Masuk Daftar
My Getplus

Melacak Sejarah Halalbihalal di Masa Kolonial

Istilah halalbihalal ternyata jauh berakar ke masa kolonial. Keterangannya terekam di dalam beberapa sumber primer.

Oleh: Muhammad Yuanda Zara | 23 Mei 2020
Advertensi kolom ucapan halalbihalal di majalah Soeara Moehammadijah menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1926. (Dok. Muhammad Yuanda Zara).

Halalbihalal adalah salah satu tradisi penting umat Islam Indonesia saat merayakan Idul Fitri. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mengartikan halalbihalal sebagai ‘hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang’. Menariknya, contoh kalimat yang dipakai untuk memudahkan pemahaman pembaca juga menekankan betapa Indonesianya tradisi ini bahkan dalam perspektif tradisi Muslim global: ‘-- merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia’. Walau dalam tata bahasa Arab istilah halalbihalal tidak dikenal, istilah ini sudah mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia dan berasosiasi dengan hari Lebaran.

Kegiatan pokok dalam halalbihalal ialah saling memaafkan dengan bersalam-salaman dengan keluarga, tetangga ataupun kolega, biasanya diadakan di rumah seorang yang dituakan atau di gedung besar yang muat menampung banyak orang. Dari presiden, kepala daerah, kantor, kampus hingga para anggota trah suatu keluarga besar ambil bagian dalam tradisi ini setiap tahunnya.

Tahun ini, di bawah ancaman penyebaran Covid-19 di Indonesia, muncul ide agar halalbihalal dilakukan secara virtual dan memanfaatkan sarana komunikasi modern seperti video conference. Artinya, banyak orang merasa bahwa meski mereka tidak bisa bersalaman dan bermaaf-maafan secara fisik, tradisi ini mesti tetap digelar.

Advertising
Advertising

Sementara kegiatan silaturahmi ini diterima begitu saja sebagai sebuah tradisi tahunan oleh masyarakat kala Lebaran, pertanyaan yang masih bergelayut di benak banyak orang ialah: kapan sebenarnya tradisi halalbihalal ini bermula? Dari berbagai sumber yang tersedia, diketahui ada beberapa pendapat tentang asal usul halalbihalal. Pertama, menurut Hendri F. Isnaeni, yang mengutip biografi Sunarto (1997), istilah halalbihalal ('alal behalal' dan 'halal behalal') telah terekam secara tertulis di kamus Jawa-Belandanya Th. Pigeaud terbitan 1938.

Baca juga: Asal Usul Halalbihalal dan Pedagang Martabak

Istilah halalbihalal juga dipopulerkan oleh seorang penjual martabak asal India di Taman Sriwedari, Solo, sejak sekitar tahun 1935-1936, khususnya pada malam keramaian di bulan Ramadan. Pembantu pribumi penjual martabak itu mempromosikan dagangannya dengan kata-kata yang kemudian ditirukan oleh para pelanggannya: ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’. Kedua, pandangan bahwa istilah halalbihalal dicetuskan oleh Bung Karno pada Lebaran pertama pasca-Indonesia merdeka, setelah melalui diskusi dengan ulama Muhammadiyah asal Minangkabau, Buya Hamka. Ketiga, pendapat bahwa terminologi (dan pemanfaatan halalbihalal untuk silaturahmi politik) diperkenalkan oleh KH Wahab Chasbullah, seorang ulama Nahdlatul Ulama, kepada Bung Karno pada tahun 1948, tahun kritis dalam sejarah Republik Indonesia yang masih muda, mengingat konflik internal dan eksternal yang masih terjadi. Halalbihalal atau silaturahmi antarpemimpin politik pada Hari Lebaran dipandang Kyai Wahab sebagai cara tepat untuk mendamaikan ketegangan politik di dalam negeri Indonesia.

Sejak 1924

Bila sumber-sumber primer dari masa yang lebih awal ditilik, dapatlah diketahui bahwa penggunaan istilah halalbihalal di ruang publik sebenarnya sudah ada setidaknya sejak tahun 1924. Ini menunjukkan bahwa baik terminologinya maupun tradisi halalbihalal itu sendiri telah hidup di kalangan umat Islam Hindia Belanda sejak awal abad ke-20, lalu diadopsi sesuai dengan cara dan kebutuhan masing-masing pribadi, keluarga atau lembaga, dan dalam proses selanjutnya kian mengental menjadi kebiasaan umum.

Salah satu sumber sejarah primer paling awal yang merekam kata ini menunjukkan bahwa istilah dan tradisi halalbihalal sudah eksis sejak era 1920an di antara warga Muhammadiyah, organisasi Islam modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912. Ini bisa dilihat dari majalah Soeara Moehammadijah, media cetak resmi terbitan Muhammadiyah yang sudah terbit sejak tahun 1915.

Keterangan mengenai halalbihalal itu tersua dalam Soeara Moehammadijah edisi No. 5 tahun 1924 (terbit sekitar April 1924) yang dipublikasikan menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1924, yang saat itu jatuh pada tanggal 6 Mei. Seorang penulis asal Gombong, Jawa Tengah, yang tampaknya warga Muhammadiyah cabang kota itu, Rachmad, menulis sebuah kolom di sana. Judulnya ‘Hari raja ‘Iedil fithri’.

Baca juga: Lebaran Tanpa Mudik di Awal Republik

Di artikelnya ia mengajak pembaca Soeara Moehammadijah dan kaum Muslim Indonesia pada umumnya untuk merenungkan beberapa makna kunci yang berkaitan puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Pertama, Hari Raya Idul Fitri adalah pertanda bahwa kaum Muslim telah usai melaksanakan kewajiban berpuasa selama sebulan lamanya. Kedua, selama bulan puasa, kaum Muslim telah mengerjakan berbagai amal lain yang bernilai pahala, seperti memberi sedekah kepada fakir miskin. Ketiga, membayar zakat fitrah merupakan cara agar mereka yang berkecukupan senantiasa ingat dengan mereka yang berkekurangan.

Adapun mengenai Hari Raya Idul Fitri, Rachmad juga menyampaikan beberapa hal yang menurutnya telah menjadi ciri khas hari besar Islam itu: ‘Oemoemnja pada hari raja ‘Iedil fithri kita sama Chalal bil Chalal (Ar.) (ngapoera ingapoera Jv), sama memakai pakaian jang endah-endah, dan baoe-baoean jang haroem-haroem’. Dari sini bisa diketahui bahwa istilah dan kegiatan halalbihalal sudah menjadi penanda yang umum bagi Hari Raya (selain dengan berpenampilan menarik) di pertengahan 1920an itu, jadi memperlihatkan bahwa masyarakat Hindia Belanda di era kolonial sudah terbiasa menggunakan istilah itu maupun menjalankan aktivitas halalbihalal itu selama bertahun-tahun sebelumnya. Menariknya, di sini disebutkan versi Jawa dari istilah itu, yakni ngapura ingapura alias saling memaafkan. Mungkin ini merupakan suatu cara untuk mempopulerkan lebih jauh istilah dan makna halalbihalal ke tengah masyarakat Muslim Jawa.

Rachmad lalu mengutarakan bahwa menurut Al Qur’an, semua Muslim itu bersaudara, dan oleh sebab itu persaudaraan tersebut harus dijaga. Persatuan harus dipertahankan sementara perpecahan harus dijauhi. Hubungan antarmanusia memang tidak selalu mulus, dan kadang kesalahan kecil saja bisa membuat orang berselisih. Maka, di sinilah menurut Rachmad arti pentingnya halalbihalal di Hari Lebaran. ‘Kebanjaän orang pisah persaudara’annja, dari sebab perkataän satoe kalimah, dan lakoe sedikit; persaudara’an kita jang soedah petjah itoe haroes kita djadikan satoe lagi dengan chalal bil chalal’, tulis Rachmad.

Baca juga: Sejarah Mudik Tahun 1960-an

Redaksi majalah Soeara Moehammadijah bahkan membawa tradisi halalbihalal ini ke dalam dunia literasi yang saat itu sedang berkembang, walau masih dalam skala awal, di antara kaum pribumi Hindia Belanda. Sebelumnya halalbihalal umumnya dilakukan secara fisik, dengan orang saling bertemu, berjabat tangan, dan saling mengucap maaf di bulan Syawal. Tapi, tidak semua orang bisa bersua secara fisik di Hari Raya, baik karena kendala jarak, transportasi ataupun alasan lainnya. Sejak tahun 1926, Soeara Moehammadijah memperkenalkan halalbihalal yang dimediasi oleh lembaran kertas di media cetak sehingga memberikan definisi ulang pada halalbihalal. Maka, halalbihalal tidak selalu berarti berjabat tangan secara langsung, melainkan dapat pula berarti bersalaman secara simbolis. Yang penting pesan silaturahmi dan saling memaafkan tersampaikan.

Pada sebuah edisi Soeara Moehammadijah dari tahun 1926, redaksi majalah ini dalam sebuah pemberitahuannya menjelang Hari Lebaran (jatuh pada 14 April 1926) menyatakan bahwa mereka menyediakan kolom bagi ‘toean-toean dan saudara kaum Islam teroetama kaum Moehammadijin’ yang ingin bersilaturahmi di Hari Raya Idul Fitri. Dengan biaya yang terjangkau (f 0,50), majalah ini ‘bersedija oentoek menjampaikan alal-bahalal saudara’. Redaksi meminta agar para pembaca yang tertarik berhalalbihalal via majalah ini untuk segera menghubungi mereka agar di edisi yang akan datang ‘saudara ampoenja nama bakal nampak’, atau dengan kata lain, ucapan halalbihalalnya, dimuat.

Di tahun itu, sirkulasi majalah ini tidak hanya mencakup kota kelahirannya saja (Yogyakarta), tapi sudah menjangkau berbagai kota di antero Jawa dan Sumatra, seiring dengan perkembangan cepat cabang dan ranting Muhammadiyah ke berbagai tempat di Hindia Belanda di dekade 1920an itu. Dengan demikian, berhalalbihalal lewat kolom advertensi di majalah bersirkulasi lintaspulau ini merupakan suatu cara untuk membangun hubungan yang emosional pada Hari Raya dalam skala yang lebih luas, menyimbolkan rasa persaudaraan yang melintasi batas-batas kekerabatan dan lokalitas.

Baca juga: Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara

Di era 1920-an itu, umat Islam Hindia Belanda sedang getol-getolnya menonjolkan identitas keislamannya di tengah masih kuatnya etnisitas lokal dan dominasi budaya dan birokrasi kolonial yang berkiblat ke Eropa. Sebagaimana diutarakan sejarawan Kees van Dijk dalam tulisannya, ‘The Indonesian Archipelago from 1913 to 2013: Celebrations and Dress Codes Between International, Local, and Islamic Culture’ (2015), di Hindia Belanda pada dekade 1910an (dan tentunya masih berlaku pada era 1920an), ada tiga cara berpakaian. Ketiganya ialah: ala Eropa, sesuai dengan etnis masing-masing (lokal) dan secara Islam. Beberapa ciri khas gaya berpakaian pria Muslim saat itu ialah berpeci dan mengenakan sarung, dengan orang-orang yang telah naik haji mengenakan pakaian yang lebih rumit, mirip dengan gaya busana orang Arab. Dan, Hari Raya adalah momentum tepat untuk memperlihatkan penampilan luar diri secara serta identitas keislaman secara maksimal. Saat bersilaturahmi dengan orang lain, pakaian baru yang tidak murah harganya, plus pemakaian parfum yang harum, ditambah perhiasan di sana-sini, akan mengirim pesan tentang identitas dan status sosial pemakainya.

Tapi adakalanya sebagian umat Islam terlalu eksesif dalam bergaya di Hari Raya. Seorang ulama terkemuka Muhammadiyah di Yogyakarta, H. Hanad, dalam sebuah tulisannya yang bertajuk ‘’Idoel Fitri’ di Soeara Moehammadiyah tahun 1926 mengkritik umat Islam yang merayakan Lebaran dengan berlebihan, dengan apa yang ia sebut sebagai ‘gemar melakoekan pekerdjaän jang sama sekali tiada faedahnja’. Ia mencontohkan dengan kegemaran masyarakat berpakaian mahal ataupun menyengaja berlama-lama berpelesir di Hari Raya hanya untuk menyombongkan kendaraan mahal yang dipunyainya.

Ini adalah kritik atas budaya pamer barang-barang baru dengan harga selangit pada Hari Raya, kritik yang senantiasa muncul menjelang Lebaran bahkan hingga di tahun-tahun belakangan ini (dengan istilah yang dewasa ini lebih lazim dipakai: konsumerisme). Padahal, menurut H. Hanad ada hal-hal yang lebih esensial di Hari Lebaran, di antaranya keimanan yang kian kuat, jiwa yang semakin bersih, kerelaan untuk berbagi dengan mereka yang kurang beruntung dan silaturahmi untuk melestarikan persaudaraan.

Baca juga: Merayakan Lebaran di Masa Lampau

Di tahun-tahun berikutnya, tradisi halalbihalal yang tidak hanya antaranggota keluarga saja atau dengan tetangga di sekitar rumah, tetapi juga untuk kolega-kolega di tempat yang jauh ini, terus dilakukan. Ini bisa dilihat dari perayaan Lebaran tahun 1931, yang jatuh pada tanggal 19 Februari. Sebuah kolom advertensi setengah halaman di Soeara Moehammadijah, berisi beberapa ucapan Selamat Lebaran. Judul iklan di Soeara Moehammadijah, No. 29, 29 Februari 1931 itu: ‘Selamat dan sedjahtera hari raja Idhil-Fithri 1349. Shilatoer-rochmi dan Halal Bihalal'.

Dalam terbitan itu ada sembilan orang yang menyampaikan ucapan Selamat Lebarannya, yang ditujukan kepada keluarga sekaligus kolega mereka di berbagai tempat di Hindia Belanda. Mereka adalah H. Ibrahim (Tebing Tinggi [Sumatra Timur]), Datoek Rangkajo Toeo (Tebing Tinggi), Bagindo Mahjoedin (Tebing Tinggi), Maamoer (Tebing Tinggi), Pakih Pamoentjak (Tebing Tinggi), Soetan Mangkoeto (Tebing Tinggi), Abdullah (Tebing Tinggi), Ali Oemar (Tapaktuan [Aceh]), dan Soleman Partasoebrata (Ngawi [Jawa Timur]).

Beberapa nama di atas jelas berasal dari Minangkabau, sebagaimana tampak dari gelar mereka (Datoek Rangkajo Toeo, Bagindo Mahjoedin, dan Soetan Mangkoeto), dan mereka tengah merantau ke Sumatra Timur. Jadi, orang-orang asal Sumatra Barat ini bekerja di bagian Sumatra lainnya (Sumatra Timur), lalu berhalalbihalal via sebuah media yang berbasis di Yogyakarta dengan sirkulasi lintaspulau. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai salah satu cikal bakal halalbihalal nasional dalam sejarah Indonesia.

Ditampilkan pula sebuah gambar di sana, yaitu gambar dua tangan bersalaman. Gambar ini secara visual merepresentasikan inti dari silaturahmi dan halalbihalal di masa Lebaran: menjalin komunikasi, merajut kebersamaan, lalu bermaaf-maafan, untuk kemudian memulai hari baru dengan hati yang bersih. Ini adalah makna halalbihalal yang selalu ditekankan di Hari Lebaran, sejak dari era kolonial dulu hingga masa kini, meski istilahnya telah berkali-kali mengalami perubahan cara penulisan, mulai dari chalal bil chalal (1924), alal bahalal (1926), halal bihalal (1931), alal behalal (1938), halal behalal (1938), hingga akhirnya penulisan yang standar yang kita pakai kini: halalbihalal.

Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.

Tulisan Muhammad Yuanda Zara lainnya bisa dibaca di sini.

TAG

islam lebaran muhammadiyah

ARTIKEL TERKAIT

Tradisi Membeli Baju Lebaran Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Menentukan Hari Lebaran Pada Masa Kolonial Dakwah Walisongo Sosok Itu Bernama Hamka Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker