KI Bagus Hadikusumo dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang berperan besar dalam penyusunan dasar negara. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dia memaparkan pentingnya Islam sebagai dasar negara. Kendati cita-citanya kandas, Ki Bagus tetap memegang komitmen berbangsa dan bernegara.
Ki Bagus Hadikusumo lahir di Kauman, Yogyakarta pada 11 April 1890. Dia lahir dengan nama Raden Hidajat. Ayahnya, Raden Haji Lurah Hasyim, adalah seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang menjabat lurah bidang keagamaan.
Hidajat adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Kakak-kakaknya adalah tokoh-tokoh penting dalam organisasi Muhammadiyah. Kakak tertua, K.H Syuja, merupakan pelopor Perjalanan Haji Indonesia dan pendiri Rumah Sakit Muhammadiyah Yogyakarta. Sedangkan yang kedua, KH Fakhruddin, merupakan anggota Muhammadiyah serta teman seperjuangan HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim.
Baca juga: Persahabatan Kyai Mansur dengan Pendiri Muhammadiyah
Masa kanak-kanak Hidajat dihabiskan untuk bermain dan belajar. Menurut Suhatno dalam buku Ki Bagus, Hadikusumo: Hasil Karya dan Pengabdiannya karya Suhatno, anak-anak Kauman mendirikan sebuah kelompok lakon sandiwara yang bernama Setambul. Hidajat berperan sebagai pangeran atau raja muda. Setambul pernah mengadakan pertunjukan di kota-kota besar di Jawa.
“Dalam memainkan peranannya pernah dia memanjat dengan seutas tali seperti yang mungkin dilakukan oleh seorang Romeo untuk menemui si Juliet, kemudian menyanyikan lagu Stambul,” ujar Djarnawi Hadikusumo dalam Derita Seorang Pemimpin: Riwayat Hidup Perjoangan Buah Pikiran Ki Bagus Hadikusuma.
Setambul memiliki tim sepakbola. Setiap pentas, sore perkumpulan ini bermain sepakbola dengan penduduk setempat dan malamnya bermain sandiwara. Dalam pertandingan sepakbola, mereka kerap mengalah. Sebab kalau menang pertunjukkan kurang laku.
Saat Setambul bubar, perkumpulan ini mendirikan kelompok sepakbola yang diberi nama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kemudian berubah jadi The Lion, dan akhirnya dengan berdirinya kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah diubah menjadi H.W.
Menginjak dewasa, Hidajat meninggalkan seni dan olahraga karena hukumnya mubah dalam Islam. “Kita tidak perlu susah payah menghabiskan biaya yang banyak untuk mengembangkan seni dan olahraga. Lebih baik kekuatan dan harta kita titik-beratkan untuk melaksanakan yang wajib atau sunnah.”
Kultur Kauman
Hidajat tumbuh dari kultur Kauman yang santri. Dia belajar agama dan mengaji pada ayahnya dan ulama-ulama sekampung. Dia mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas tiga Sekolah Ongko Loro. Selanjutnya masuk pondok pesantren di Wonokromo dan Pekalongan untuk belajar ilmu fikih dan tasawuf. Setelah itu dia belajar agama di Mekah selama dua tahun.
Hidajat memperdalam ilmu agama dengan belajar pada KH Ahmad Dahlan, ulama besar di Yogyakarta dan pendiri Muhammadiyah. Melalui Ahmad Dahlan, dia bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaruan (modernisme Islam). Dia juga membaca kitab-kitab karangan para ulama terkemuka seperti Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, Imam Ghazali, Ibnu Rusyid, hingga Rasyid Ridla.
“Ketekunannya membaca menjadikan dia bertambah alim. Sampai larut malam menekuni kitabnya hingga menderita sakitmata beberapa lama. Walaupun masih muda orang telah menggelarinya ulama atau kiyahi,” ujar Djarnawi Hadikusumo.
Menurut Sudarnoto Abdul Hakim dalam “Ki Bagus Hadikusumo: Dedikasi untuk Islam dan Bangsa”, termuat dalam buku Dari Muhammadiyah untuk Indonesia suntingan Lukman Hakiem, gagasan dan gerakan tjdid (modernisme Islam) Muhammadiyah berpengaruh terhadap Hidajat dan saudara-saudaranya. “Karena itu tak satu pun di antara mereka yang melanjutkan profesi ayah dan kakek mereka sebagai pejabat keraton bidang agama.”
Baca juga: Ahmadiyah di Indonesia
Selain mendalami ilmu agama dan menguasai bahasa Arab, Hidajat belajar beberapa bahasa. Dia bisa bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda karena belajar dengan Raden Ngabehi Sasrosugondo, guru Kweek School Gubernemen di Jetis Yogyakarta dan salah seorang pengurus Budi Utomo Cabang Yogyakarta.
Bahasa Inggris dipelajarinya dari Mirza Wali Ahmad Baiq, tokoh Ahmadiyyah yang diundang Pengurus Besar Muhammadiyah dan berpidato dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1924. Selama di Yogya, rumah tinggal Mirza kerap jadi tempat pertemuan orang-orang Muhammadiyah serta didatangi anak-anak Muhammadiyah yang belajar agama dan bahasa Inggris.
Hidajat terlibat dalam organisasi Muhammadiyah sejak menjadi murid langsung Ahmad Dahlan. Dia jadi penggerak generasi pertama Muhammadiyah. Oleh Ahmad Dahlan, dia diserahi tugas memimpin kawan-kawannya bertabligh ke pelosok-pelosok, bahkan ke luar Yogyakarta.
Gagal sebagai Pengusaha
Di usia 20 tahun, Hidajat menikah dengan Siti Fatmah yang merupakan anak dari Raden Haji Suhud. Mereka dikaruniai enam anak. Salah satu putranya, Djarnawi Hadikusumo, menjadi tokoh Muhammadiyah, penulis, sastrawan, dan politisi bahkan ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Setelah Siti Fatmah meninggal dunia, dia menikah lagi dengan Mursilah dan dikaruniai tiga anak. Istri kedua juga meninggal. Dia pun menikah untuk kali ketiga dengan Siti Suyatimah yang dikaruniai lima anak.
Kendati karakter santri mewarnai kepribadiannya, Hidayat adalah seorang Jawa yang mencintai identitas kejawaannya. Menurut Muhamad Hisyam dalam “Ki Bagus hadikusumo dan Problem Relasi Agama-negara”, Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 13 No. 2 tahun 2011, setelah menikah, nama Hidajat yang bernuansa santri diganti dengan Ki Bagus Hadikusumo, sebuah nama Jawa berkonotasi elitis. Di depan publik pun Ki Bagus lebih sering mengenakan pakaian Jawa daripada bersorban. Dia memakai blangkon dan beskap, tapi dengan kombinasi sarung, bukan kain tapih seperti setelan “asli” Jawa.
Baca juga: Muhammadiyah dan Musik
Ki Bagus mendidik anak-anaknya sangat keras dan disiplin. Setiap malam mereka diwajibkan belajar, kecuali malam Jumat harus membaca Al-Quran. Ki Bagus merasa mengajarkan anak-anaknya adalah amanah besar. “Memelihara anak adalah fardlu kifayah atau kewajiban yang dilakukan bersama,” catat Suhatno.
Sebagai ayah dari 14 anak, Ki Bagus berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain kesibukannya di Muhammadiyah, dia bekerja sebagai guru Madrasah Mu’alimat Muhammadiyah Yogyakarta. Penghasilannya sebagai guru madrasah jelas tak mencukupi. Maka, di sela-sela aktivitas mengajar dan berdakwah, dia membawa dan menjual barang-barang dagangannya.
Karena tak mendapat untung besar, dia mencoba menjadi pengusaha batik tapi mengalami kemacetan. Setelah itu, dia membuka toko dan menjadi agen dari apotek J. Van Gorkhom milik seorang Belanda tapi juga gagal karena bangkrut. Terakhir, dia berkongsi dengan H. Muller, orang Belanda yang menjual piringan hitam dan grampon. Kendati berjalan cukup baik, Ki Bagus merasa bisnis ini tak sesuai dengan keinginannya.
Pujangga
Ki Bagus akhirnya menemukan pekerjaan yang sesuai bakatnya, yaitu menjadi penulis. Dengan menulis dia ingin memberikan pokok-pokok pikiran agar bisa menjadi amalan baik baginya.
Berbekal kegemarannya membaca buku, yang memperkuat pemahamannya terkait Islam, dan keahliannya dalam bahasa Jawa, Ki Bagus menulis dan menerbitkan buku. Beberapa di antaranya Poestaka Iman (1925), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), dan Poestaka Ihsan (1941).
Poestaka Iman membahas rukun iman dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada enam rukun iman yang dibahas beserta penjelasannya. Misal, Rukun Iman kepada Nabi Muhammad dijabarkan melalui kiprah Nabi serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di Makkah dan Madinah. Setiap peristiwa diberikan makna dan pembelajarannya.
“Ini adalah kitab yang digunakan dalam kajian santri tabligh. Kali ini saya akan mengajari Anda tentang agama Islam atau apapun yang berhubungan dengan Islam,” tulis Ki Bagus dalam bukunya.
Baca juga: Modal Soeharto dari Muhammadiyah
Poestaka Hadi, terdiri dari enam jilid, menjelaskan beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan iman dan diperuntukkan orang-orang belajar mengenai Islam. Ada puluhan ayat yang ditafsirkan oleh Ki Bagus dan berkaitan dengan hukum islam, ibadah, dan akhlak.
Poestaka Islam menerangkan rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan Poestaka Ihsan membahas mengenai akhlak, kekuatan jiwa (nafsu), hingga hubungan antara jiwa dan tubuh.
Gaya tulisannya mirip dengan Raden Ngabehi Sastrosugondo. Ini tentu tak mengherankan. Selain belajar bahasa Jawa darinya, Ki Bagus menyukai dan terpengaruh karya Sastrosugondo, terutama Judhagama (Agama). Buku yang terdiri dari lima jilid dan saduran dari tulisan L. Penning ini dibacanya berulang-ulang.
Ki Bagus menerbitkan buku-bukunya sendiri. Naskahnya ditulis dengan tangan karena tak pandai mengetik. Setelah itu dicetak ke perseroan milik Muhammadiyah. Nantinya buku-buku itu dikirim ke rumah murid-muridnya yang pesan.
“Banyak orang datang dari tempat yang jauh untuk memilikinya. Saya sering disuruhnya mengantarkan kitab-kitab ke rumah kaum pensiunan yang menjadi muridnya,” ujar Djarnawi.
Karya Ki Bagus:
Poestaka Iman, (Mataram: Persatoean, 1925).
Roehoel Bajan: Kitab Pengindaring Qoeran, Soerat Joemoeah lan Moenaafiqoen Sarono Boso Jowo, (Djogjakarta: Persatoean Moehammadijah, 1348 H/1927 M).
Tafsir al-Qoeran Joez ‘Amma, (Djogjakarta: Taman Poestaka, 1928)
Risalah Katresnan Djati: Djilid I, II, III, (Mataram: Persatoean, 1935)
Poestaka Hadi: Djilid I, II, III, IV, dan V, (Mataram: Persatoean, 1936)
Poestaka Islam, (Mataram: Persatoean, 1940)
Poestaka Ihsan, (Mataram: Persatoean, 1941)
Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin, (Jogjakarta: Pustaka Rahaju, tt.)
Sosok Bersahaja
Ki Bagus terlibat di Muhammadiyah sejak 1922. Beberapa posisi penting dijabatnya hingga akhirnya terpilih sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, yang disandangnya selama 11 tahun. Selama masa itu dia memainkan peranan penting pada momen-momen penting dalam sejarah Indonesia.
Kendati lebih dikenal sebagai alim-ulama, Ki Bagus tak alergi politik. Dia terlibat dalam Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan Masyumi. Bahkan dia pernah jadi anggota Parlemen dari Masyumi ketika menggantikan RH Benjamin, ketua Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PP GPII), yang meninggal dunia.
“Mungkin orang berpikir, karena sudah menjadi anggota Parlemen, gaya hidup Ki Bagus akan berubah. Ternyata, tidak! Ketika para koleganya berebut membeli mobil, Ki Bagus tetap naik becak atau naik trem,” kenang Abdul Malik Karim Amrullah atau populer dengan nama Buya Hamka dalam “Almarhum Ki Bagus Hadikusumo” yang dimuat majalah Hikmah 18 September 1954.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo Penggerak Generasi Pertama Muhammadiyah
Ki Bagus juga sosok yang disegani dan dihormati. Termasuk oleh Presiden Sukarno, yang memanggilnya “Kangmas” dan menganggapnya sebagai guru. Kedekatan itu digambarkan oleh Buya Hamka.
Suatu ketika Presiden Sukarno mengundang para pemimpin Muhammadiyah ke Istana untuk dimintai pendapat mengenai penyelesaian pemberontakan eks Batalyon 426, yang didukung Darul Islam, di Jawa Tengah pada awal 1950. Melihat Ki Bagus, Bung Karno tergopoh-gopoh menyambut lalu memeluk sembari berucap: “Oh, guruku!”
Setelah duduk bercakap-cakap dan bergilir berbicara, tibalah giliran Ki Bagus. Dia membuka peci dan duduk bersila di kursi. Ketika Bung Karno hendak berbicara, Ki Bagus menyela: “Tunggu dulu! Biarkan perkataan saya lepas!” Lalu Ki Bagus menjelaskan pendapatnya, yang ditimpali Sukarno dengan anggukan kepala.
Faktor kesehatanlah yang mendorong Ki Bagus berhenti jadi ketua PB Muhammadiyah. Dalam Muktamar ke-32 tahun 1953, dia menolak untuk melanjutkan jabatan sebagai ketua. Sebab, kesehatannya menurun karena mengidap penyakit batuk dan sesak napas. Dia juga sulit mengikuti perkembangan zaman, sedangkan Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang selalu menyesuaikan zaman.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo dalam Toedjoeh Kata
Kendati tak lagi memimpin, Ki Bagus tetap berdakwah untuk Muhammadiyah. Namun kesehatannya memburuk. Dia dirawat di rumah sakit Universitas Gadjah Mada selama dua minggu. Pada malam Jumat 3 September 1954, Ki Bagus Hadikusumo wafat dan dimakamkan di Makam Kuncen, Yogyakarta.
Ki Bagus adalah orang yang bersahaja. Dia tak suka publisitas. Dia selalu menghindari juru potret atau wartawan foto. Tatkala Partai Islam Indonesia baru didirikan tahun 1938 dan membuat publikasi, semua anggota Pengurus Besar digambar bersama. Kecuali Ki Bagus. Maka, di bawah gambar itu dibubuhi keterangan: orangnya tidak suka difoto-foto.
Djarnawi pernah menanyakan kenapa ayahnya segan difoto. Jawabannya: “Aku tidak suka orang melihat-lihat gambarku sesudah aku mati. Sesudah aku mati kelak, biarlah orang melupakan aku.”
Atas sikap Ki Bagus, wajar jika foto pribadinya sangat sedikit. Bahkan, catat Sudarnoto, atas pesan Ki Bagus menjelas wafatnya kepada keluarga, makamnya tak dibangun apa-apa. “Sehingga, sampai sekarang pun sukar mendapatkan makam Ki Bagus.”
Ki Bagus Hadikusumo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 5 November 2015.*