Masuk Daftar
My Getplus

Doktrin Pemberontakan Petani Banten 1888

Empat doktrin agama yang menjadi legitimasi para petani Banten melawan Belanda.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 10 Jul 2018
Para pemberontak petani Banten 1888 yang ditangkap. Foto: KITLV.

HAJI Abdul Karim tidak ikut dalam pemberontakan karena kembali ke Mekah untuk menggantikan gurunya, Ahmad Khatib Sambas, sebagai pemimpin (khalifah) tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Namun, dia telah menanamkan doktrin-doktrin agama yang membakar rakyat Banten untuk memberontak.

“Khotbah-khotbah, janji-janji, dan ramalan-ramalan Haji Abdul Karim tentang Hari Kiamat, kedatangan Mahdi, dan tentang jihad terus membakar semangat rakyat,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.

Akan tetapi, menurut Sartono, Abdul Karim bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatannya terbatas pada tuntutan agar menaati berbagai ketentuan agama seperti salat, puasa, zakat, dan zikir. Setelah dia meninggalkan Banten, gerakan itu mulai berpaling dari kegiatan yang semata-mata diarahkan untuk kebangkitan agama.

Advertising
Advertising

“Semangat antiasing yang kuat mulai merembesi praktik-praktik tarekat itu. Pada akhirnya, para haji (Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid) yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran mistik sepenuhnya di bawah tujuan politik,” tulis Sartono.

Berikut ini empat doktrin agama yang ditanamkan Abdul Karim: kedatangan Imam Mahdi, peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Darul Islam), dan Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah).

Kedatangan Imam Mahdi

Mula-mula pesan yang diberikan Abdul Karim kepada para pengikutnya adalah pesan tentang ketaatan, ortodoksi, dan asketisme. Tetapi, ketika jumlah pengikutnya semakin besar, pesannya berubah drastis. Pesan itu bersifat menyebarkan ketakutan, dan bagi Belanda hal itu sangat membahayakan.

“Abdul Karim mulai meramalkan dan memperkuat apa yang dikhotbahkan para imam Muslim lain yang taat, yang membuat khawatir pemerintah di kawasan-kawasan lain di dunia ini, bahwa sang Imam Mahdi, tokoh penyelamat yang akan muncul untuk menyelamatkan dunia ini dari segala macam dosa di hari kiamat, sebentar lagi akan datang,” tulis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883.

Menurut Sartono, Imam Mahdi, yang secara harfiah berarti penunjuk jalan yang benar, adalah nama yang diberikan kepada tokoh mesianik yang akan muncul menjelang hari kiamat dan menghancurkan nabi palsu pada akhir zaman yang disebut Dajal. Kepercayaan akan tibanya seorang Mahdi terus hidup dalam sejarah Islam dan tersebar luas, meliputi daerah-daerah seperti Persia, Afrika Utara, India, dan Indonesia.

Kedatangan Mahdi akan didahului oleh satu periode kekacauan besar, ketiadaan iman dan peperangan. Pada saatnya nanti, Mahdi akan muncul untuk memulihkan tradisi dan agama sejati; dia akan memperbarui Islam, menegakkan kembali keagungannya dan memusnahkan orang-orang kafir.

Disebutkan pula tanda-tanda mengenai akan segera tibanya hari kiamat, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan darah, wabah penyakit ternak, dan sebagainya. Bencana dan malapetaka ditafsirkan berdasarkan ramalan-ramalan tersebut dan menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan yang besar di kalangan rakyat.

“Di dalam periode kesulitan sosial itu, ketika rakyat dilanda frustrasi, dan perlawanan yang ditekan, kepercayaan tentang Mahdi merupakan alat yang cocok untuk membangkitkan mereka supaya melawan dominasi-dominasi asing, yang menurut kepercayaan rakyat bisa dikalahkan dengan cara mistik-magis,” tulis Sartono.

Menurut Simon, ramalan yang dibuat oleh Abdul Karim, dan yang dengan antusias diterima oleh puluhan ribu pengikutnya bahwa sang Mahdi sebentar lagi akan datang, ternyata terkait dengan letusan Gunung Krakatau pada 1883. Keterkaitan ini karena ajaran Islam tentang Mahdi beserta perang sucinya melawan orang-orang kafir, menyatakan bahwa kedatangan Mahdi selalu dibarengi dengan serangkaian tanda-tanda tertentu, seperti “ternak akan terkena wabah penyakit, banjir akan melanda, hujan akan berwarna darah, gunung berapi akan meletus, dan orang-orang akan mati.”

Kebetulan, lanjut Simon, setiap ramalan itu terjadi di Banten persis sebagaimana telah diramalkan oleh Abdul Karim: “Ternak sekarat di mana-mana karena wabah anthraks yang tidak terkendali, penyakit yang paling maut di antara penyakit-penyakit yang menyerang sapi dan kerbau. Desa-desa pantai Jawa Barat dari Merak ke selatan sampai Labuan telah dihancurkan oleh tsunami-tsunami. Hujan masih diwarnai bercak cokelat akibat abu yang berputar-putar tanpa henti di langit di atas Jawa. Pulau Krakatau telah meledak sampai berkeping-keping dan 36.000 orang tewas dalam gelombang pasang akibat aliran abu dan gas akibat letusan tadi.”

Seorang yang cukup berani menempatkan letusan Gunung Krakatau dari rantai panjang tanda-tanda yang memuncak pada pemberontakan petani Banten, dan menjadi saksi mata letusan itu adalah R.A. van Sandick, guru sekolah teknik dari Deventer di Holland tengah, yang diperkerjakan oleh pemerintah kolonial Belanda berkat pengetahuannya tentang hidrolika. Dalam bukunya, Leed en Lief in Banten (Duka dan Cinta di Banten) yang ditulis pada 1892, van Sandick mengemukakan detail-detail tentang ramalan-ramalan Abdul Karim, sebagai berikut:

“Para mullah dan guru agama di pesantren, yang tengah menggugah semangat orang-orang di Banten, mengambil kesempatan yang diberikan oleh luka yang besar dan dalam akibat letusan Krakatau itu, untuk memperluas pengaruh mereka. Bukankah itu, kata mereka, adalah balas dendam Allah, tidak hanya pada anjing-anjing kafir, tetapi juga orang-orang Banten yang mengabdi pada orang-orang kafir itu? Tidak diragukan lagi: bencana Krakatau itu adalah isyarat Tuhan, peringatan besar yang pernah dibicarakan Abdul Karim. Bukankah dia telah meramalkan gempa-gempa dahsyat dan hari kiamat? Dan lihat, matahari gelap selama berjam-jam, dan sekarang setelah letusan itu matahari menjadi bola merah atau kadang-kadang kelabu atau biru dengan latar belakang langit kelabu. Tidak anehkah itu, warna-warna asing yang menyala-nyala di langit senja? Bukankah Tuhan menciptakan gelombang-gelombang pasang setinggi 30 meter di atas laut normal itu? Dan bukankah Tuhan berbicara dengan guntur, sehingga seluruh Banten terguncang dalam kegelapan yang paling pekat? Dan, tanya saja para penangkap ikan di Selat Sunda: bukankah dasar laut telah diangkat oleh Tuhan? Bukankah tiga perempat pulau Krakatau telah lenyap? Sujudlah di hadapan Yang Mahakuasa! Bayarlah dosa-dosamu! Bisakah kamu masih meragukan, kata para mullah itu, setelah kamu tahu bahwa Abdul Karim telah meramalkan hal ini?”

Menurut Sartono, sebagai satu kepercayaan yang laten di kalangan umat Islam, ide tentang Mahdi terbukti menjadi kekuatan yang memberi semangat di masa-masa sulit, yang mampu menggerakkan massa rakyat. Dalam suasana revolusioner di bagian akhir abad ke-19, yang ditandai oleh penetrasi westernisasi kolonial Belanda, keresahan sosial, dan pergolakan agama, telah menguntungkan manifestasi Mahdisme. Bersamaan waktunya dengan ide-ide milenari atau keagamaan lainnya, dia menyalakan api revolusioner yang nantinya meledak menjadi kobaran revolusi dan serangan terhadap kaum penindas asing yang sangat dibenci.

Di Banten, ide mengenai Mahdi, tidak hanya sudah dikenal, melainkan kedatangannya sudah dinantikan. Dan Abdul Karim pun sebelum berangkat menuju Mekah mengumumkan kepada rakyat Banten bahwa dia akan kembali ke Banten kira-kira pada saat kedatangan Mahdi.

Pesan Terakhir Nabi Muhammad

Dalam sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw. adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau Haji Penghabisan pada 9 Zulhijah tahun 10 Hijriyah atau 7 Maret 632.

“Namun sepucuk surat edaran dari Mekah yang isinya dikenal sebagai ‘Peringatan terakhir Nabi’ semakin membakar semangat rakyat Banten,” tulis Sartono.

Surat peringatan tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan dalam pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. “Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”

Surat peringatan semacam itu, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Sunda, beredar luas dan umumnya berisi tentang kiamat sudah dekat. Sebuah surat berisi seorang bernama Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya.

Isinya: “Hai Syekh Abdallah... ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir... Beritahukan mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Ka’bah dan malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap Quran dari hati kaum yang beriman.”

Selain memilikinya, Hurgronje membaca di suratkabar Nieuws Rotterdamsche Courant (4 Juni 1884) dan Nieuws van den Dag (5 Juni 1884) yang mengutip Het Algemeen Dagblad mengenai isi surat itu. Suratkabar tersebut juga mengabarkan bahwa umat Muslim Priangan dilanda ketakutan karena gambaran mimpi itu diceritakan setiap minggu di masjid-masjid. Di suratkabar Nieuws van den Dag (9 Juni 1884), yang dibaca Hurgronje, ditunjukkan panjang-lebar akibat buruk dari kegelisahan-kegelisahan itu.

Surat peringatan lain terbit dalam dua versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Ja’far ibn ‘Abd alKhaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic.), yang katanya telah menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi ramalan eskatologis,” tulis Sartono.

Menurut Sartono, surat itu memuat gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan kewajiban agama.

Pada akhir 1883, polisi Banten menyita sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang, Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada 1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di Jawa,” tulis Sartono.

Hurgronje bahkan memastikan, dari susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk, digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.

Yang menarik –mungkin dalam surat peringatan yang lain– secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan ibadah haji terkait dengan tandatanda bahwa “apabila selama waktu tujuh tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur esok hari orang akan melihat Ka’bah sudah hilang, sehingga orang tidak melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.

Lebih lanjut Hurgronje menerangkan, surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Ka’bah lambat-laun akan menghilang atau pintu Ka’bah tak dapat dibuka lagi. Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada agama dan perbuatan-perbuatan baik.

“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.

Yang jelas, antara tahun 1880 sampai 1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh, Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan, berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan para pejabat Belanda.

“Menurut pendapat mereka surat itu bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,” tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana alam antara tahun 1879 sampai 1883.”

Wabah dan bencana dianggap sebagai teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai wilayah Islam (Darul Islam).

Mendirikan Negara Islam (Darul Islam)

Dalam suatu kesempatan, Abdul Karim memberitahukan bahwa dia tidak akan kembali selama Banten masih berada di bawah dominasi asing. Hanya di atas bumi Islam (Darul Islam) dia akan menginjakkan kakinya lagi.

Menurut Sartono, di dalam ide tentang Darul Islam terkandung perasaan benci yang diperlihatkan secara terang-terangan oleh rakyat, tidak hanya terhadap orang-orang Eropa yang dianggap kafir, tetapi juga terhadap semua orang yang memandang tinggi orang-orang Eropa atau bergaul dengan mereka. Pejabat-pejabat pamong praja Banten yang menjadi penyambung tangan Belanda, dipandang sebagai orang-orang hina. Mereka mencemarkan agama mereka sendiri karena Muslim yang baik harus menjauhkan diri dari hubungan dengan orang-orang yang tidak dipercaya.

Selain itu, rakyat cenderung memandang pamong praja sebagai orang-orang yang korup dan menindas. Kaum santri tidak saja menuduh kaum priyayi memperlakukan mereka dengan buruk, tetapi juga mendakwa mereka bahwa mereka pada umumnya tidak bermoral. Kaum priyayi dicap sebagai kafir indanas, yaitu hanya namanya saja Muslim. Hal ini mendorong rakyat enggan berurusan dengan pemerintah Belanda, agen-agennya, dan peraturan-peraturannya, dan menganggap mereka semua sebagai orang-orang yang sudah kotor. Oleh karena itu, penetrasi administrasi kolonial ke desa-desa harus ditentang.

Dalam hal ini, para kiailah yang tak henti-hentinya berusaha menanamkan kecurigaan yang mendalam terhadap pemerintah kolonial dalam hati santri-santrinya, dan secara berangsur-angsur membakar semangat pengikutpengikutnya untuk melancarkan Perang Sabil terhadap penguasa-penguasa kafir. Ini merupakan tahap dimana gerakan kebangkitan kembali agama Islam dijiwai oleh fanatisme yang menggelora dan menjelma menjadi gerakan jihad.

“Adalah menarik bahwa waktu dan tempat jihad yang direncanakan itu masih belum jelas ketika Abdul Karim bertolak menuju Mekah pada 1876,” tulis Sartono.

Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah)

Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh Abdul Karim adalah mendirikan sebuah Negara Islam (Durul Islam). Karena itu, para pengikutnya memiliki kesadaran yang kuat bahwa negeri mereka harus dianggap sebagai Darul Islam, yang untuk sementara waktu diperintah oleh penguasa-penguasa asing.

Mereka juga memiliki keyakinan yang kuat bahwa begitu keadaannya memungkinkan, negeri mereka akan diubah dengan menggunakan kekuatan dan menjadi wilayah Islam yang sejati. Sikap ini merupakan ajaran tentang Perang Sabil, yang menyatakan bahwa umat Islam berkewajiban memerangi orang-orang yang belum memeluk agama Islam.

“Tujuan utama Perang Sabil adalah mendirikan sebuah Negara Islam yang merdeka, di mana orang dapat mempraktikkan agama Islam yang sejati. Ini berarti bahwa bagi penganut gerakan kebangkitan Islam dan anggota-anggota tarekat, jihad atau Perang Sabil merupakan tindakan pengorbanan yang paling luhur untuk mewujudkan negara yang ideal, sebagai puncak pengabdian dari doa-doa, puasa, dan perjalanan naik haji,” tulis Sartono.

Akan tetapi, menurut Sartono, apabila persoalannya sudah sampai kepada tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mewujudkan ramalan-ramalannya, Abdul Karim selalu memberikan penjelasan yang samar-samar kepada pengikut-pengikutnya. Dia tidak mau memberi jawaban-jawaban pasti dan hanya mengemukakan bahwa menurut pendapatnya saatnya belum tiba untuk melancarkan Perang Sabil.

Murid-murid utamanyalah yang memastikan waktu dimulainya Perang Sabil, yaitu pada 9 Juli 1888

Baca juga: 

Saat Petani Mencipta Sejarah
Larangan Azan Picu Pemberontakan
Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888

TAG

Banten Pemberontakan Cilegon

ARTIKEL TERKAIT

Serdadu Württemburg Berontak di Semarang Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Maddasim Dibacok Polisi Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (1) Gijadi Menembak Yani Mengacau Banten, Kamid Tewas di Jakarta Bekas Anak Buah Andi Azis Mudahnya Kopral Dukun Mempecundangi PRRI Mayor Kartawi Ditahan di Nusakambangan Dari Banteng Raiders ke Baret Merah