Tajamnya golok tak mampu mengiris lidah pemain debus. Racun kalajengking tak mempan padanya. Linggis dari besi bengkok di tangannya. Kesaktian dan kekebalan pemain debus membuat beragam senjata tajam tak ada apa-apanya di tubuh mereka.
Debus terkenal berasal dari Banten. Namun, atraksi ini juga dikenal di Cirebon, Maluku, Aceh, tersebar ke Perak, Semenanjung Melayu. Permainan ini berakar dari tarekat yang menyebar ketika Islam masuk ke Nusantara.
“Itu semua tempat yang sering didatangi pedagang rempah. Debus ini menjadi indikasi pemakaian tarekat. Orang debus biasa membaca ratib dan sebagainya,” kata Martin van Bruinessen, ahli studi tentang Islam dari Utrecht University, Belanda, dalam diskusi daring bertema “Tradisi dan Jaringan Sufisme di Jalur Rempah: Mencari Akar Kosmopolitan Islam Nusantara”, Sabtu, 24 April 2021.
Baca juga: Jaringan Intelektual dan Spiritual dalam Jalur Rempah
Masyarakat Nusantara tertarik pada tarekat karena banyak yang mengincar ilmu kekebalan (ngelmu).
Menurut Rohman, peneliti Bantenologi dan pengajar di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, keinginan menguasai ilmu kebal telah turun temurun dari generasi ke generasi di Nusantara. Sebelum Islam masuk, orang-orang menggunakan mantra dari tradisi Hindu dan Buddha untuk melindungi diri dari bahaya. Ketika Islam datang, hal itu diwakili oleh tarekat.
“Meskipun tujuan tarekat adalah untuk mendekatkan para pelakon kepada Tuhan, banyak muslim lokal selama fase pertama penyebaran Islam bergabung dengan tarekat karena ritualnya mirip dengan praktik pra-Islam,” tulis Rohman dalam “The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province”, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Afkaruna Vol. 9 No. 1 Januari–Juni 2013.
Baca juga: Jejak Sufi, Pembawa Ajaran Islam ke Nusantara
Zikir dan wirid dianggap seperti mantra. Ajaran meditasi dan asketisme yang dipraktikkan oleh guru tarekat dibandingkan dengan ritual tapa (meditasi) pada masa pra-Islam.
Keahlian debus berdasarkan ajaran tarekat pun mempercepat penyebaran Islam, terutama yang terjadi di Kesultanan Banten.
Rohman menyebut bahwa praktik ilmu kekebalan tak hanya dilakukan oleh tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, tetapi juga oleh tarekat Sammaniyah, Rifa’iyah, dan Shadziliyah.
Debus dan Tarekat
Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, mencatat bahwa tarekat Rifa’iyah yang paling berpengaruh dalam debus. Jejaknya jelas ada di Banten.
Moh. Hudaeri, dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, menambahkan bahwa unsur utama dalam debus, yaitu permainan dengan senjata tajam yang ditikam ke tubuh, jelas berasal dari tarekat Rifa’iyah.
“Tradisi serupa ditemukan pula pada penganut tarekat Rifa’iyah di Turki dan Mesir,” tulis Hudaeri dalam “Debus di Banten; Pertautan Tarekat dengan Budaya Lokal”, Al Qalam Vol. 27 No. 1 (Januari–April 2010).
Baca juga: Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
Tarekat Rifai’yah menyebar dari lingkungan istana dan elite kepada penduduk pada masa Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin (1773–1799).
Menurut Van Bruinessen, sang raja mengajarkan tentaranya berbagai doa dan teknik yang dengan berkah Syekh Ahmad Rifa’i dan wali lainnya akan membuat mereka kebal terhadap besi, api, dan racun.
Selain tarekat Rifai’yah, orang Banten juga menghubungkan debus dengan tarekat Qadariyah. “Saya mengetahui satu tempat saja di mana tarekat Qadariyah juga menjalankan praktik itu dan tempat tersebut adalah Kurdistan,” kata Van Bruinessen.
Baca juga: Awal Praktik Keislaman di Indonesia
Tarekat Qadariyah di Banten berawal dari paruh kedua abad ke-19. Namun, ada bukti yang menunjukkan bahwa ilmu Syekh Abd Al-Qadir Al-Jilani sudah diajarkan di suatu perguruan di atas Gunung Karang pada abad ke-17. Ilmunya juga dikenal di Cirebon.
“Bukan kebetulan kalau di Gunung Karang juga dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan debus,” kata Van Bruinessen.
Kemungkinan tarekat Qadariyah menyebar dari istana kepada masyarakat hampir bersamaan dengan tarekat Rifa’iyah.
“Rujukan tertulis paling awal adalah dari masa pemerintahan Sultan Zainal Asyiqin (1753–1773),” jelas Van Bruinessen.
Mencapai Tingkat Fana
Untuk menguasai debus, penganut tarekat harus puasa, membaca doa-doa tertentu, zikir, wirid, serta salawat kepada Nabi Muhammad Saw. dan para aulia, yakni guru tarekat dan guru debus.
Dalam tradisi tarekat, permainan debus berfungsi untuk menguji tingkat kefanaan seseorang ketika melakukan wirid dan zikir. Jika telah sampai pada tingkatan fana, dia akan mampu melakukan sesuatu yang keluar dari hukum alam.
Baca juga: Komat Kamit Kisah Santet di Banten
“Ini berkorelasi dengan makna fana yang artinya suatu pengalaman rohani yang merasakan peleburan dalam Zat Yang Maha Tinggi,” tulis Hudaeri.
Cerita keajaiban dan kejadian luar biasa yang dimiliki seorang guru sufi mendorong orang-orang masuk tarekat. Kesaktian para wali ini seringkali dikisahkan dalam perlawanan melawan kolonialisme.
Debus Melawan Penjajah
Syekh Yusuf Al-Makassari merupakan guru tarekat yang memimpin jihad di Banten melawan Belanda selama dua tahun (1682–1684).
“Dia merupakan contoh seorang sufi yang saleh sekaligus pejuang fisik yang hebat,” kata Van Bruinessen.
Peran Syekh Yusuf menonjol ketika Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683) melawan Belanda. Setelah sang sultan ditangkap Belanda, dia memimpin pasukan bergerilya di wilayah Banten dan Jawa Barat. Pasukannya sulit ditundukan Belanda.
Kisah Syekh Yusuf pun berkembang di masyarakat. Dia dipercaya kebal senjata dan tak bisa dilihat musuh. Kendati pada akhirnya dia ditangkap Belanda lewat tipu muslihat.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Menurut Rohman, Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Yusuf mengajarkan kekebalan kepada prajuritnya untuk mendongkrak semangat melawan Belanda. Ketika ketegangan antara Kesultanan Banten dan Belanda meningkat, para pejabat kesultanan berdakwah dan mengajarkan kekebalan di pedalaman Banten.
Pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1945–1949, Kiai Abdurrahim dari Maja, seorang guru debus, bersama muridnya datang ke Serpong untuk melawan tentara KNIL. Mereka hendak menguji kekebalan.
Sebelumnya mereka selalu kebal terhadap api dan golok. Karenanya mereka yakin akan kebal terhadap peluru Belanda.
“Tanpa mencari perlindungan mereka menyerang KNIL, hampir semua, 120 orang tertembak mati,” kata Van Bruinessen berdasarkan wawancara dengan Kiai Istikhari di Bogor pada 1988. Ketika peristiwa itu terjadi, Kiai Istikhari aktif dalam Laskar Hisbullah, berada tak jauh dari tempat kejadian.
Pada praktiknya, debus tak hanya mengandalkan sumber tarekat. Tapi juga mengambil unsur-unsur dari tradisi lokal pra-Islam. Karenanya banyak yang memandang debus bertentangan dengan ajaran Islam. Debus pun dinilai lebih banyak menonjolkan hal-hal yang tak bersumber dari tradisi awal debus.
Baca juga: Jimat Penguat dalam Pemberontakan Petani Banten 1888
Pada masa kini, teknik permainan debus tak terbatas pada penggunaan senjata tajam. Namun juga tak bisa dipisahkan dari keahlian silat yang umum dimiliki para jawara.
“Bahkan mengacu kepada teknik magis yang lain, seperti kemampuan memukul dari jarak jauh, menjinakan hewan, mengajak ruh harimau dan kekuatan dahsyat lainnya untuk masuk ke dalam tubuh,” kata Van Bruinessen.
Debus tak lagi menarik bagi penganut tarekat Qadiriyah. Ilmu Syekh Abdul Qadir yang diterapkan bukan lagi ilmu kekebalan, melainkan ilmu mensucikan hati.
“Ini tak lepas dari situasi politik yang banyak berubah,” kata Van Bruinessen. “Jihad untuk orang tarekat sekarang bukan perjuangan fisik lagi tetapi perjuangan batin.” Dan debus pun kini menjadi pertunjukan hiburan yang populer.