SUATU hari di tahun 1680, Letnan Tanujiwa mendapat perintah mengikuti ekspedisi menyusuri Sungai Cisadane di Bogor. Sebagai perwira, ia mendapat posisi cukup penting dalam ekspedisi itu.
Letnan Tanujiwa konon masih merupakan keturunan Prabu Siliwangi. Ayahnya bernama Santowan Kendang Serang-Serang.
“la (Santowan, red.) mempunyai tiga orang anak, yaitu Kyai Pralaya, Kyai Singamanggala, dan Kyai Tanujiwa. Ketiganya kemudian mengabdi kepada Kompeni di Batavia (Jakarta) pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Coen (1627),” tulis Yus Rusyana dkk. dalam Ensiklopedi Sastra Sunda.
Mereka berpengaruh di dalam etnisnya. Mereka disebut-sebut sebagai pemimpin orang-orang Jawa. Posisi penting mereka itulah yang digunakan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang kerap disebut Kompeni.
Kyai Pralaya di zaman Gubernur Jenderal Maatsuiker pernah diutus ke Sumedang untuk mencari 40 orang tenaga kerja guna membuka lahan bernama Pacenongan. Kyai Pralaya diangkat menjadi letnan dan dikenal sebagai Letnan Panggiring. Lalu, Kyai Singamanggala dianggap sebagai orang yang membuka daerah yang belakangan disebut Bidaracina. Dia diangkat menjadi sersan dan dikenal sebagai Sersan Kertasinga. Sedangkan Kyai Tanujiwa, juga diberi pangkat letnan. Setelah daerah hutan jati yang kini berada di Jatinegara dibuka pengikut Meester Cornelis Senen, belakangan Tanujiwa diperintahkan membangun loji di daerah yang pernah sohor sebagai Meester Cornelis itu. Tak hanya itu, Tanujiwa juga diperintahkan membuka kampung di sekitar situ.
Kampung yang dibangun Letnan Tanujiwa dekat dengan sungai, seperti kebanyakan kampung lain. Kampung yang dibangunnya itu lalu dinamai Kampung Baru, yang berada di daerah Cipinang. Di sanalah dia kemudian tinggal.
Pada 1680, tulis Mumuh M. Zakaria dalam Kota Bogor: Studi tentang Perkembangan Ekologi Kota Abad ke-19 hingga ke-20, Letnan Tanujiwa diperintahkan ikut ekspedisi menyusuri hulu Sungai Cisadane di bawah komando Scipio. Letnan Tanujiwa memimpin pasukan pekerja (werktroep) yang bertugas membuka ladang-ladang baru. Pasukan pekerja itu disebar ke beberapa tempat.
“Pada tahun 1687, Tanujiwa yang mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran, akhirnya berhasil mendirikan sebuah perkampungan di Parung Angsana yang kemudian diberi nama Kampung Baru (sekarang Tanah Baru),” tulis Mumuh M. Zakaria.
Pembukaan kampung itu, menurut buku Istana Bogor, istana kepresidenan di Bogor, diawasi oleh anak buah Tanujiwa yang bernama Sersan Wisnala. Letnan Tanujiwa kemudian menetap di kampung yang dibukanya di Bogor itu.
Letnan Tanujiwa berada di Bogor sekitar tahun 1690. Namun, menurut buku De Particuliere Landerijen en de Geschiedenis van Buitenzorg, setelah Letnan Panggiring saudaranya hilang di hutan, Letnan Tanujiwa menjadi kepala Kampung Baru Bogor itu. Perlahan kampung yang dibuka oleh Letnan Tanujiwa dan pasukannya itu menjadi ramai.
Sekitar setengah abad setelah Letnan Tanujiwa membuka lahan di Bogor, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff mengunjungi Kampung Baru yang damai itu pada 1744. Ia lalu terpikir untuk membangun rumah peristirahatan besar yang kemudian dilaksanakannya. Belakangan, rumah peristirahatan itu menjadi Istana Bogor.
Bogor sendiri perlahan menjadi kota besar dan di zaman Hindia Belanda bernama Buitenzorg. Selain istana, sekolah pertanian juga dibangun di sana dan belakangan berkembang menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Selain sekolah pertanian dan istananya, Bogor dikenal dengan kebun raya yang mengitari samping dan belakang Istana Bogor.
“Pada tanggal 18 Mei 1817, ia diresmikan dengan nama ‘s Lands Plantentuin (Kebun Tanaman milik Negara), ketika semangat pembaruan sedang meliputi Negeri Belanda. Dengan kekalahan Napoleon di Waterloo tahun 1815, Negeri Belanda yang terlepas dari cengkeraman penjajahan oleh kaisar tersohor itu menghadapi persoalan membangun negaranya kembal. Maka peranan ekonomis jajahan warisan VOC yang bernama Hindia Timur itu tampak amat penting. Karenanya gagasan untuk mendirikan sebuah kebun penelitian tanaman segera mendapat sambutan baik dari para komisaris jenderal Belanda yang berkuasa di Hindia Timur setelah Raffles,” tulis buku terbitan TEMPO Publishing, Menjelajah Kebun Raya Bogor: Era Belanda Hingga Abad Milenial.
Belakangan, Bogor juga dikenal dengan wisata pegunungannya yang berhawa sejuk, Puncak, dan diikuti Taman Safari. Semua ada setelah Letnan Tanujiwa membuka Kampung Baru di sana.