DI masa lalu, Rumah Makan (RM) Fadjar Asia cukup populer di Medan. Seperti umumnya rumah makan, Fadjar Asia juga dikenal karena menu andalannya. Rumah makan milik Nyak Hamzah Abdullah itu dikenal karena menu kari kambingnya.
Hamzah merupakan saudagar perantau asal Aceh. Menurut Apriani Harahap dalam tulisannya berjudul “Mencari Jalan Aman: Strategi Bertahan dan Kekacauan Sosial dalam Komunitas India di Perkotaan Sumatera Timur, 1945-1946” di buku Dunia Revolusi Perspektif dan Dinamika Lokal Pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949, Hamzah yang berdarah India besar di Aceh.
Tidak mengherankan jika Hamzah berdagang kari di Medan. Orang India-Muslim sudah cukup lama masuk ke Sumatra Utara.
“Pengaruh Muslim-India menghasilkan hidangan seperti nasi biryani, martabak dan berbagai hidangan kari,” catat Fadly Rahman dalam pembekalan Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024 secara daring pada 18 Mei 2024.
Kedatangan orang India ke Indonesia, yang terjadi terjadi sebelum agama Islam masuk, dibarengi pula dengan masuknya pengaruh kuliner dari India ke Indonesia. Orang India bahkan memperkenalkan beberapa bahan rempah untuk makanan yang belakangan populer di Indonesia.
“Bawang/bakung (Crinum asiaticum), ketumbar (Coriandrum sativum), jintan (Cuminum cyminum), dan jahe (Zingeber officinale) adalah beberapa jenis tanaman yang diperkenalkan karena pengaruh India,” catat Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. “Bahan-bahan inilah yang kelak mendukung perkembangan kari di kawasan Asia Tenggara, dan khususnya di Sumatra.”
Sudah sejak lama orang Sumatra makan kari. Setidaknya di akhir 1700-an kari sudah jadi makanan yang umum di Sumatra. Seorang pejabat Inggris yang bertugas di Bengkulu antara 1771-1779, William Marsden, melihat bagaimana orang Sumatra menghidangkan masakan tersebut, yang oleh orang Inggris disebut curry. Kala itu kari juga sudah dikenal oleh orang Eropa.
“Dalam bahasa Melayu disebut gulei, dan dapat terdiri dari segala jenis makanan yang dapat dimakan, tetapi umumnya dari daging atau unggas, dengan berbagai macam kacang-kacangan dan rumputan segar, direbus dengan bahan-bahan tertentu,” catat William Marsden dalam History of Sumatra.
Kari menjadi hidangan yang umum ditemui di rumah-rumah tangga Sumatra saat lebaran. Saking umumnya, banyak orang mencari peruntungan dengan menjual kari, hingga jauh setelahnya. Termasuk Nyak Hamzah dengan RM Fadjar Asianya.
Namun, kari bukan satu-satunya yang bikin Fadjar Asia populer. Sewaktu Perang Kemerdekaan pecah, Hamzah dengan RM Fadjar Asianya yang sudah cukup populer di Medan ikut terjun ke dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi anggota laskar Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), bagian dari Partai Nasional Indonesia (PNI). TWH Mohamad dalam Gubernur Sumatera dan Para Gubernur Sumatera Utara menulis, Hamzah merupakan anggota Laskar Napindo Andalas Utara Batalyon III Istimewa Medan Utara, Resimen Medan Area.
Dengan RM Fadjar Asianya yang terletak di Jalan Kereta Api, Medan, Hamzah –yang juga memiliki penginapan bernama Cinta Saudara– amat diuntungkan. Letak RM Fadjar Asia dekat dengan Grand Hotel di depan Stasiun Besar Medan. Grand Hotel itulah yang setelah Agustus 1945 dijadikan markas komandan pasukan Sekutu (Tentara Inggris) Brigadir TED Kelly. Banyak pasukan Kelly –merupakan orang India dan Pakistan– juga tinggal di Grand Hotel. Alhasil, Fadjar Asia kerap didatangi tentara Sekutu.
“Rumah makan Fadjar Asia ini tiap hari menyediakan kari kambing, yang sangat disukai oleh tentara Inggris berkebangsaan India itu. Waktu jam makan mereka membawa roti dan makan di rumah makan tersebut,” catat TWH Mohamad.
Di rumah makan itu kerap datang pula Ajad Husin dan Tabib Ansari. Keduanya, kata TWH Mohamad, bisa memberi jalan kepada para serdadu Inggris asal India atau Pakistan jika berminat membelot.
Banyak tentara Sekutu-Inggris yang berasal dari India dan Pakistan beragama Islam. Faktor tersebut menjadi alasan terpenting dari banyaknya serdadu Inggris yang memihak Indonesia.
“Di situlah awal-mula mereka desersi. Mereka berbalik bukan membantu tentara Inggris melucuti tentara Jepang, tapi bergabung dengan tentara Indonesia,” ujar Firdaus Syam, dosen Ilmu Politik Universitas Nasional yang juga penulis Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia, kepada Historia.
Penginapan Cinta Saudara milik Hamzah juga menjadi jalan untuk membelot. Serdadu Inggris-India yang hendak membelot diarahkan ke penginapan Cinta Saudara untuk berganti pakaian. Setelah itu, pembelot bisa naik sado (kereta kuda) dari sebelah rel ke jalan Thamrin. Dari Jalan Thamrin, mereka naik truk ke markas Tentara Keamanan Rakyat B pimpinan Kapten Nip Xarim di Front Trepes.
“Selain sentimen agama, sentimen sesama bangsa Asia terjajah yang ingin lepas dari penjajahan juga menjadi alasan tentara India meninggalkan pasukannya,” sambung Firdaus.*