Januari “Ngeri” di Shanghai
Januari 1932 menjadi pembuka “pintu neraka” bagi penduduk Shanghai. Invasi mengerikan Jepang berlangsung hingga Mei.
SENJA 27 Januari 1932 di Shanghai, China. Dari seorang kawannya asal Kwantung yang bernama Siangseng Tze, Tan Malaka, salah satu bapak bangsa Indonesia, mendapat peringatan bahaya. “Siangseng Tze, dari Kwantung, memperingatkan kepada saya supaya pindah rumah, karena something will happen this night (akan ada kejadian malam hari ini). Katanya, ‘The Canton soldiers will resist Japanese agression.’ Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di sekitar kampung saya,” kata Tan dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara Jilid 2.
Alih-alih menuruti, Tan justru mengabaikan nasihat temannya itu. Toh, peringatan serupa juga sudah diterima Tan sebelumnya dari Siangsen Chen, kawan Tan asal Kwantung yang punya kontak dengan Tentara ke-19 (19th Route Army). “Saya sebagai orang asing, tentulah tidak bisa langsung menerima kebenarannya kabar di atas,” sambung Tan.
Ketika sampai di tempat tinggalnya pada sekira pukul 10 malam, Tan kembali mendapat peringatan serupa. Kali ini peringatan datang dari nyonya pemilik rumah. “Janganlah pergi ke tingkat atas (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak-tembakan,” kata nyonya itu sebagaimana dikutip Tan.
Tiga peringatan itu membuat Tan insyaf akan adanya hal tak biasa. Dia pun keluar mencari tahu apa yang sedang dan akan terjadi. Szu Chuan Road menjadi tujuannya.
Szu Chuan Road merupakan sebuah jalan di Chapei, kampung tempat Tan tinggal di sebuah kamar sewa. Kampung itu dijadikan basis Tentara ke-19 dalam menghadapi Jepang yang kian agresif. Di seberang Szu Chuan Road, berdiri sebuah sekolah menengah putri Jepang. Sekolah ini menjadi markas marinir Jepang dalam “Ekspedisi Shanghai”.
Di dekat sekolah putri itu, Tan menyadari kebenaran nasihat kawan-kawannya. “Di pekarangan rumah sekolah menengah gadis Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap.”
Tan langsung pulang karena situasi sudah membahayakan. Jalan raya sunyi, toko-toko sudah gelap kendati baru jam 11 malam. “Kalau saya tidak dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut di atas, barangkali sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu meletus,” kata Tan.
Perang Shanghai yang dimaksud Tan merupakan pertempuran antara pasukan nasionalis China –Tentara ke-19 dan Tentara ke-5– melawan marinir Jepang yang dikenal dengan Insiden 28 Januari (dalam perspektif Jepang dikenal sebagai Insiden Shanghai). Insiden tersebut disebabkan kian memburuknya hubungan Jepang dengan China di Shanghai.
Shanghai merupakan satu dari lima kota-pelabuhan awal China yang menjadi Settlement alias wilayah yang diperintah oleh kekuatan internasional. Status tersebut muncul sebagai akibat dari kekalahan China dalam Perang Candu melawan Inggris, 1842. Dengan status tersebut, bangsa-bangsa asing bebas berniaga dan membawa pasukan di dalam Settlement dengan perlindungan aturan internasional. Selain Inggris, kekuatan besar yang terus berkembang di Shanghai adalah Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang.
Status tersebut membuat hanya segelintir orang Tionghoa yang bisa menikmati “kue” kemajuan Shanghai. Mayoritas penduduk Tionghoa di sekitar Settlement hanyalah buruh kasar yang hidup dari beberapa sen per hari. Mereka yang tak bekerja sebagai buruh, umumnya hanya pedagang kecil atau anggota geng-geng kriminal yang bertumbuhan seiring dengan kemajuan kota.
Hubungan orang Tionghoa dengan orang Jepang di Shanghai memburuk menyusul invasi Jepang ke Manchuria dan pendirian negara boneka Manchukuo. Langkah ekspansif Jepang itu dengan cepat menumbuhkan sentimen negatif di kalangan penduduk Tionghoa. “Kebencian nasionalis Cina atas pelanggaran asing terfokus pada imperialisme Jepang dan menemukan ekspresi yang kuat dalam boikot efektif terhadap barang-barang Jepang,” tulis Isabella Jackson dalam “Expansion and Defence in the International Settlement at Shanghai”, termuat dalam Britain and China, 1840-1970: Empire, Finance, and War.
Selain boikot produk Jepang, kebencian orang China juga dilakukan dengan mengganggu warga Jepang di Shanghai. Geng-geng China yang bertebaran kerap mengintimidasi bahkan melakukan tindak kriminal terhadap orang Jepang.
Hal itu tentu membuat perwakilan Jepang di Shanghai memprotes. Namun, otoritas China tak bisa memproses cepat protes tersebut. “Pada 1931, Chiang (Kai Shek, red.) menghadapi banyak masalah: mempertahankan koalisi para panglima perangnya, mengalahkan pemberontakan komunis yang bertumbuh, menyelamatkan negerinya dari Depresi Besar, dan entah bagaimana membangun Tiongkok di atas puing-puing perang saudara puluhan tahun,” tulis SCM dan Sarah Paine dalam The War for Asia, 1911-1949.
Akibat banyaknya masalah yang membelit pemerintahan Chiang, penanganan protes Jepang jadi tak mendapat prioritas penting. “Pada malam sebelum invasi Manchuria, Jepang punya lebih dari 300 kasus yang tertunda yang menuduh China melakukan pelanggaran terhadap perjanjian bersama,” sambung Paine. Hal itu membuat Jepang kesal. “Jepang memutuskan untuk merespon secara militer,” tulis Arne Markland dalam Black Ships to Mushroom Clouds: A Story of Japan’s Stormy Century 1853-1945.
Opsi penggunaan militer oleh Jepang mengkhawatirkan beberapa kekuatan asing lain di Shanghai. Inggris dan AS terus mengarahkan kedua belah pihak yang berseteru ke meja perundingan. AS bahkan mengancam Jepang akan meningkatkan armada lautnya jika Jepang terus melanggar prinsip pintu terbuka di Tiongkok.
Namun, Jepang tak menghiraukan desakan dua negera Barat itu. Tekad Jepang semakin kuat setelah pada awal Januari sebuah suratkabar China menerbitkan pemberitaan tentang upaya pembunuhan Kaisar Hirohito. Hal itu amat menyinggung perasaan orang Jepang di Shanghai.
Di tengah kegeraman Jepang itu, pada 18 Januari sekelompok orang China yang di antara beberapa buruh pabrik handuk, memukuli lima biksu Jepang. Satu dari biksu itu tewas akibat luka parah. Serangan itu memicu aksi balas dendam oleh massa dari Japanese Young Men’s One Purpose Society beberapa jam kemudian. Sebuah rumah di kompleks pabrik handuk hangus dalam aksi balas dendam itu.
Sementara, pada 20 Januari otoritas Jepang di Shanghai menuntut Walikota Wu membubarkan organisasi anti-Jepang dan membayar ganti rugi atas kerugian yang timbul karena boikot barang-barang Jepang oleh Tiongkok. Kendati tuntutan itu dikabulkan China, Laksamana Muda Koichi Shiozawa, panglima AL Jepang di Shanghai, terus memperkuat pasukannya dengan satu kapal penjelajah, empat kapal perusak, dan dua kapal induk plus satu kontingen marinir.
Pergerakan itu jelas tercium oleh Chiang Kai Shek. Sang generalisimo secara diam-diam memerintahkan Tentara ke-19 untuk menempati daerah-daerah sekitar Settlement dengan pusatnya di Chapei. “Marinir (Jepang) itu mendarat di pantai pada 28 Januari tanpa sadar (akan) bertemu 35.000 tentara Tiongkok yang ditempatkan di sekitar Permukiman Internasional yang membentang di sepanjang tepi sungai,” sambung Markland.
Konsentrasi pasukan dalam jumlah besar itulah yang membuat banyak penduduk bersiap mengamankan diri. Mereka juga memberitahu orang-orang sekitar yang belum tahu, seperti Tan Malaka.
Namun alih-alih mengungsi, Tan memilih pulang dan tidur di kamarnya. Ketika matanya menutup sesaat menjelang pergantian hari ke tanggal 28 Januari, suara ledakan mortir yang diikuti tembakan segera membangunkannya kembali. Perang Sino-Japan pertama (Insiden Shanghai) dimulai. “Serdadu Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit di antara ‘two fires’. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak. Snipers ini adalah para penembak yang amat jitu tembakannya. Tembakan mereka secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu Jepang,” tulis Tan.
Marinir Jepang yang terseok-seok segera mendapatkan bantuan dari pesawat-pesawat AL yang diterbangkan dari kapal induk. Selain bombardir udara, perlindungan terhadap marinir Jepang juga datang dari tembakan meriam kapal-kapal Jepang. Bombardir udara dan laut Jepang itu menewaskan ribuan orang, mayoritas warga sipil sehingga melekatkan julukan “pembunuh bayi” pada Shiozawa.
“Pertempuran sengit dan berdarah, terutama di pihak Tiongkok: 4.000 tentara Tiongkok terbunuh dan hampir 8.000 terluka, sementara lebih dari 700 orang Jepang terbunuh dan 1.800 lainnya terluka. Pertempuran menjadi contoh awal pemboman udara terhadap warga sipil dan setidaknya 4.000 warga sipil Cina juga tewas,” tulis Isabella.
Namun, bombardir tetap tak mampu menghentikan perlawanan China. Tuan rumah bahkan terus meningkatkan perlawanannya. Pada 5 Februari, pertempuran bahkan meluas ke udara, di mana pesawat-pesawat Jepang terlibat dogfight dengan pesawat-pesawat China. Pada 22 Februari, satu gugus tugas pesawat Jepang diserang pesawat-pesawat China. Satu pesawat pembom Jepang ditembak jatuh oleh pesawat China yang dipiloti sukarelawan asal Amerika Robert Short.
Bombardir udara dan laut Jepang tetap tak menyurutkan perlawanan China. Shiozawa pun kewalahan sehingga meminta Tokyo mengirim bantuan AD. Dengan persetujuan kaisar, PM Tsuyoshi Inukai lalu mengirimkan pasukan Ekspedisi Shanghai –berkekuatan 40 ribu personil – yang dipimpin Jenderal Yoshinori Shirakawa. Pasukan ini tiba pada akhir Februari.
Kekuatan Jepang menjadi superior setelah itu. Sebuah counter attack yang dilakukan pasukan China pada 1 Maret terbukti gagal memukul pasukan Jepang. Pasukan China itu lalu mundur dari Shanghai sehari sesudahnya karena menipisnya logistik.
Pada 4 Maret, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memerintahkan gencatan senjata kedua belah pihak yang bertempur. Kendati China menaati seruan LBB pada 6 Maret, Jepang terus melakukan ofensif hingga 8 Maret. Setelah pertempuran berhenti, perwakilan LBB tiba di Shanghai dan mendesak Jepang menaati gencatan senjata. Insiden Shanghai akhirnya resmi berakhir setelah kedua belah pihak yang berseteru menandatangani gencatan senjata pada 5 Mei 1932.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar