Masuk Daftar
My Getplus

Teror Darul Islam Mengintimidasi sampai ke Alam Mimpi

Selain memusuhi TNI, gerombolan Darul Islam tak segan menghabisi rakyat sipil yang berada di pihak pemerintah. Betapa berbahayanya mereka sampai terornya terbawa mimpi seorang warga Sumedang.

Oleh: Martin Sitompul | 08 Agt 2024
Bapak dan anak yang menjadi korban keganasan gerombolan Darul Islam Kartosuwiryo di Manonjaya, Tasikmalaya. Sumber: Repro dari Kementerian Penerangan dalam "Republik Indonesia: Jawa Barat".

SEJAK dideklarasikan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949, Darul Islam (DI) menebar teror ke mana-mana. Dari Tasikmalaya, gerombolan DI bergerak ke beberapa daerah di Jawa Barat. Mereka acapkali mengacau keamanan dengan kekerasan. Mulai dari menyerang basis TNI hingga menghabisi rakyat sipil yang kedapatan memihak TNI atau terindikasi pro-pemerintah. Selain mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), tujuan mereka jelas hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia.

“Darul Islam yang biasa orang ucapkan atau baca di surat-surat kabar, dengan macam-macam terornya, ialah Darul Islam yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia komplit dengan organisasi ketentaraannya yang disebut Tentara Islam Indonesia. Mereka adalah terang-terangan melanggar gezag (kewibawaan) Republik Indonesia. Menantangnya. Dan melanggar kedaulatan rakyat Indonesia. Darul Islam ini adalah Darul Islam Kartosuwiryo cs yang dahulunya adalah salah seorang pemimpin PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia),” catat Kementerian Penerangan dalam Republik Indonesia: Propinsi Jawa Barat (1953).

Keberadaan DI, seturut Kementerian Penerangan, meresahkan kehidupan masyarakat Jawa Barat. Mereka yang tinggal berdekatan dengan kantong-kantong pasukan TII hidup di bawah tekanan teror. Gerombolan DI/TII tak segan merampok, membunuh, hingga membakar kampung dan desa-desa. Akibatnya, sebagian rakyat menjadi miskin, kehilangan mata pencaharian dan terlantar. Terganggunya keamanan maka berdampak pula pada lumpuhnya perekonomian setempat. Orang-orang enggan bekerja di ladang karena takut disatroni gerombolan. Lahan persawahan pun banyak terbengkalai. Hasil pertanian menurun sehingga orang kesulitan mencari makan. Bagi yang tidak tahan, memilih meninggalkan kampungnya dan pindah ke kota.

Advertising
Advertising

Baca juga: Dari Darul Islam Sampai Ekonomi, Penyebab Orang Datang ke Jakarta

Eksodus rakyat yang terjadi di Priangan akibat ulah DI diteliti Roel Frakking, sejarawan Utrecht University, dalam risetnya tentang revolusi di Jawa Barat.

Pada 1950, ratusan ribu pengungsi terus berkeliaran di Jawa Barat. Pemerintah setempat juga kesulitan untuk merawat para pengungsi. Apalagi, menurut Menteri Sosial Kosasih, dana bantuan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebesar enam juta gulden tidak dapat dibelanjakan secara efektif selama keamanan dan ketertiban tidak terjamin.

“Ribuan pengungsi tiba di Bogor setiap harinya tanpa makanan dan pakaian yang memadai setelah melarikan diri dari Tasikmalaya, Ciamis, atau Sumedang yang dijadikan medan perang antara Darul Islam dan TNI,” ungkap Frakking dalam artikelnya “Bersahabat dengan rakyat: Perang melawan rakyat dan perpecahan politik di Jawa Barat, 1948,” yang termuat di kumpulan tulisan Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal Pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945—1949 suntingan Bambang Purwanto, dkk.

Baca juga: Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi

Memasuki paruh kedua 1950-an, penetrasi ancaman DI kian menjadi-jadi. Sejak akhir 1956, DI nyaris menguasai wilayah-wilayah di Priangan Timur, terutama Tasikmalaya. Pihak TNI sendiri cukup kesulitan menghadapi DI yang banyak berbasis di medan sulit seperti lembah, hutan, dan pegunungan. Di Cibugel, Sumedang, pada 1959, DI membantai sekira ratusan penduduk desa yang mayoritas merupakan perempuan, anak-anak, dan balita. Sejak peristiwa itu, seluruh warga Cibugel mengungsi ke Sumedang selama kurang lebih setahun.

"Gorombolan" adalah istilah lazim orang Sunda pada dekade 1950-an untuk menyebut gerilyawan DI pimpinan Kartosuwiryo. Bila mendengar kata "gorombolan", maka yang terbesit di benak mereka hanyalah kebuasan dan kebengisan pasukan DI. Momok itu juga membekas pada Dedeng E. Pradja, seorang pengawas (sipir) rumah penjara Banceuy, Bandung.

Pada pukul 01.30 dini hari 3 Februari 1960, terjadi insiden di kediaman Dedeng. Di malam buta itu, Dedeng menembak anaknya sendiri yang berusia 12 tahun, Udin, karena mimpi dikejar-kejar pasukan DI. Bunyi letusan sontak membuat geger sekitar.

Baca juga: Zaman Gorombolan (DI/TII)

Menurut pemeriksaan pihak berwajib, Dedeng sedang tidur pulas di rumahnya setelah pulang dari Sumedang. Dalam tidurnya, Dedeng bermimpi diburu gerombolan DI, kemudian ia melepaskan tembakan. Nahas, bukannya menerjang para gerombolan, tembakan itu justru mengenai anaknya yang juga sedang tidur bersama. Peluru menyerempet bagian pinggang Udin. Karena luka-lukanya cukup serius, Udin kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Rancabadak.

“Perlu diketahui, bahwa Dedeng E. Pradja baru saja pulang dari Sumedang yang sering diganggu keamanannya oleh gerombolan pengacau, sehingga karena seringnya ia tembak-menembak dengan gerombolan sampai terbawa mimpi,” demikian diwartakan Indonesia Merdeka, 4 Februari 1960.

Mimpi buruk seperti yang dialami Dedeng baru berakhir setahun kemudian. Pemberontakan DI tumpas pada 1961 oleh pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin Panglima Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. Pemimpin DI Jawa Barat Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dieksekusi mati pada 4 Juni 1962.

TAG

darul islam kartosuwiryo sumedang pemberontakan

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Bupati Sepuh Serdadu Württemburg Berontak di Semarang Maddasim Dibacok Polisi Dari DI/TII ke Seoul Kekecewaan Pasukan Pembela Keadilan Pemberontakan yang Gagal di Akhir Tahun Cerita di Balik Cadas Pangeran Pemburuan Terhadap Guru Agama Kisah Perseteruan Ajengan Yusuf Tauziri vs Kartosoewirjo (2) Kala Sumedang Larang di Bawah Kuasa Mataram