Masuk Daftar
My Getplus

Keindahan dalam Kartu Lebaran

Perkembangan kartu Lebaran pada setiap zaman menunjukkan cara pandang orang terhadap Islam.

Oleh: Aryono | 03 Jun 2019
Kartu ucapan Idulfitri tahun 1950-an. (Koleksi Mikke Susanto).

INGATKAH kapan Anda pertama kali menerima kartu ucapan selamat Idulfitri atau Lebaran? Apakah kartu itu masih tersimpan dengan baik? Percayalah, semakin tua usia kartu Lebaran Anda, maka nilainya akan semakin tinggi.

“Kalau nuruti pasar lelang untuk kartu Lebaran dan kartu/surat sejenisnya setara dengan harga kartu pos yang sezaman. Kartu pos, kartu lebaran, foto lawas hitam putih, benda cetak lembaran menurut katalog lelang Java Auction sudah terbilang 6 sampai 7 digit. Artinya ratusan ribu hingga dua jutaan rupiah per biji. Tergantung dari kelangkaannya,” ujar Mikke Susanto, staf pengajar ISI Yogyakarta yang suka mengoleksi benda seni kepada Historia.

Mikke mengaku mengoleksi kartu Lebaran sejak SMA atau sekira akhir dekade 1980-an. Menurutnya, corak kartu Lebaran pada dekade tersebut sangat menarik.

Advertising
Advertising

“Munculnya lukisan (kanvas, wayang, pemandangan alam, karya fotografi) atau karya seni sebagai tema kartu Lebaran baru terjadi pada era 1990-an. Sejumlah lembaga seni seperti Dewan Kesenian Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, dan lainnya turut memberi perkembangan kartu Lebaran,” kata mantan kurator konsultan untuk Istana Kepresidenan RI ini.

Kartu ucapan Lebaran memang sudah lama dikenal masyarakat. Boleh dikata, kartu itu adalah "adik" dari kartu pos yang lebih dulu muncul.

Dirangsang Kartu Pos

Masih samar untuk menentukan kapan persisnya kartu ucapan Lebaran dipakai di Tanah Air. Tradisi berkirim kartu Lebaran diduga menjadi sambungan pemberian hadiah (gift) antara sesama pemeluk agama. Tradisi kartu ucapan ini muncul bersamaan dengan keberadaan mesin cetak yang ada di Indonesia. Tradisi kartu lebaran diyakini merupakan warisan kaum modern yang dimulai dari Eropa. Para orang kaya dan intelek menjadi bagian dari dimulainya tradisi mengirim ucapan melalui surat menyurat ini.

“Tidak lupa, perkembangan kartu pos (termasuk warkat pos) dari zaman Belanda cukup memberi rangsangan terhadap tumbuhnya kartu Lebaran,” jelas Mikke Susanto.

Baca juga: Jakarta dalam Kartu Pos

Soal perkembangan kartu pos, Ahmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia yang hobi mengoleksi kartu pos, menerangkan bahwa tradisi saling berkirim kartu ucapan adalah pengaruh dari Belanda.

Orang-orang di negeri Belanda mulai mengenal kartu ucapan (wenskaart) dalam bentuk briefkaart (semacam kartu pos tanpa gambar) sekira tahun 1871. Tahun-tahun berikutnya mulai ada gambar yg disebut ansichtkaart (kartu pos yang kita kenal). Pada dekade 1890-an, mengirim kartu semacam ini pada saat Natal dan Tahun Baru menjadi mode.

“Lalu pada 1893 dicetak kartu pos bergambar pertama di Hindia Belanda yang juga kerap dijadikan kartu ucapan. Pada 1898 ada kartu pos bergambar patung Buddha (dari seri Yogya, Prambanan, Borobudur) dikirim dari Hindia ke Belanda yang berisi ucapan tahun baru. Kemungkinan besar setelah periode 1893, kartu pos yang berisi ucapan dikirim, baik ke dalam, maupun luar Hindia Belanda,” terang penulis buku (Bukan) Tabu di Nusantara kepada Historia.

Kartu ucapan Idul Fitri tahun 1971. (Koleksi Mikke Susanto).

Salah satu kartu ucapan yang ditunjukkan oleh Mikke Susanto kepada penulis adalah bikinan percetakan G. Kolff & Co tahun 1930. Pada satu sisi penuh gambar berwarna, sisi sebaliknya kosong. Menurutnya, sisi yang kosong bisa diisi apa saja, termasuk ucapan Lebaran.

Baca juga: Merdeka Kartu Lebaran

Dalam perkembangannya, kartu Lebaran mulai ramai dipakai banyak orang. Saat teknologi belum secanggih sekarang, surat atau kartu menjadi sarana menjalin silaturahmi jarak jauh.

“Pada hari Idulfitri, kita sering menerima kartu Lebaran dari famili, teman, dan kenalan yang rumahnya berjauhan dari rumah kita. Kartu Lebaran dimaksudkan sebagai pengganti diri mereka beranjangsana mengunjungi rumah kita,” tulis penyair D. Zawawi Imron dalam Gumam-gumam dari Dusun: Indonesia di Mata Seorang Santri.

Kado untuk Fitri

Bahagia rasanya jika mendapat secarik kartu ucapan Idulfitri dari orang terkasih atau handai tolan yang tinggal di tanah seberang. Hal ini semakin spesial jika mendapat kartu ucapan yang kece, sehingga layak dikoleksi. Dan tentu saja, akan menarik bila koleksi itu tak saja dari era kekinian, namun juga yang lampau, sehingga bisa terlihat perbedaan dari segi desain, bahan, dan tema.

“Perkembangan kartu Lebaran lebih bisa dikaji dari tema, teknik, dan teknologi fotografi,” kata Mikke Susanto yang mengoleksi puluhan kartu Lebaran dari beragam zaman.

Kurator berambut gondrong itu telah mengkaveling koleksi kartu Lebarannya sesuai tahun produksi. Kartu ucapan Lebaran produksi tahun 1950-an memiliki tema lebih terkait kehidupan Islami saat Lebaran seperti bersalaman dan sungkem.

“Semua dikerjakan dengan dilukis, bukan fotografi, baru dicetak. Pada masa ini teks masih bahasa ejaan lama ‘Hari Raja’ dan ‘Sjawalan’, masih menggunakan huruf J bukan Y. Meskipun dicetak, namun kesannya manual dan jadul,” jelas Mikke.

Lalu kartu Lebaran keluaran tahun 1960-an menampilkan lebih banyak pada benda atau materi seperti bunga dan masjid, meskipun objek-objek tersebut juga banyak ditemukan pada era sebelumnya. Teknologi fotografi pun sudah mulai muncul meskipun hitam putih. Di era ini, telah muncul foto selebritas. Di tahun 1970-an berlanjut, figur manusia dalam suasana Lebaran dan bintang film diekspos kuat.

“Adapun bintang film yang paling laku sebagai model kartu lebaran 1970-an adalah Titik Sandhora dan Mukhsin Alatas,” ujar Mikke.

Kartu ucapan Lebaran dengan gambar Muchsin Alatas dan Titik Sandhora pada 1970-an. (Koleksi Mikke Susanto).

Pada 1980 hingga 1990-an aspek tema tidak banyak berubah, hanya lebih pada perubahan teknik. Perubahan ini seperti ada lapisan plastik transparan di bagian muka kartu lebaran; lalu eksplorasi fotografi juga semakin menguat. Apalagi komputer telah menciptakan program lunak untuk mendesain kartu Lebaran. Hal ini menjadikan kartu Lebaran tampak lebih modern, penuh warna dan sangat bervariasi dalam penampilannya.

Dari tema-tema kartu Lebaran setiap zaman, Mikke menangkap perubahan cara pandang orang terhadap Islam. “Dulu imaji tentang Islam bukan soal pakaian, melainkan lebih pada kesantunan. Dalam kartu Lebaran jadul tidak ditemukan citra perempuan berjilbab,” terang Mikke.

Selain keberagaman tema dari masa ke masa, ukuran kartu Lebaran pun bervariasi.

“Ukurannya bermacam-macam tapi masih dalam koridor surat-menyurat. Mulai dari ukuran paling kecil 6x10 cm, 9x14 cm, 11x15 cm, sampai 12x15 cm. Intinya harus bisa masuk kotak surat untuk dikirim oleh perusahaan pos,” kata Mikke.

Kini, produsen kartu Lebaran dituntut lebih kreatif. Tak hanya gambar ketupat atau kubah masjid semata, namun juga bisa diselipkan pesan yang membangun daya kreatif dan kritis.

TAG

Idulfitri Lebaran

ARTIKEL TERKAIT

Pelaksanaan Haji di Nusantara Tradisi Membeli Baju Lebaran Menentukan Hari Lebaran Pada Masa Kolonial Jenderal Soedirman Lebaran di Jakarta Pertemuan Rahasia di Malam Lebaran Belanda Menghalangi Salat Id di Jakarta Lebaran Pertama Setelah Zaman Perang Suasana Mudik dan Lebaran di Awal Orde Baru Awal Mula Pelesiran Lebaran ke Kebun Binatang Pengelolaan Zakat Fitrah Masa Kolonial