Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi
Lain dulu, lain sekarang. Orang Aceh menyambut para pengungsi dari Sumatra Timur dengan tangan terbuka. Pejuang Aceh bahkan turun ke garis depan menghadapi tentara Belanda.
Balai Meuseuraya Aceh, tempat orang etnis Rohingya mengungsi di Banda Aceh, digeruduk oleh sekelompok mahasiswa setempat. Mereka mengusir orang-orang Rohingya di balai itu yang kebanyakan terdiri dari perempuan dan anak-anak. Orang Rohingya memang menjadikan Aceh sebagai salah satu tempat tujuan mencari suaka. Sejak bulan lalu, kapal-kapal pengungsi Rohingya dari Bangladesh berdatangan memasuki perairan Aceh.
Etnis Rohingya berasal-muasal dari Myanmar. Sejak 2017 silam, mereka menjadi korban pemusnahan etnis yang dilakukan junta militer Myanmar. Seperti kebanyakan orang Aceh, masyarakat etnis Rohingya menganut agama Islam. Itulah sebabnya mereka melarikan diri ke negeri-negeri mayoritas beragama Muslim, seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Namun, tidak jelas apa alasan kelompok mahasiswa di Aceh tersebut menolak orang-orang Rohingya.
Orang-orang Aceh pada masa lalu tidak sebar-bar generasi mudanya hari ini dalam memperlakukan pengungsi. Pada masa Perang Kemerdekaan, Aceh pernah menjadi tempat tujuan pengungsian orang-orang Sumatra Timur akibat agresi militer Belanda. Diperkirakan lebih dari sejuta rakyat Sumatra Timur mengungsi sejak Belanda mendaratkan pasukannya di Pantai Cermin pada 28 Juli 1947. Mengungsi ke pedalaman, mereka akan memasuki daerah Tapanuli, sementara bergerak ke utara menuju ke Aceh.
“Berbagai kota di seluruh Aceh makin bertambah ramai dari sehari ke sehari. Para pengungsi dari Karesidenan Sumatra Timur berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya, menuju Aceh,” catat wartawan Aceh Sinbun Teuku Alibasjah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh Jilid 2 (1947--1948).
Baca juga: Gerilyawan Aceh di Medan Area
Pada agresi militer yang pertama, Belanda hanya menguasai Sumatra Timur, yang dikenal sebagai daerah kaya dengan tanah-tanah perkebunannya. Kota penting seperti Pematang Siantar jatuh ke tangan Belanda. Namun, pada agresinya yang kedua, seperti disebut dalam biografi Residen Tapanuli dr. Ferdinand Lumban Tobing yang ditulis Nana Nurliana, Belanda meneruskan laju ofensifnya bahkan sampai jauh ke pedalaman.
Kota Binjai, Tanjungpura, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Simpang Tiga, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe ditinggalkan oleh penduduknya begitu Belanda datang. Rakyat dari tempat-tempat tersebut, seperti dicatat Pramoedya Ananta Toer, dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia JIlid III (1947), berduyun-duyun mengungsi ke daerah kekuasaan Republik di Aceh. Penduduk Tanjungpura, Binjai, Stabat, dan Pangkalan Brandan, mengambil jalan pintas melalui hutan belukar menuju Aceh, sebab melalui jalan raya terlalu berbahaya bagi mereka.
Bagi rakyat sipil, mengungsi ke Aceh jadi pilihan yang lebih aman. Aceh menjadi satu-satunya wilayah Republik yang belum tersentuh oleh kekuatan militer Belanda. Di Aceh, mereka terhindar dari ancaman pertempuran yang setiap waktu terjadi antara TNI dan laskar dengan tentara Belanda.
Baca juga: Lagak Laskar Sumatra Timur
Sebagian besar pengungsi dari Sumatra Timur, menurut Talsya, yang juga veteran Perang Kemerdekaan sebagai staf penerangan Divisi X TNI, ditampung oleh sanak keluarga ataupun teman. Sebagian lainnya menempati gedung-gedung sekolah dan bangunan-bangunan darurat lain yang terdapat di kota-kota yang mereka datangi.
Kota-kota Kuala Simpang, Langsa, Lhokseumawe, Kutacane, dan Banda Aceh paling banyak menampung pengungsi dari utara Pulau Sumatra, bahkan belahan timur. Sementara itu Kota Bakongan, Tapaktuan, dan Meulaboh kebagian juga pengungsi-pengungsi dari belahan barat. Pengungsi-pengungsi itu selain dari masyarakat umum, juga terdiri dari pemimpin-pemimpin berbagai organisasi politik dan sosial.
Menampung pengungsi di tengah perang tentu menambah beban bagi masyarakat dan pemerintah daerah Aceh. Apalagi harga bahan-bahan makanan meningkat tajam seiring bertambah ramainya para pendatang. Sementara itu, lahan-lahan pertanian seperti sawah dan ladang banyak yang terbengkalai karena penduduk sibuk dalam perjuangan.
“Pemerintah Daerah Aceh memberikan santunan sebaik mungkin terhadap pengungsi yang memilukan nasibnya itu,” ujar Talsya. “Demi semangat kebangsaan dan rasa persaudaran, penduduk di kota-kota yang dibanjiri para pengungsi itu dengan rela menerima mereka.”
Menurut data Departemen Penerangan dalam Republik Indonesia: Propinsi Sumatra Utara, akhir tahun 1947, jumlah pengungsi Sumatra Timur yang berkumpul di Langsa lebih dari 200.000 jiwa. Suasana Kota Langsa menjadi padat dengan penduduk asal dan pendatang-pendatang baru. Karena besarnya jumlah pengungsi di Kotaraja (kini Banda Aceh) dan Langsa, Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) dengan bantuan Jawatan Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan berusaha membantu menyelenggarakan pendidikan anak-anak di tempat-tempat pengungsian.
Masyarakat Aceh tidak hanya menerima pengungsi dengan tangan terbuka. Para pejuangnya pun ikut turun ke medan pertempuran menjemput lawan. Legiun Aceh ini terkenal dengan semangat berani mati meski berperang dengan senjata seadanya seperti parang ataupun rencong. Pejuang Aceh yang turun ke front Medan Area adalah mimpi buruk bagi tentara Belanda. Sementara bagi pengungsi Sumatra Timur, rakyat Aceh seperti saudara senasib sependeritaan yang bersedia memberikan tumpangan. Ia akan terkenang dalam sejarah dan jadi pelajaran bagi siapa saja.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar