Masuk Daftar
My Getplus

Modal Soeharto dari Muhammadiyah

Muhammadiyah mendirikan banyak sekolah sejak awal didirikan. Soeharto salah satu lulusannya.

Oleh: Petrik Matanasi | 13 Mei 2024
Presiden Soeharto dan Ibu Tien di tengah pelajar dan pramuka. Organisasi kepanduan itu menjadi pengikat awal hubungan Soeharto dan Muhammadiyah. (Repro Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya).

MUHAMMADIYAH, salah satu organisasi Islam terbesar di tanah air, sedang ramai diberitakan. Pemberitaan itu terkait dengan polemik yang dilakukan sejumlah pengurus organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dengan seorang pendakwah salafi Ustadz Muflih Safitra.

Polemik itu sendiri bermula dari video yang berisi kritik Ustadz Muflih terhadap dakwah pengurus PP Muhammadiyah Ustadz Adi Hidayat yang menyatakan dakwah musik diperbolehkan dalam Islam. Dalam video tersebut, Ustadz Muflih menyatakan Ustadz Adi telah lancang dan bahkan melecehkan agama.

Menanggapi hal itu, sejumlah pengurus Muhammadiyah di berbagai daerah pun angkat suara. Terbaru, Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Profesor Abdul Mu’ti mengirim pesan kepada jamaah Muhammadiyah di seluruh pelosok tanah air agar menjaga masjid-masjid mereka supaya tidak dikuasai kelompok lain.

Advertising
Advertising

“Masjid Muhammadiyah harus dikelola dengan baik agar tidak seperti kaleng Kh*ng Gu*an. luarnya biskuit, dalamnya rengginang. Namanya Masjid Muhammadiyah, amaliah ibadah dan kegiatan bertentangan dengan Muhammadiyah,” ujarnya Mu’ti dalam cuitan di akun X (dulu Twitter)-nya, @Abe_Mukti, Sabtu (11/5/2024).

Baca juga: Buya Hamka dan Musik

Kendati tak menyebut spesifik siapa kelompok lain yang dimaksud Mu’ti, warganet banyak yang meyakini kelompok itu adalah kelompok Salafi, kelompok yang memantik polemik dengan Muhammadiyah sekarang.

Terlepas dari polemik Muhammadiyah dengan Salafi itu, tak bisa dipungkiri manfaat dakwah yang dilakukan Muhammadiyah telah dirasakan banyak orang sejak lama. Muhammadiyah konsisten berdakwah lewat gerakan sosial dan pendidikan sejak awal didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912.

Sejak awal, Muhammadiyah membangun sekolah modern seperti yang dilakukan pemerintah kolonial, bahkan sebelum Taman Siswa berdiri di Yogyakarta. Selain sekolah, Muhammadiyah sejak lama membangun pula klinik kesehatan. Maka wajar jika kini Muhammadiyah punya banyak rumahsakit dan universitas di Indonesia.

Dengan demikian, organisasi Islam ini tak hanya memajukan orang Islam saja tapi ikut memajukan Indonesia pula. Bahkan orang yang bukan anggota Muhammadiyah, bahkan yang abangan atau penganut Kejawen, pun ikut kena dampak positif dari pergerakan Muhammadiyah.

Baca juga: Perjalanan Muhammadiyah di Kota Medan

Salah seorang yang merasakan betul manfaat dari gerakan sosial Muhammdiyah adalah Soeharto, presiden RI kedua. Tanpa Muhammadiyah, Soeharto tak punya ijazah SD yang mumpuni. Keluarganya hidup dengan ekonomi yang pas-pasan.

Soeharto belajar di Schakelschool (sekolah lanjutan dari sekolah rakyat tiga tahun) milik Muhammadiyah di Yogyakarta. Schakelschool bukan setara SMP.

“Tamatan Schakelschool itu disamakan dengan tamatan HIS," tulis Anton Moeliono dalam Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Hollandsch Inlandsche School (HIS) adalah sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda untuk anak pribumi yang lulusannya bisa masuk SMP kolonial macam Meer Uitgebrid Lager Onderwijz (MULO).

Baca juga: Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda

Sebelum belajar di sekolah Muhammadiyah, Soeharto sudah bersinggunggan dengan organisasi itu ketika di Wuryantoro, Wonogiri. Dia ikut salah satu organ milik Muhammdiyah.

“Saya masuk kepanduan Hizbul Wathan, pramuka sebutannya sekarang, yang berdasarkan keagamaan,” aku Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Sekolah formal Soeharto tak lebih dari schakelschool. Kendati begitu, ia masih terbilang beruntung bisa baca-tulis huruf latin dan berhitung. Kebanyakan pemuda Indonesia di tahun 1940 itu tak bisa baca-tulis. Sebelum 1945, hanya 10 persen orang Indonesia yang bebas dari buta huruf.

Baca juga: Mengintip Kegiatan Sekolah Masa Jepang

Dengan modal ijazah schakelschool itu, pada 1940 Soeharto diterima masuk tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dan bisa jadi calon sersan. Tanpa ijazah schakelschool, Soeharto tak akan bisa jadi sersan alias hanya akan menjadi serdadu rendahan biasa (fuselier) yang butuh waktu 10 tahun untuk bisa jadi kopral. Dengan masuk KNIL, Soeharto menemukan jati dirinya.

“Saya menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup dari pekerjaan ini,” aku Soeharto dalam otobiografinya.

Menjadi sersan berarti memiliki kehidupan yang layak. Soeharto dengan pangkat itu tidak akan kelaparan bahkan bisa menabung. Sebab, menurut Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi, gaji awal seorang sersan adalah 60 gulden. Harga emas saat itu sekitar 2 gulden per gram. Itu artinya, gaji Soeharto per bulan setara dengan 30 gram emas.

Baca juga: Sekolah Masa Revolusi

Namun, roda zaman terus bergulir. Kehidupan “Normal” zaman Beladan segera digantikan dengan kehidupan “berat” ketika Jepang datang berkuasa. Toh, Soeharto bisa beradaptasi dengan menjadi pasukan semimiliter Pembela Tanah Air (PETA).

“Pada akhir pendudukan Jepang di Jawa, Soeharto yang berusia 24 tahun hanyalah anggota yang agak menjanjikan dari satu pasukan Sukarelawan yang acak-acakan,” simpul Robert Elson dalam Soeharto: Sebuah Biografi Politik.

Setelah Indonesia merdeka, Soeharto menjadi pemuda terpandang di Yogyakarta. Sejak awal Soeharto jadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Mula-mula sebagai mayor, lalu pada awal 1946 naik menjadi letnan kolonel (overste). Lumayan lama dia dengan pangkat itu. Dengan pangkat ini sejak awal revolusi, Soeharto membawahi pasukan yang besar di Yogyakarta, setidaknya satu brigade dengan lebih dari 3 batalyon di bawahnya. Perannya di Yogyakarta sejak awal cukup besar. Termasuk dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, meski hanya sebagai pelaksana, bukan penggagasnya. Di masa revolusi itu Soeharto menemukan jodohnya yang keturunan keraton, Raden Siti Hartinah.

Baca juga: Soeharto-Hartinah, Kisah Romansa Anak Desa

Pada akhirnya, Soeharto berhasil baik di militer maupun politik dengan menjadi jenderal dan kemudian presiden. Dari mulai calon sersan KNIL hingga menjadi jenderal, anak tangga karier yang harus ditapaki sangat banyak: komandan kompi di zaman Jepang, komandan brigade di Yogyakarta, panglima Tentara dan Teritorium IV Jawa Tengah (Diponegoro), panglima Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) lalu Kostrad, panglima Koopkamtib, baru panglima Angkatan Darat. Soeharto adalah lalu sersan di zaman KNIL.

Semua anak tangga itu dimulainya dari anak tangga pertama, yakni calon sersan KNIL. Dan untuk anak tangga pertama itu, Soeharto harus punya modal ijazah SD. Untuk punya ijazah itu, Soeharto harus bersekolah di Muhammadiyah dulu.

“Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammidayah sebenarnya saya masih ingin melanjutkannya. Tetapi baik ayah saya maupun keluarga lainnya tiadak ada yang sanggup membelanjai saya sekolah. Keadaan ekonomi kami rendah sekali,” kata Soeharto.*

TAG

soeharto muhammadiyah pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto