Syahdan, sekelompok saudagar Minang kerap menyambangi rumah penjual mie rebus bernama Entong Sahari di Jalan Nagapatam 44 (kini Jalan Kediri, Kampung Keling) Medan. Mereka adalah pedagang Pasar Bundar kawasan Petisah yang datang pada malam hari untuk mengaji. Selain mengaji, para perantau itu sering berdiskusi tentang gerakan Islam. Beberapa diantara mereka bernama Djuin Sutan Penghulu, Sutan Maradjo, dan Haji Syuaib.
Menurut Kalimin Sunar dalam makalah yang termuat dalam Profil Muhammadiyah Sumatra Utara, para saudagar Minang itu telah menerima paham gerakan pembaharuan Islam di kampung halaman mereka. Gerakan pembaharuan itu tidak lain bernama Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912. Ketika mereka merantau ke Medan, ide untuk mendirikan Muhammadiyah pun terbersit. Mereka kemudian menghimpun kawan-kawan yang sepaham dalam pertemuan di Nagapatam 44.
Pada 1 Juli 1928, tersusunlah pengurus besar Muhammadiyah. Muhammad Said Harahap atau lebih dikenal Hr. Muhammad Said menjadi ketuanya yang pertama. Djuin Sutan Penghulu menjabat wakil ketua sedangkan Mas Pono dari Yogyakarta sebagai sekretaris. Penetapan tersebut menandai berdirinya secara resmi organisasi Muhammadiyah di Kota Medan.
Peran Hr. Muhammad Said
Menurut Usman Pelly dalam Sejarah Sosial Daerah Sumatra Utara, Kotamadya Medan, perantau-perantau Minangkabau adalah penduduk kota Medan yang pertama mendirikan Muhammadiyah sebagai paguyuban keagamaan sukarela. Aktifitas ini telah dirintis sejak 1927 melalui kegiatan pengajian. Namun, ketika awal berdirinya Muhammadiyah di Medan, perlu dicatat peran dari Hr. Muhammad Said.
Said merupakan seorang organisator berpendidikan MULO. Semula putra kelahiran Sipirok, Tapanuli Selatan ini aktif sebagai wakil ketua Sarekat Islam di Pematang Siantar. Ketika menjabat ketua di Muhammadiyah, Said juga tercatat sebagai wartawan Pewarta Deli. Kepada para pembacanya, Said kerap mewartakan tentang kegiatan organisasi Muhammadiyah.
Di bawah kepemimpinan Said, Muhammadiyah berkembang pesat. Misi organisasi terutama bergerak di bidang amal dan ibadah. Hal itu dilaksanakan dengan tabligh atau dakwah yang diurus oleh majelis dakwah. Sementara di bidang sosial, Muhammadiyah bergerak dalam pemberdayaan fakir miskin dan menyantuni anak yatim. Selain agama dan sosial, Muhammadiyah juga berkecimpung dalam gerakan pendidikan.
Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia
Majelis pendidikan Muhammadiyah giat membangun berbagai sekolah. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, menurut Khalijah Hasanuddin dalam Al-Jamiyatul Washliyah, 1930--1942: Api dalam Sekam di Sumatra Timur, Muhammadiyah mencari dana dengan mengadakan pasar malam amal. Beruntunglah Sultan Deli meminjamkan sebidang tanahnya di Jalan Raja (kini Jalan Sisingamangaraja) sebagai tempat gelaran pasar malam amal.
Sekolah Muhammadiyah merupakan gabungan antara sekolah agama (madrasah) dengan sekolah umum. Untuk mengikuti perkembangan zaman, sistem pendidikannya pun mengikuti aturan gubernemen pemerintah kolonial. Sebagaimana dicatat tim penulis yang diketuai Daud Manurung dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatra Utara, selain madrasah, Muhammadiyah juga membangun HIS (sekolah dasar bumiputra) Muhammadiyah. Dengan demikian, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi pelopor pendidikan modern di kota Medan.
Menghadapi Tantangan
Kendati bertumbuh di akar rumput, Muhammadiyah mendapat tantangan dari raja-raja kesultanan Melayu maupun kalangan tuan perkebunan di Sumatra Timur. Resistensi terhadap Muhammadiyah memang lekat dengan nuansa politis. Pasalnya, Muhammadiyah menyinggung soal kedudukan umat Muslim di tengah masyarakat. Dalam tablighnya, Muhammadiyah acap menyisipkan perihal kesadaran kelas dalam kehidupan sosial.
“Dalam hal ini kedudukan sebagai masyarakat jajahan jajahan dan kedudukan sebagai orang miskin dan bodoh telah disadarkan oleh Muhammadiyah kepada anggota-anggotanya,” tulis P.P. Bangun, dkk dalam Sejarah Daerah Sumatra Utara.
Baca juga: Tan Malaka dan Logika Mistika Kaum Sebangsa
Selain dijepit oleh penguasa dari kubu Istana, Muhammadiyah juga mengalami perlawanan kultural. Kegiatan Muhammadiyah tidak mendapat tempat di kalangan penduduk asli suku Melayu. Ulama-ulama tua dari daerah Melayu (Langkat, Deli, dan Serdang) tidak menyukai keyakinan kaum muda Muhammadiyah. Pun demikian bagi perantau Mandailing. Gerakan Muhammadiyah dipandang sebagai ancaman terhadap kedudukan mereka yang sarat dengan tradisi budaya Melayu-Muslim.
Sikap kontra terhadap Muhammadiyah terjadi karena Muhammadiyah mengusung gerakan pembaharuan. Sebagai gerakan baru, kaum muda Muhammdiyah kritis terhadap pembauran ritus kebudayaan dengan praktik beragama. Muhammadiyah menganggap bid’ah kebiasaan yang telah lama berurat akar di kalangan penduduk Melayu. Beberapa contohnya seperti kenduri waktu kematian, ziarah ke makam keramat, dan talkin (membisikan kalimat syahadat bagi orang yang sekarat atau mendoakan mayat yang baru dikebumikan).
“Ulama-ulama di Sumatra Timur dan Tapanuli Selatan tidak dapat menerima anggapan itu, karena dalam pegangan ulama-ulama mazhab Syafi’i yang umumnya berpengaruh di daerah ini telah membenarkan adat kebiasaan itu sebagai amal yang sah,” tulis Daud Manurung dkk.
Penetrasi Muhammadiyah menyebabkan memudarnya citra penguasa feodal. Desa-desa yang sebelumnya berada di bawah pengaruh kaum tua dan wibawa sultan kini mulai resah. Akibatnya, aktifitas Muhammadiyah di berbagai tempat harus menghadapi rintangan. Mulai dari menghalang-halangi anggota masyarakat yang akan menghadiri rapat-rapat umum Muhammadiyah sampai kepada penganiayaan terhadap pimpinan dan anggota Muhammadiyah. Begitu pula dengan penjagaan ketat oleh opas (polisi) yang mengawal setiap tabligh Muhammadiyah.
Baca juga: Anak Pandu jadi Polisi
Abdul Mu'thi dalam 30 Tahun Muhammadijah di daerah Sumatra Timur mencatat, hampir sekalian sultan-sultan menolak dan membenci Muhammadiyah. Hampir seluruh ulamanya dikerahkan untuk menentang Muhammadiyah. Diantara ulama itu bahkan ada yang memberikan fatwa: “Barangsiapa yang memasuki Muhammadiyah, maka kafirlah dia”. Fatwa tersebut menjadi pedoman bagi siapa saja untuk menentang ajaran Muhammadiyah dan anggota-anggotanya.
Sementara itu, menurut Dja’far Siddik tantangan yang dirasakan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya terutama datang dari pihak penjajah, sultan, dan raja-raja. Dengan politik adu domba, pihak kolonial menggunakan para sultan sebagai kekuatan untuk menumpas Muhammadiyah. “Tidak mengherankan jika para sultan juga memanfaatkan sebagian ulama untuk menentang Muhammadiyah,” tulis guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatra Utara itu dalam jurnalnya “Dinamika Organisasi Muhammadiyah di Sumatra Utara” yang termuat di Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol.1 No.1 Januari-Juni 2017
Terus Melaju
Meskipun dihalau sedemikian rupa, siar Muhammadiyah bukannya menciut. Gerakan dakwahnya malah semakin ditingkatkan dengan mendatangkan penceramah dari Sumatra Barat. Aktifitas Muhammadiyah perkotaan ini meluas sampai ke kota pesisir lainnya sehingga memunculkan komunitas kecil (setingkat ranting). Setelah itu, tercatatlah pertumbuhan pesat Muhammadiyah yang bermula dari Medan.
Kian majunya Muhammadiyah tidak lepas dari penyelenggaraan Kongres Muhammadiyah ke-30 di Bukittinggi pada 14-26 Maret 1930. Itulah kongres pertama Muhammadiyah yang dihelat di luar Jawa. Kegiatan Muhammadiyah bahkan berkembang ke kota lain seperti, Pematang Siantar, Binjai, dan Tanjung Balai.
Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah
Salah satu putusan penting hasil kongres di Bukittinggi adalah bahwa pada setiap karesidenan harus ada wakil Muhammadiyah. Perwakilan tersebut dinamakan Konsul Muhammadiyah. Hr. Muhammad Said yang tadinya merupakan Ketua Muhammadiyah cabang Medan ditetapkan sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatra Timur. Hingga tahun 1937, mengutip data Majelis Diklitbang Muhammadiytah dalam 1 Abad Muhammadiyah telah berdiri 22 cabang dan ranting Muhammadiyah di Sumatra Timur.
Hr. Muhammad Said Said mengemban jabatan konsul Muhammadiyah Sumatra Timur sampai akhir hayatnya. Dia wafat pada 22 Desember 1939. Berpulangnya Said kepada Sang Khalik dikenang dengan rasa haru dan hormat. Ini ditandai dengan jumlah pelayat yang demikian besar. Begitupun dengan pemberitaan media yang melukiskan perasaan kehilangan.
Posisi Said selaku konsul digantikan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Dalam suasana perkabungan, Karel Steenbrink dalam Pesantren Madrasah Sekolah mengutip perkataan tegas Hamka ketika jama’ah dengan derai air mata meratapi mendiang Hr. Muhammad Said. Kata Hamka, “Apa yang kita tangisi tuan-tuan? Siapa yang kita tangisi? Padahal almarhum yang kita cintai ini wafat meninggalkan jasa yang amat besar. Kalau hendak menangisi juga, sebaiknya tangisilah diri sendiri karena tidak mempunyai jasa sebesar almarhum Hr. Muhammad Said.”