Setahun setelah Indonesia merdeka, Hari Raya Iduladha jatuh pada hari Minggu, 3 November 1946. Pada Hari Raya Kurban itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman tengah berada di Jakarta untuk mengikuti perundingan gencatan senjata.
Jenderal Soedirman berkesempatan melaksanakan salat Iduladha di Lapangan Gambir, Jakarta, yang dihadiri ribuan umat Islam dari Jakarta dan sekitarnya, seperti Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Mereka tidak gentar terhadap kemungkinan Belanda akan melakukan tindakan represif seperti penangkapan, penahanan, dan penganiayaan.
“Perjalanan Pak Dirman pertama ke Jakarta gagal, akan tetapi perjalanan yang kedua kalinya merupakan a blessing in disguise (rahmat Allah Swt. yang tersembunyi). Pak Dirman dapat melakukan salat Iduladha bersama rakyat Jakarta. Di sini masyarakat merasakan kebesaran Allah Swt. yang memberkati perjuangan bangsa Indonesia,” kata Letjen (Purn.) Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia. Tjokropranolo adalah mantan pengawal Jenderal Soedirman.
Baca juga: Lebaran Pertama Setelah Zaman Perang
Perjalanan pertama ke Jakarta menggunakan kereta api luar biasa (KLB) gagal karena Jenderal Soedirman memutuskan kembali ke Yogyakarta. Buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Volume 2 mengungkapkan penyebabnya. Sampai di Stasiun Bekasi, KLB diberhentikan oleh tentara Belanda. Komandan tentara Belanda meminta seluruh pengawal Jenderal Soedirman menyerahkan senjata sebelum memasuki kota Jakarta.
Buku Album Kenangan Perjuangan Siliwangi menyebut para pengawal Jenderal Soedirman itu adalah peleton TRI (Tentara Republik Indonesia) di bawah pimpinan Mayor Lukas Kustaryo.
Jenderal Soedirman menolak permintaan tentara Belanda tersebut dan menganggap tindakan itu sebagai pelanggaran kehormatan dan penghinaan. Jenderal Soedirman mengatakan kepada komandan tentara Belanda itu, bahwa dia tidak mau datang ke Jakarta bila tidak diberi penghormatan selayaknya sebagai seorang panglima besar negara yang berdaulat.
Baca juga: Lebaran Tanpa Mudik di Awal Republik
Jenderal Soedirman kemudian memutuskan kembali ke Yogyakarta. Masinis Sugiri segera diperintahkan melansir kereta untuk kembali ke Yogyakarta. Di Stasiun Cikampek, kereta berhenti untuk berganti lokomotif dan masinis. Selanjutnya, kereta berangkat menuju Yogyakarta.
Menteri pertahanan Republik Indonesia mengajukan protes atas tindakan tentara Belanda itu.
“Setelah pihak Belanda meminta maaf kepada pemerintah Republik Indonesia, barulah Panglima Besar Soedirman bersedia untuk datang ke Jakarta menghadiri perundingan gencatan senjata,” tulis buku sejarah kerata api itu.
Belanda dan Inggris Berang
Pada 1 November 1946, Jenderal Soedirman bersama Kepala Staf Umum TRI Letjen Oerip Soemohardjo, Kepala Staf TRI Angkatan Laut Laksamana Muda Mohammad Nazir, Kepala Staf TRI Angkatan Udara Komodor Udara Suryadi Suryadarma, beserta rombongan berangkat ke Jakarta menggunakan KLB. Di Stasiun Bekasi, mereka disambut oleh pasukan Inggris (Sekutu) yang sekaligus mengawal rombongan sampai di Jakarta.
Tiba di Stasiun Manggarai, Jenderal Soedirman disambut oleh para pembesar pemerintah Republik Indonesia di Jakarta dan ribuan rakyat yang berkali-kali memekikan: “Merdeka!” “Hidup Pak Dirman!” “Hidup Pak Oerip!” “Hidup Republik!”
Jenderal Soedirman kemudian mengunjungi Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Setelah itu, Jenderal Soedirman beserta rombongan menginap di Hotel Shutte Raaf, Gambir, dengan pengawalan ketat.
Baca juga: Pertemuan Rahasia Sukarno dan Tan Malaka di Malam Lebaran
Perundingan gencatan senjata dimulai tanggal 3 November 1946. Karena tanggal tersebut bertepatan dengan Iduladha, Jenderal Soedirman meminta izin kepada pimpinan komisi gencatan senjata untuk terlebih dahulu melaksanakan salat Iduladha.
Jenderal Soedirman dengan pakaian seragam tentara lengkap beserta pengawalnya melaksanakan salat Iduladha di Lapangan Gambir. Jemaah yang mengetahui kehadiran Jenderal Soedirman, selesai salat segera menyerbunya untuk bersalaman. Para pengawal pun kewalahan menjaganya.
Keinginan rakyat untuk menemui Jenderal Soedirman berlanjut ke Hotel Shutte Raaf, sehingga Jenderal Soedirman terpaksa diungsikan ke tempat lain, agar tugas dan misinya tidak terganggu.
Sejarawan militer Belanda, J.A. de Moor dalam biografi Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, menyebut bahwa Spoor sangat berang dengan kedatangan Jenderal Soedirman yang membawa 30 pengawal tentara. Spoor juga menyebut kedatangan Jenderal Soedirman “dengan 80 perompaknya” sebagai tindakan provokasi. “Dia telah membuat jengkel orang Belanda dengan berlaku seperti raja,” tulis de Moor.
Kedatangan Jenderal Soedirman membuat Spoor merasa “hormat diri dan harga diri” orang Belanda terancam hilang. “Belanda kini terpaksa berunding dengan ‘para bajingan dan kolaborator dari masa perang’,” tulis de Moor.
Baca juga: Belanda Menghalangi Salat Idulfitri di Jakarta
Tidak hanya Spoor, para perwira tinggi Inggris yang tenang juga meradang karena seorang pengawal Jenderal Soedirman ditempatkan di depan markas besar militer Inggris, seolah-olah orang Inggris itu berada di bawah kekuasaannya.
“Jenderal Mansergh menjadi merah padam karena berang lalu mengakhiri tindakan yang berani itu, tetapi orang Inggris maupun orang Belanda menganggap dirinya telah dipermalukan,” tulis de Moor.
Arti Kedatangan Jenderal Soedirman
Pihak Belanda menuduh kunjungan singkat Jenderal Soedirman telah menyebabkan meningkatnya secara drastis jumlah insiden di ibu kota. Sedangkan bagi pihak Indonesia, kedatangan Jenderal Soedirman ke Jakarta sangat berarti bagi perjuangan kemerdekaan.
Buku Album Kenangan Perjuangan Siliwangi menyebut bahwa kedatangan Jenderal Soedirman menggugah semangat perjuangan rakyat Jakarta untuk tetap berjuang di pihak Republik Indonesia dan menghidupkan kembali kekuatan massa yang dapat bertindak baik legal maupun ilegal melawan Belanda.
Baca juga: Upaya Pembunuhan Sukarno di Hari Raya Kurban
Selain itu, kehadiran Jenderal Soedirman menunjukan bahwa TRI sebagai tentara resmi Republik Indonesia merupakan tentara yang teratur dan terorganisasi dengan baik dalam susunan kemiliteran suatu negara yang merdeka. Jadi, TRI bukan gerombolan ekstremis seperti yang digembar-gemborkan oleh Belanda.
Kedatangan Jenderal Soedirman juga menghilangkan prasangka internasional bahwa dia tidak tunduk pada pemerintahnya dalam hal gencatan senjata.
Pada 5 November 1946, Jenderal Soedirman dengan para pengawalnya kembali ke Yogyakarta menggunakan KLB dari Stasiun Gambir. Sedangkan Letjen Oerip Soemohardjo beserta stafnya tinggal di Jakarta untuk melanjutkan pembicaraan soal teknis pelaksanaan gencatan senjata sesuai dengan persetujuan untuk menyongsong perundingan di Linggarjati.