TAREKAT-TAREKAT Islam pada mulanya sekadar praktik-praktik pengamalan suatu ajaran secara pribadi atau kelompok kecil di kalangan elit kerajaan. Seiring waktu, berubah sebagai wadah aksi perlawanan kalangan Islam akar rumput terhadap penjajahan Belanda.
Begitulah Martin van Bruinessen, antropolog dan profesor emeritus Studi Islam Universitas Utrecht, memantik dikusi dalam kuliah umum bertajuk “Peranan Tarekat dalam Proses Islamisasi Nusantara: Dari Amalan Perseorangan sampai ke Wadah untuk Aksi Bersama” secara hybrid di Gedung Margono, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan via streaming di kanal Youtube Departemen Sejarah UGM, Jumat (31/5/2024).
Ia juga mengungkit tentang beberapa peristiwa resistensi. Salah satunya Pemberontakan Petani Banten 1888, di mana massa yang memberontak terhadap kaum feodal dan kolonialis bermodalkan keberanian berkat amalan-amalan tarekat.
“Jadi kita lihat di sana, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah berperan sebagai sarana komunikasi dan terapi psikologis karena amalan-amalan tarekat punya dampak kejiwaan dalam memberi keberanian pada seseorang. Jadi Islam pada akhir abad ke-19 itu kelihatannya sarat dengan ide-ide, amalan-amalan, keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan tarekat,” tutur Prof. Van Bruinessen.
Baca juga: Doktrin Pemberontakan Petani Banten 1888
Van Bruinessen juga mencoba mengelaborasikan riset dan pemaparan dua tokoh yang juga mengulik sejarah Islam dan Islamisasi di Indonesia, sesepuh sejarawan Sartono Kartodirjo dengan disertasi yang dibukukannya, Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984), dan Merle Calvin Ricklefs dengan artikelnya “Six Centuries of Islamization in Java” (1974). Menurut Van Bruinessen, cepat-lambatnya Islamisasi di Nusantara sejak abad ke-14 turut dipengaruhi berkembangnya tarekat-tarekat Islam.
Banyak pedagang asing (Arab, Persia, India, China) di masa peralihan agama yang pertama memang tersebar dan banyak yang menetap di kota-kota pelabuhan: Aceh, Banten, Melaka. Namun, mereka belum punya dampak terhadap pribumi-pribumi di di daerah-daerah tempat mereka menetap. Jadi prosesnya sangat lama.
“Jadi proses Islamisasi bukan satu kejadian sekali dan orang mengamalkan aspek-aspek Islam sedikit demi sedikit sehingga proses Islamisasi masih berlangsung. Misalnya kita melihat gerakan hijrah sebagai proses Islamisasi berkelanjutan yang mungkin tidak akan berhenti. Islam terus berubah karena Islam yang kita lihat di masyarakat saat ini tidak identik dengan Islam yang diamalkan satu abad yang lalu, misalnya. Bahwa Islam pada masa yang dikaji Prof. Sartono di akhir abad ke-18 juga tidak identik dengan Islam yang hidup di masyarakat pada abad ke-16,” tambahnya.
Tarekat dari Kalangan Elit hingga Akar Rumput
Sebelum eksisnya gerakan puritan yang mengkritik sejumlah praktik tarekat seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), atau kelompok-kelompok Salafi, sambung Van Bruinessen, keberadaan tarekat sangat memengaruhi Islamisasi baik saat masih di lingkup elit keraton di abad ke-15 dan abad ke-16, maupun saat mulai menyebar ke kalangan rakyat pada abad ke-19. Ia berhipotesa bahwa perkembangan tarekat yang hadir di Nusantara juga berkelindan dengan berkembangnya tarekat-tarekat di tanah Arab hingga India.
“Tarekat-tarekat di dunia Arab, Persia, dan India mengubah wajah Islam yang hadir di kota-kota pelabuhan (Nusantara) yang memberi satu wajah yang lebih cocok dengan kebutuhan dan praktik-praktik agama yang sudah ada. Tarekat kan menekankan bacaan-bacaan tertentu: doa, wirid, dzikir, yang sangat mirip mantra, jampe dsb. Ricklefs dalam artikelnya juga mengurai bahwa orang Jawa menerima Islam tidak berarti bahwa mereka membuang agama sebelumnya, tapi Islam yang mereka terima menjadi tambahan kekayaan amalan, kekayaan kekuatan spiritual,” ungkapnya lagi.
Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, dikatakan orang Jawa pada masa peralihan agama sangat tertarik pada kesaktian, kekebalan, kedigdayaan, dan sejenisnya. Dalam pandangan mereka, Islam bisa memberi mereka itu semua.
“Mereka mempelajari Islam karena itu bisa menimbulkan kekebalan, kesaktian yang tidak menggantikan dari yang mereka punya dari amalan Hindu Jawa tapi mungkin dianggap kesaktian itu lebih hebat dari yang ada dulu atau sekurang-kurangnya tambahan. Nah tarekat itu sesuatu fenomena yang relatif baru di dunia Islam pada masa peralihan itu. Salah satu tarekat yang paling lama, Tarekat Qadiriyah, mengambil tokoh dari Baghdad, (ulama fiqih dan sufi, Syaikh) Abdul Qadir al-Jailani yang hidup pada abad ke-11,” lanjut Van Bruinessen.
Baca juga: Debus dan Tarekat di Banten
Lalu mulai abad ke-15 dan abad ke-16, para pedagang Arab, Persia, atau India juga mulai kembali datang ke Nusantara membawa guru-guru tarekat sebagai juru dakwah. Berangsur-angsur, tokoh-tokoh dari Nusantara pada akhirnya juga berguru langsung ke India, Persia, hingga Madinah dan Makkah. Ada Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Nuruddin Raniri, Syekh Abdurrauf Singkil, hingga Syekh Hamzah Fansuri.
“Syaikh Yususf melanjutkan ilmu Islam dari Mufti Makkah, Imam Syafi’i. Syaikh Yusuf juga pernah belajar di Yaman, Syam, Damaskus. Setelah kembali ke tanah air, Syaikh Yusuf menjadi ulama besar menguasai beberapa tarekat, seperti Qadiriyah, Nadqsabandiyah, Ba’alwiyah, Syattariyah, dan Khalwatiyah,” tulis Mustari Mustafa dalam Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf al-Makassari.
Tarekat berkembang lebih dulu di kalangan keraton. Nama-nama ulama di atas punya kaitan erat dengan kalangan elit keraton. Oleh karenanya Islamisasi melalui tarekat-tarekat itu menyebar dari kalangan atas lebih dulu baru ke kalangan bawah.
“Islam disebarkan di India sebagai kekuatan emansipasi rakyat bawah. Kita bisa lihat kesultanan-kesultanan pertama di India didirikan para pendatang dari Asia Tengah dan orang India yang masuk Islam justru awalnya dari (penganut Hindu) kasta bawah karena Islam membawa sistem dan ideologi yang menolak sitem kasta. Tapi di Nusantara, Islam melalui tarekat masuk ke masyarakat tidak dari bawah. Pertama-tama diterima di kalangan atas karena di abad ke-17 Syekh Abdurrauf, Yusuf Makassar, semua punya kaitan dengan keraton,” sambung Van Bruinessen.
Kalangan elitlah yang lebih dulu ingin mengokohkan diri dengan amalan-amalan tarekat. Akan berbahaya, kata Van Bruinessen, jika amalan tarekat tidak lebih dulu dimonopoli karena jika turut dikuasai kalangan bawah maka mereka akan berpotensi memberontak terhadap kalangan elit.
Baca juga: Kisah Leluhur Walisongo
Perubahan drastis baru terjadi di abad ke-19 seiring bubarnya Kongsi Dagang Hindia Timur, VOC, dan kolonialisme di Nusantara sudah beralih ke tangan Belanda langsung melalui pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu, para guru tarekat mulai banyak yang mendirikan pondok di pedalaman dengan menghimpun jamaah dari kalangan rakyat bawah.
“Di era VOC kan jajahannya belum teritorial tapi kehadiran Belanda dengan penguasaan teritorial jadi faktor menyebabkan munculnya tarekat yang merangkul orang-orang awam berskala besar ketika beberapa keraton kehilangan sebagian otoritasnya. Jadi Islam (tarekat) yang dulu jadi sesuatu yang elit, sekarang di periferi hutan-hutan, pedalaman dengan pesantren yang menjadi pusat studi Islam,” terangnya lagi.
Perkembangan tarekat berkelindan pula dengan resistensi-resistensi yang terjadi di abad ke-19. Selain di Banten pada 1888, kalangan tarekat sudah terlibat dalam perlawanan massa di Palembang (1819) dan di Banjarmasin seiring Perang Banjar 1859-1906.
“Dalam pemberontakan (Perang Menteng, red.) di Palembang 1819 saat tentara Belanda ingin menaklukkan Palembang, seorang haji memimpin jamaahnya dan amalan-amalan (tarekat) dipakai untuk keberanian melawan Belanda. Itu jadi aksi pertama tarekat sebagai aksi massa. Juga pada 1860 di Banjarmasin, gerakan Beratib Beramal dari Tarekat Sammaniyah melalukan dzikir dengan keras sehingga berdampak pada keberanian mereka dan Belanda yang sangat takut,” tukas Van Bruinessen.
Baca juga: Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara