luar negeri. Di Belanda, kaum muslim termasuk dari Indonesia, menjalankan salat Id di Bakers Hagen. Kantor RIS di New York, Amerika Serikat, menyambut Lebaran dengan mengeluarkan suatu pengumuman yang menerangkan makna Hari Raya Idulfitri bagi masyarakat Indonesia dan mengabarkan kebaikan hati pemerintah Indonesia yang telah mendistribusikan pakaian bagi masyarakat Indonesia agar mereka dapat merayakan Lebaran dengan penuh kegembiraan.
Penulis adalah dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.