SUATU siang di masa pendudukan Jepang. Badilah Zuber, Ketua Aisyiyah, sedang di sekolahnya ketika segerombolan Kempeitai mendatanginya. Sekonyong-konyong mereka mengajukan pertanyaan.
“Apakah Nyonya menjadi ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah?”
“Saya menjadi ketua karena saya yang paling tua di antara mereka,” jawab Badilah.
“Hasil Nyonya menjadi guru itu cukup atau Nyonya mempunyai kekayaan?”
“Kami orang dituntun untuk memohon kepada Tuhan agar diberi kecukupan hidup,” kata Badilah.
Itu merupakan kali kedua Kempeitai mendatangi Badilah. Sebagai pemimpin organisasi perempuan Islam Aisyiyah, beberapakali ia dipanggil untuk diinterogasi. Jepang mengawasi gerakan perempuan dengan amat ketat. Semua naskah pidatonya diperiksa sebelum dibacakan kepada khalayak.
Suatu kali, Badilah dilarang berpidato oleh tantara Jepang lantaran di naskahnya memuat perbandingan perang yang dilakukan Nabi Muhammad dan Napoleon Bonaparte. Bagi badan sensor Jepang, seperti ditulis Sri Sutjiatiningsih dkk. dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional, pidato Badilah dianggap mengejek pemerintah Jepang.
Badilah Zuber dikenal sebagai tokoh pendiri Aisyiyah. Ia lahir di Yogyakarta, 15 Mei 1903 dari keluarga Muslim taat. Dia tumbuh di Kauman, Yogyakarta.
Dari lingkungan sekitarnya ia melihat bahwa kedudukan perempuan masih sangat rendah di masyarakat. “Bahkan beberapa ulama pun berpendirian demikian. Dengan alasan, agama mereka berpendirian bahwa kaum perempuan tidak diperkenankan belajar dan menulis,” kata Badilah dalam memoarnya di buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi.
Baca juga: Kala Ulama Perempuan Melawan
Badilah, yang dididik ayah-ibunya untuk punya keberanian dalam bertindak, melihat pendirian para ulama tersebut sebagai hal yang ganjil. Padahal, menurut Badilah, surat pertama yang diturunkan pada Nabi Muhammad memiliki pesan pemberantasan buta huruf dan mencari ilmu pengetahuan.
Ketika Kiai Achmad Dahlan mendirikan sekolah dasar untuk semua anak, lelaki maupun perempuan, orang tuanya amat senang dan memasukkan Badilah ke sekolah itu. Badilah bersama Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Hayinah merupakan kader generasi kedua Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan.
Achmad Dahlan sendiri mengajar pelajaran agama di sekolah yang bentuknya amat sederhana. Murid-murid duduk di atas tikar. Sebagai pengganti meja, mereka menggunakan kotak minyak tanah bekas. Para pengusaha batik di Yogyakarta amat senang dengan pembukaan sekolah ini. Mereka tak segan membobol celengan untuk disumbangkan ke sekolah Achmad Dahlan. “Bukan main gembiranya orang-orang tua itu, termasuk ibu-bapakku, sesudah mereka dapat membaca dan menulis huruf Arab, Jawa, dan Latin.
Baca juga: Alasan Libur Puasa Anak Sekolah Ditiadakan
Namun menurut Badilah, ada kondisi yang masih menyudutkan perempuan, terutama dalam kedudukan-kedudukan dan hak sehari-harinya. Salah satu yang membuat Badilah geli ialah pemikiran bahwa perempuan tak lebih Swarga nunut neraka katut (ke surga hanya membonceng, ke neraka pasti terbawa). Ia keheranan kenapa paham semacam ini diterima banyak orang.
Selain menajdi murid Achmad Dahlan, Badilah juga bersekolah di Meisjes Niutrale School, setingkat HIS. Ia senang bisa belajar di sana, bergaul dengan teman yang berbeda latar belakang dan menemukan kontradiksi kehidupan dalam kegiatan sekolahnya. Misalnya, ketika ia terjebak dalam situasi harus menyanyikan “Hier duldt de grond geen dwingelandij, waar vrijheid eeuwen stond.” Artinya kurang lebih, di sini tanahnya tidak mengizinkan paksaan, di tempat ini kemerdekaan sudah berabad-abad lamanya.
Menyanyikannya saja sudah membuat Badilah merasa ngeri sebab faktanya, kondisi Indonesia kala itu berada di bawah penjajahan Belanda. Paksaan, pemerasan, dan penyiksaan pada kaum pribumi amat terang di depan mata. “Sungguh pertentangan batin yang amat sangat bagi diriku,” katanya.
Baca juga: Boedi Oetomo di Bulan Puasa
Ia amat bersyukur ayahnya memasukannya ke sekolah itu. Baginya, ilmu-ilmu Al-Quran yang sudah dia pelajari sebelumnya amat berhubungan dengan ilmu bumi, sejarah, dan biologi. Bagi Badilah, belajar sejarah membuatnya memahami kekejaman panjajah dan menumbuhkan keinginan agar bangsanya lekas merdeka.
Setelah lulus, Badilah melanjutkan ke MULO pada 1918. Guru-gurunya semua orang Belanda. Mereka bersikap baik dana adil baik pada murih berkulit sawo matang atau kulit putih. Badilah pernah mengalami peristiwa yang amat berkesan, yakni ketika seorang teman sekelasnya yang pribumi kehabisan buku tulis namun takut meminta buku tulis baru yang memang disediakan sekolah. Guru yang mengetahui ini lantas berkata, “Makanya kalian kehilangan segala-galanya karena kalian tidak berani mempertahankan hak-hak kalian.” Dari guru itulah Badilah belajar bahwa setiap orang harus mempertahankan haknya.
Badilah juga dikenal sebagai murid pemberani. Dia pernah menanyakan soal nilainya yang jelek, padahal dia merasa sudah belajar dengan amat tekun. Setelah ditelusuri, rupanya sang guru melakukan kesalahan dalam penulisan nilai raport.
Baca juga: Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan
Badilah lalu bergabung dengan Jong Java, organisasi yang menumbuhkan semangat anti-penjajahan. Bertemu dengan banyak pemuda yang semangat menolak penjajahan, Badilah makin yakin melaksanakan tugas agama dengan sebaik-baiknya berarti menunjang kepentingan bersama dan bangsa. Membela kemerdekaan bangsa sejalan dengan perintah agama.
Keaktifannya dalam forum yang didirikan Achmad Dahlan tak berkurang meski ia menempuh pendidikan Barat dan berkegiatan di Jong Java. Pada 1917, Badilah jadi salah satu perempuan yang memprakarsai pendirian Aisyiyah. Ia hadir sebagai penulis. Pendirian Aisyiyah sebenarnya tak lepas dari keinginan untuk menyebarkan ajaran Islam agar tak disalahpahami. Ide ini kemudian disampaikan pada Haji Mochtar, salah satu pendiri PB Muhammadiyah. “Kumpulkan teman-temanmu,” kata Mochtar menyetujui ide Badilah.
Nama Badilah juga tercatat sebagai anggota redaksi pertama Majalah Soeara Aisjijah yang terbit perdana pada 1926. Baginya, ini merupakan kesempatan untuk melatih diri untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisannya sering dijadikan rujukan oleh pengurus-pengurus Aisyiyah di daerah. Namun rupanya pemerintah Belanda tak menyukai hal ini. Ia mendapat peringatan untuk berhati-hati dalam menulis.
Baca juga: Persahabatan Kyai Mansur dengan Pendiri Muhammadiyah
Badilah sering dikirim oleh Achmad Dahlan untuk mengisi pengajian di kalangan umum terpelajar, seperti ke Kweekschool di Yogyakarta maupun luar kota. Ia juga mengajar di sekolah Schackel Muhamamdiyah sembari terjun langsung dalam pemberantasan buta huruf bagi remaja putri dan ibu-ibu. Di kelasnya ia gemar menceritakan sejarah dari perspektif orang pribumi bahwa Diponegoro yang dibenci Belanda merupakan pemimpin yang bijaksana. Dan bagaimana Belanda sering menjebak para pemimin bangsa dengan janji berunding namun pada akhirnya ditangkap.
Menurut Dyah Siti Nuraini dalam tesisnya “Corak Pemikiran Dan Gerakan Dakwah Aisyiyah Pada Periode Awal (1917-1945)”, Badilah terpilih sebagai pemimpin Aisyiyah pada 1938. Semasa kepemimpinannya yang singkat (hanya setahun), Badilah berupaya memperluas jaringan Aisyiyah dengan organisasi perempuan lain dengan bergabung ke Kongres Perempuan Indonesia II pada 1938. Berkat keaktifannya pula, cabang-cabang Aisyiyah dibuka di daerah-daerah dan luar Jawa.
Badilah kembali terpilih sebagai ketua Aisyiyah pada kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941. Jabatan ini bertahan hingga 1943. Pada kongres ke 31, Badilah kembali terpilih dan memimpin Aisyiyah pada 1951-1953.