KI Bagus Hadikusumo tak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah. Bahkan, dengan keberanian dan kesungguhan hati, dia pernah memimpin organisasi Islam yang besar ini melewati masa-masa sulit. Dia begitu mencintai Muhammadiyah, hingga akhir hayatnya.
“Janganlah Muhammadiyah dianiaya karena Muhammadiyah tidak akan mati karena aniaya itu, bahkan penganiayanya akan menyesal di kemudian hari,” ujarnya dalam Ki Bagus Hadikusumo: Hasil Karya dan Pengabdiannya karya Suhatno.
Ki Bagus merupakan generasi pertama Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Kiprahnya dimulai tahun 1922. Ki Bagus menjadi ketua Majlis Tabligh yang bertugas menjalankan program tabligh dan dakwah. Dia rajin keliling daerah untuk berdakwah, mengembangkan jaringan, dan bertemu dengan masyarakat. Aktivitas dakwah ini membuatnya diangkat sebagai anggota Panitia Pengawas Pondok Pesantren seluruh Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada 1923.
Ahmad Dahlan wafat tahun 1923. Di tahun yang sama, dalam sidang tahunan Muhammadiyah, KH Ibrahim ditetapkan sebagai ketua Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah. Ki Bagus ditunjuk sebagai Juru Priksa (Commisaris) yang bertugas memeriksa cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai wilayah.
Ki Bagus juga menggantikan posisi Ahmad Dahlan dalam Komisi Perbaikan Peradikan Agama (Priesterraaden Commissie) seluruh Jawa dan Madura.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo Pujangga dari Kauman
Pengadilan Agama
Komisi Perbaikan Peradikan Agama dibentuk oleh pemerintah pada 12 Januari 1922 dan diketuai oleh Hoessein Djajadinigrat. Komisis terdiri dari unsur priyayi, ahli hukum adat, unsur penghulu, dan ulama. Tugasnya mengadakan penelitian sampai seberapa jauh hukum adat dan hukum Islam berpengaruh pada proses pengadilan, terutama dalam hukum waris.
Bagi Ki Bagus, Komisi ini merupakan peluang penting untuk melakukan perubahan sistem hukum dan memperkokoh supremasi hukum Islam. Karena itu pertemuan-pertemuan komite berlangsung cukup sengit.
“...di dalam rapatnya yang memakan waktu lebih sepuluh hari itu, setelah dibicarakan dan diperdebatkan dengan hebat dan panjang lebar, maka mendapat keputusan dengan suara terbanyak sekali bahwa hukum Islam yang harus dipatuhi oleh landraad untuk memutuskan perkara-perkara yang mengenai atau bersangkut paut dengan hal ihwal waris,” ujar Ki Bagus dalam sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945, mengenang pengalamannya di masa lalu.
Baca juga: Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan
Komite bersepakat bahwa hukum Islam diberlakukan, bukan hukum adat. Namun ternyata rekomendai komite tidak dijadikan dasar terbitnya Ordonnantie 1931. Terkait soal waris diberlakukan hukum adat, bukan hukum Islam.
“Pemerintah Hindia-Belanda hendak menghapuskan hukum Islam tentang urusan waris dan akan menggantikan dengan hukum adat (adatsrecht). Terlebih dahulu urusan waris itu diambil dari raad agama dan dipindahkan kepada landraad. Ini kejadi dalam tahun 1922,” kata Ki Bagus.
Perjuangan Ki Bagus untuk menempatkan hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum mendapat dukungan dari para penghulu yang kemudian membentuk Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP).
Baca juga: Persahabatan Kyai Mansur dengan Pendiri Muhammadiyah
Umat Islam kecewa begitu urusan waris dari Pengadilan Agama dicabut dan diambil-alih oleh landraad. Tak mau kemarahan umat Islam berlarut-larut, pemerintah menugaskan Hoeseein Djajadiningrat bersama Ki Bagus untuk menyusun Mahkamah Islam Tinggi. Pada 1937, Mahkamah Islam Tinggi untuk Jawa dan Madura resmi terbentuk dengan fungsi mengadili perkara-perkara menurut hukum Islam.
Pada 1926, Muhammadiyah membentuk wadah baru, yaitu Majlis Tarjih, yang dipimpin oleh Haji Mansur. Ki Bagus mendapatkan posisi baru ebagai wakil ketua. Lembaga ini bertugas menyatukan pandangan tentang Islam dalam menjalankan syariat Islam semurninya. Ki Bagus bertugas mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum Islam. Untuk mempermudah tugas, dibentuklah cabang Majlis Tarjih di setiap daerah.
Independensi Sekolah Muhammadiyah
Pada 1926, Ki Bagus dipercaya menjadi salah satu anggota Bagian Pengajaran HB Muhammadiyah yang diketuai oleh KH Muchtar. Komisi ini bertugas melengkapi putusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya tahun 1926 tentang pendidikan sekaligus melanjutkan rintisan Ahmad Dahlan.
Sekolah Muhammadiyah awalnya hanya informal yang dikembangkan oleh Ahmad Dahlan. Pembelajaran ilmu agama dan pengetahuan umum dilakukan di ruang tamu kediamannya di Kauman, Yogyakarta. Sekolah rintisan ini kemudian diresmikan pada 1 Desember 1911 dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
“Di saat para kiai masih menganggap sekolah yang memakai kursi dan meja untuk belajar itu merupakan sekolah orang kafir, Ahmad Dahlan melampaui pemikiran itu dengan mendirikan sekolah yang bahkan tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum,” catat M. Raihan Febriansyah dkk dalam Muhammadiyah: 100 Tahun Menyinari Negeri.
Baca juga: Soedirman, Guru Muhammadiyah Jadi Panglima Besar
Setelah Ahmad Dahlan wafat, pendidikan Muhammadiyah terus dikembangkan. Keberadaan Komisi Pendidikan menjadi penting mengingat jumlah lembaga pendidikan atau sekolah Muhammadiyah mulai tumbuh di mana-mana. Dicatat Alfian dalam Islamic Modernism in Indonesia Politics: The Muhammadiyah Movement During the Dutch, tahun 1926 ini Muhammadiyah memiliki 51 lembaga pendidikan yang tersebar di di Jawa Barat (4), Jawa Tengah (24), Jawa Timur (18), dan Madura (5).
Namun, sekolah-sekolah Muhammadiyah menghadapi kendala sarana dan prasarana karena keterbatasan dana. Untuk mengatasi kesulitan ini, KH Hisyam yang menjabat ketua HB Muhammadiyah, didukung oleh tokoh-tokoh tua, menerima ide subsidi dari pemerintah.
Menurut Sudarnoto Abdul Hakim dalam “Ki Bagus Hadikusumo: Islam, Pancasila dan NKRI” di majalah Tabligh No 15/X 2013, pemerintah membuka kemungkinan memberikan subsidi bagi penyelenggara pendidikan masyarakat, termasuk Muhammadiyah. Di balik itu ada niatan pemerintah untuk menjinakkan “sekolah-sekolah liar”.
Baca juga: Modal Soeharto dari Muhammadiyah
Tak heran jika sekolah bersubsidi Muhammadiyah memicu perdebatan sengit, dan bahkan pertentangan di kalangan hoofdbestuur Muhammadiyah. Kaum muda ingin mempertahankan independensi sekolah-sekolah Muhammadiyah. Mereka juga menganggap tokoh-tokoh tua terlalu sibuk dengan program pendidikan bersubsidi sehingga memudarkan jiwa agama.
Ki Bagus mencoba menjembatani perbedaan tersebut. Kaum tua bersedia mengalah serta memberi kesempatan kepada kaum muda untuk memimpin Muhammadiyah. Namun, dalam Kongres ke-25 di Jakarta tahun 1936, tak satu pun kubu kaum muda mau memegang jabatan ketua. Akhinya jabatan tersebut jatuh ke KH Mas Mansur yang sebelumnya belum pernah jadi pejabat teras di HB Muhammadiyah. Terpilihnya Mas Mansur merupakan jalan keluar dari konflik kaum tua dan kaum muda. Mas Mansur terpilih lagi pada kongres tahun berikutnya di Yogyakarta. Ki Bagus sendiri duduk sebagai wakil ketua bersama K.R.H. Hadjid.
“Sebetulnya, pilihan awal untuk menduduki jabatan ketua ini ialah Ki Bagus akan tetapi Ki Bagus menolak,” catat Soenarto. Alasannya: belum siap.
Berkat Ki Bagus pula sekolah-sekolah Muhammadiyah tetap independen dan tak tergantung pada pemerintah.
Gelombang Politik
Situasi di masa pergerakan nasional mendorong Ki Bagus terjun ke politik. Menurut Djarnawi Hadikusuma, putra Ki Bagus, dalam Derita Seorang Pemimpin, Ki Bagus bukanlah seorang politisi. Dia adalah ulama yang punya cita-cita dan cita-cita itu ialah Islam. Tapi Ki Bagus juga bukanlah orang tak mau berpolitik.
“Dengan pengetahuannya yang picik diukur dengan semestinya, dia berkecimpung dalam gelombang politik. Arti politik baginya ialah menegakkan hukum kebenaran dan keadilan, lain tidak,” ujar Djarnawi.
Bersama KH Mas Mansur, yang saat itu menjabat ketua HB Muhammadiyah, Ki Bagus ikut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) di Surakarta pada 4 Desember 1938. PII mendapat dukungan dari Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Thawalib, dan bekas anggota Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatra.
Baca juga: Perjalanan Muhammadiyah di Kota Medan
PII lahir dari perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI), yang didirikan oleh Haji Omar Said Tjokroaminoto, dan kemudian penerusnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Konflik ini diperparah dengan kebijakan penertiban anggota SI yang merangkap sebagai anggota Muhammadiyah dan Persis.
Mula-mula Sukiman Wirjosandjojo bersama sejumlah bekas anggota PSII lainnya dengan dukungan Muhammadiyah mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii). Dicatat Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, mereka mengusulkan agar PSII mengubah politik hijrahnya (nonkooperatif). Mereka menganggap PSII terlalu bersifat ketat dan menghambat perjuangan partai. Mereka juga meminta agar tindakan disiplin terhadap Muhammadiyah dibatalkan. Semuanya ditolak oleh PSII.
Menyusul penolakan tersebut, dan karena Parii tak berkembang, mereka mendirikan partai politik baru, yakni PII.
Sebagai salah satu pendiri, Ki Bagus dilibatkan sebagai anggota Panitia Anggaran Dasar partai. Pada Desember 1938, rancangan Anggaran Dasar disahkan dan kepengurusan partai dibentuk dengan Wiwoho Purbohadijoyo sebagai ketua dan Sukiman wakil ketua. Ki Bagus bersama Mas Mansur dan Faried Ma’ruf dari Muhammadiyah menjadi anggota Pengurus Besar.
Baca juga: Muhammadiyah dan Musik
Duduknya beberapa tokoh Muhammadiyah, termasuk ketuanya Mas Mansur, dalam kepengurusan PII diprotes oleh cabang-cabang Muhammadiyah. Namun penolakan itu akhirnya bisa diatasi. Masuknya kader-kader Muhammadiyah dalam PII merupakan keinginan dan atas nama pribadi serta tidak melibatkan organisasi Muhammadiyah.
PII menggelar kongres pertama di Yogyakarta pada 11 April 1940 dan menunjuk Sukiman sebagai ketua Pengurus Besar. Sedangkan Ki Bagus menjadi anggota Pengurus Besar. Pada kongres kedua di Solo, 25-27 Juli 1941, PII memutuskan menjadi anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI), badan kerjasama organisasi dan partai-partai politik, yang memperjuangkan “Indonesia Berparlemen”.
PII tak berumur panjang. Keburu Jepang menduduki Indonesia. Menurut Ridho Al-Hamdi dalam Paradigma Politik Muhammadiyah, selama periode 1938-1942, meskipun banyak anggotanya terlibat sebagai politisi PII, Muhammadiyah tak pernah menentukan sikap resminya terhadap eksistensi partai tersebut.
“Hal ini menunjukkan sikap kelenturan atau keluwesan gaya berpolitik yang diperankan oleh Muhammadiyah era kepemimpinan KH Mas Mansur, meskipun sejumlah kritik tetap terjadi di internal sesama kader Muhammadiyah.”
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo dalam Toedjoeh Kata
Selain PII dan GAPI, kader-kader Muhammadiyah terlibat dalam pembentukan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah federasi organisasi Islam. MIAI dibentuk di Surabaya pada 21 September 1937 untuk menggalang persatuan. Untuk menyusun ketentuan tentang perlunya federasi ini berdasarkan Al-Qur’an, dibentuklah panitia kecil yang terdiri dari Mas Mansur dan Ki Bagus mewakili Muhammadiyah, Wondoamiseno dan Abikusno (SI), dan Sukiman (PII).
Pada masa pendudukan Jepang, MIAI dibubarkan dan digantikan oleh Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi). KH Hasyim Asy’ari menjadi ketuanya. Ki Bagus menjadi Ketua Muda I, K.H Wahid Hasyim menjadi Ketua Muda II, dan Kasman Singadimejo menjadi Ketua Muda III.
Selain Masyumi, militer pendudukan Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansur atau dikenal dengan Empat Serangkai. Hal ini membuat Mas Mansur melepaskan jabatannya sebagai ketua HB Muhammadiyah dan menyerahkannya kepada Ki Bagus.
Sejak itulah peran dan kiprah Ki Bagus semakin terlihat.*