Juru Foto di Bawah Desingan Peluru
Dari Perang Saudara Spanyol hingga Pendaratan Normandia. Petualangan Robert Capa Berakhir di Palagan Indocina.
PESISIR Normandia, Prancis Utara pada pagi 6 Juni 1944. Desingan peluru senapan mesin dan ledakan-ledakan artileri Jerman di bibir pantai saling berlomba memekakkan telinga. Hari itu “Operasi Overlord” –atau sering disebut D-Day adalah operasi pendaratan pasukan Sekutu untuk membebaskan Eropa Barat dari tangan Jerman-Nazi– dimulai. Prajurit Satu Huston Riley merupakan satu di antara pasukan Kompi F, Batalyon ke-2, Resimen ke-16, Divisi Infantri ke-1 Angkatan Darat (AD) Amerika Serikat yang mesti mendarat pada gelombang pertama D-Day atau Invasi Normandia.
Keadaan chaos tak sedikitpun memberi waktu buat Riley menebalkan nyali begitu ia turun dari kapal pendarat LCVP di sektor Omaha Beach. Riley sempat terjatuh dan setengah tenggelam. Ia berlindung sebisa mungkin selama setengah jam di pinggir pantai.
Peluru senapan mesin Jerman mulanya hanya menyerempet ransel perbekalan di punggung serta di ujung sepatu boot-nya. Namun ketika ia kemudian tergeletak pasrah, empat peluru bersarang di bahunya. Tetapi hari itu maut belum menjemputnya. Seorang sersan dan seorang lagi yang tak familiar bagi Riley menarik tubuhnya untuk berlindung ke gundukan pasir yang lebih aman.
Sosok lain yang menolong itu bikin heran Riley. Ia memang sama-sama mengenakan seragam hijau AD Amerika lengkap dengan helm M1-nya. Tetapi ia tak menenteng senjata, melainkan menenteng kamera foto. Di kemudian hari, sosok yang membawa kamera itu diketahui adalah Robert Capa. Dia satu-satunya juru foto sipil pada momen D-Day.
“Saya terkejut ketika melihat dia di sana. Saya melihat badge pers dan saya pikir, ‘Kenapa dia ada di sini?’ Dia menolong saya keluar dari air dan kemudian dia balik lagi ke pantai untuk mengambil beberapa foto,” kenang Riley dikutip Richard Whelan dalam This Is War! Robert Capa at Work.
Kelak, keadaan Riley ketika baru turun dari kapal pendarat turut teridentifikasi di satu dari 106 foto yang diambil Capa pada D-Day. Bahkan, foto yang mengabadikan sosok Riley saat setengah tenggelam di bibir pantai dengan latar belakang sejumlah halang rintang antitank jadi salah satu maharkarya Capa. Kendati sedikit blur, fotonya itu lantas jadi inspirasi bagi sineas Steven Spielberg kala menggarap film bertema Perang Dunia II, Saving Private Ryan (1998).
Keliling Dunia Berbekal Kamera
Robert Capa lahir di Budapest, Hungaria pada 22 Oktober 1913 dengan nama Endre Ernő Friedmann. Ia anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Júlia Berkovits dan Dezső Friedmann. Bandi, begitu nama kecil Capa, mulai kepincut dengan dunia fotografi ketika usianya beranjak 16 tahun.
Pada musim gugur 1929, ketika di tahun terakhir masa sekolah di Madách Gymnasium, Bandi alias Capa bertemu seseorang yang mengubah jalan hidupnya. Orang itu bernama Lajos Kassák, seorang penyair, novelis, pelukis, sekaligus seorang sosialis yang mendirikan Majalah Munka.
Di majalah itu terdapat banyak foto karya fotografer Hungaria seperti Tibor Bass, Károly Escher, dan Sandor Gönci yang menggambarkan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi akibat kapitalisme dan feodalisme lokal. Karya-karya sosio-foto itu sangat tajam dan mendorong gairah reformis dan tentunya memengaruhi karya-karya Robert Capa di kemudian hari.
“Selama dua tahun terakhir masa SMA, saya mulai tertarik pada sastra dan politik dan memutuskan untuk mengejar karier jurnalis,” kata Capa dikutip Whelan.
Baca juga: Pertempuran Dua Jurnalis Perang
Tetapi karena dituduh simpatisan komunis, Bandi alias Capa terpaksa jadi eksil dan mencari suaka ke Jerman di usia 18 tahun. Sembari meneruskan pendidikan di Universitas Berlin, Bandi menyambi kerja paruh waktu jadi asisten kamar gelap dan meningkat jadi staf fotografer di agensi foto Dephot.
Tetapi ketika Naziisme mulai mencengkeram Jerman lepas Adolf Hitler menjabat kanselir, Bandi lagi-lagi terpaksa angkat koper untuk mencari suaka ke Paris, Prancis demi menghindari kebijakan-kebijakan antisemit pemerintahan Nazi. Di Paris itulah kemudian ia bersua fotografer yang lantas jadi kekasihnya, Gerta Pohorylle. Baik Bandi maupun Gerta sama-sama menyambung karier di agensi foto Alliance yang didirikan fotografer dan editor Maria Eisner.
Selama di Paris itu pula Bandi menggunakan nama alias Robert Capa. Gerta mendukung penuh dengan motif cari keuntungan. Menurut Marc Aronson dalam Eyes of the World: Robert Capa, Gerda taro, and the Invention of Modern Photojournalism, Gerta dan Bandi kongkalikong untuk membuat agensi foto fiktif, American Capa. Bandi menyamar menjadi agen fotografer bernama Robert Capa, sementara Gerta menyamar menjadi Gerda Taro.
“Dia mengajukan foto-foto ke Alliance dengan harapan mendapat royalti yang lebih tinggi tetapi nyatanya Eisner mengenali karakter foto-foto itu dan menawarkannya uang muka upah tiga pekan yang lebih rendah, 1.100 franc,” ungkap Aronson.
Baca juga: Petualangan Jurnalis Bernama Gadis
Sejoli itu pasrah. Namun, Bandi tetap menggunakan nama “Robert Capa” untuk seterusnya. Nama “Capa” diambil dari salah satu nama jalan dekat kediaman Bandi di Budapest, “Cápa” yang artinya “hiu”. Sementara, Gerta juga menyandang nama baru, Gerda Taro. Nama itu merupakan kombinasi dari nama aktris Swedia, Greta Garbo, dan aktris Jepang, Tarō Okamoto.
Dari Paris, sejoli Capa-Gerda pindah ke Amerika untuk jadi fotografer lepas Majalah Life. Sejak saat itulah Capa mulai dikenal sebagai juru foto perang. Pada kurun 1936-1939, ia bersama Gerda dan fotografer David Seymour bertualang memburu momen di Perang Saudara Spanyol.
Di Perang Saudara Spanyol, nama Capa mulai dikenal luas ketika menerbitkan sebuah foto ber-caption, “Loyalist Militiaman at the Moment of Death, Cerro Muriano, September 5, 1936” atau juga dikenal sebagai foto “The Falling Soldier”. Foto ini menggambarkan seorang serdadu milisi republik Pemuda Libertarian Federasi Iberia (FIJL) tersungkur kena tembak musuh. Foto yang diambil dengan kamera Leica 35mm itu diterbitkan Life dan Picture Post.
“Saya ada di parit bersama sekitar 20 milicianos. Saat itu saya menunduk, berlindung, dan mengangkat kamera ke atas kepala saya. Saya menekan tombol klik tanpa melihat sama sekali. Sesudah saya tarik kamera, di situlah tertangkap momen ketika ia tertembak. Mungkin itu foto terbaik yang pernah saya ambil. Karena saya bahkan tak mengintip frame-nya karena kamera ada di atas kepala saya,” kenangnya dalam Robert Capa: Death in the Making.
Nahas bagi Capa, dalam palagan itu kekasihnya meregang nyawa pada 26 Juli 1937. Gerda tewas dalam kecelakaan tunggal menunggangi motor saat kembali dari meliput Pertempuran Brunete (6-25 Juli 1937).
Baca juga: Januari “Ngeri” di Shanghai
Kendati begitu, gairah Capa untuk terus menjadi fotografer perang tak meluntur. Lepas dari Spanyol, pada 1938 ia bertualang ke Cina. Capa memburu foto perlawanan pasukan Cina terhadap invasi Jepang di kota Hankou. Sesekali nuraninya juga bergetar melihat para korban sipil akibat Perang Sino-Jepang II yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah dilihatnya di Spanyol.
“Yang bisa Anda lakukan hanyalah membantu setiap orang yang terjebak dalam pertempuran, mencoba mendongkrat spirit mereka sejenak, mungkin sesekali membuat candaan, membuat mereka tertawa dan kemudian Anda ambil fotonya, agar mereka tahu bahwa masih ada orang yang peduli,” tulis Capa dalam otobiografinya, Slightly Out of Focus.
Capa kemudian bolak-balik Amerika-Eropa kala Perang Dunia II bergolak untuk memasok foto bagi Life. Utamanya ke front Italia, di mana ia turut meliput Pertempuran Empat Hari Napoli (27-30 September 1943).
Setahun berselang, Capa jadi satu-satunya fotografer sipil yang terjun di D-Day. Ia direkomendasikan sejarawan foto Allan Douglas Coleman ke komandan Resimen Infantri ke-16, Kolonel George A. Taylor, agar diperbolehkan ikut rombongan resimen itu pada gelombang pertama pendaratan di Sektor Omaha Beach.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Seperti tak punya rasa takut di bawah desingan peluru musuh usai menyelamatkan sang prajurit, Capa balik melakoni tugasnya membidik banyak momen berbekal dua kamera Contax II dengan lensa 50 mm. Tak lama setelah Sektor Omaha Beach dikuasai pada 6 Juni malam, Capa kembali ke kapal angkut dengan menumpang kapal pendarat LCI dari bibir pantai.
“Sungguh kasihan, dia (Capa) berada di air, susah-payah bernafas, memegangi dua kameranya di atas kepala agar tak kena air. Dia sangat bersyukur bisa diangkut. Saat sudah di atas kapal rumahsakit, dia mengambil foto kapal kami yang kemudian terbit di majalah Life,” kenang opsir penjaga pantai Charles Jarreau, dikutip Stephen E. Ambrose dalam D-Day June 6, 1944: The Climatic Battle of World War II.
Capa lantas berlabuh di Portsmouth, Inggris. Ia melanjutkan perjalanannya ke London dengan keretaapi untuk menyerahkan film-filmnya ke asisten kamar gelap Life. Sejatinya Capa mengambil 106 film dari dua jam pertempuran di Omaha Beach. Tetapi sialnya terjadi human error ketika staf kamar gelap itu menyetel alatnya dengan suhu yang terlalu tinggi dan mengakibatkan puluhan film negatif Capa meleleh.
Hanya 11 foto Capa yang selamat. Termasuk foto yang menggambarkan kondisi Prajurit Riley. Dan 11 foto itulah yang diterbitkan Life, di mana 11 foto tersisa itu sohor disebut “The Magnificent Eleven”.
“Tentu saja Capa marah dan kemarahannya bisa dipahami. Meski kemudian dia menyadari bahwa foto prajurit (Riley) yang turun dari kapal Higgins (LCVP, red.) dan berlindung di balik penghalang antitank dengan latar belakang kekacauan dan ketakutan di Omaha Beach, menjadi foto paling kondang tentang momen D-Day,” tambah Ambrose.
Baca juga: Yang Melaporkan dari Medan Perang
Seiring jalannya perang, Capa kembali ke daratan Eropa. Mengekor kemajuan pasukan Sekutu di Prancis hingga Jerman. Salah satu karyanya yang juga tenar adalah foto bertajuk “The Picture of the Last Man to Die”. Foto itu menggambarkan mayat prajurit Amerika, Raymond J. Bowman, di Leipzig yang dirobohkan sniper Jerman pada 18 April 1945 jelang kapitulasi Jerman.
Bersama beberapa koleganya, Capa pada 1947 mendirikan agensi foto bernama Magnum Photos. Di agensi itulah Capa mengutamakan menyetor foto-fotonya kala berkeliling ke Uni Soviet, Israel, dan kemudian Vietnam.
Dalam meliput Perang Indocina I (19 Juli 1946-20 Juli 1954) di Vietnam pada medio 1954, Capa ditemani jurnalis Time-Life, John Mecklin dan Jim Lucas. Capa mengikuti sebuah resimen pasukan Prancis hingga ke wilayah Thái Bình. Namun, siapa sangka di situ pula Capa dijemput ajalnya.
“Pada 25 Mei 1954, resimen Prancis melewati sebuah area berbahaya di bawah tembakan ketika Capa memutuskan keluar dari jipnya untuk menyusuri jalan demi mendapatkan foto. Tetapi Capa akhirnya tewas saat dia menginjak ranjau darat dekat jalan tersebut,” sambung Aronson.
Capa tutup usia di umur 40 tahun. Jasadnya kemudian dibawa ke Amerika untuk disemayamkan di Amawalk Hill Cemetery, New York, tepat di sebelah makam ibunya, Júlia. Capa lantas dikenang sebagai fotografer perang paling dihormati sampai saat ini, sebagaimana firasat ibunya ketika melahirkan Capa.
“Saat kelahirannya, bayi Capa keluar dari rahim ibunya dengan kepalanya masih terlilit ari-ari. Saat disingkap sang bayi ternyata memiliki rambut hitam lebat, ibarat ia sudah berusia beberapa bulan. Sang bayi juga punya kelainan jari kelingking di salah satu tangannya. Sang ibu menginterpretasikan keadaan-keadaan aneh ini sebagai pertanda bahwa sang bayi akan tumbuh menjadi orang yang terkenal,” tandas Whelan.
Baca juga: Perang Batin si Wartawati Perang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar