Pembantaian di Atas Awan
Tragedi berdarah penaklukan Moro oleh serdadu Amerika. Sastrawan Mark Twain mengecamnya sebagai pembantaian yang tak patut dirayakan.
FAJAR belum menyingsing pagi 5 Maret 1905 itu ketika 68 awak Artileri Medan ke-28 selesai menyiapkan empat meriam gunung Vickers-Maxim kaliber 2,95 inci (75 mm) di jalur bukit timur Gunung Bud Dajo. Tak lama kemudian, Kapten Edward Fenton McGlachlin Jr. memberi aba-aba. Keempat moncong meriam itu pun memuntahkan peluru-pelurunya ke kawah Bud Dajo sebagai penanda dimulainya Pertempuran Bud Dajo I.
Selama hampir satu jam empat meriam gunung itu menyalak 40 kali dengan harapan menghancurkan sejumlah cotta (perbentengan kayu dan bambu) suku Moro di Pulau Jolo, Filipina. Salvo meriam itu baru berhenti untuk memberi kesempatan kolom-kolom infantri dan kavaleri Amerika Serikat bergerak mendaki kaki gunung.
“Beberapa jam kemudian sejumlah kolom tiba di Posisi 3, tempat Kapten McGlachlin dan meriam-meriam Vickers-Maxim (kaliber) 2,95 inci mereka berada. Lalu satu meriamnya mengaru ulang posisi di kaki bukit untuk mendukung rencana serangan dari arah timur dengan tembakan dari jarak 780 yard (sekira 713 meter),” tulis sejarawan Inggris Prof. Kim Ati Wagner dalam Massacre in the Clouds: An American Atrocity and the Erasure of History.
Bagi pihak imperialis, peristiwa yang berlangsung kurun 5-8 Maret 1906 itu adalah Pertempuran Bud Dajo I. Presiden Amerika Serikat (AS) Theodore ‘Teddy’ Roosevelt Jr. sampai memberi ucapan selamat kepada Jenderal Leonard Wood selaku komandan operasi merangkap gubernur militer Provinsi Moro atas penaklukan pemberontakan di Kawah Moro itu.
Baca juga: Marsose dari Eropa sampai Perang Aceh
Tetapi bagi sejumlah kalangan yang anti-imperialisme, di Eropa maupun AS, penyerbuan itu tak lebih dari pembantaian. Ya, Pembantaian Kawah Moro. Pasalnya, sebagaimana Pembantaian Benteng Kuta Reh (Bloedbad van Koetoh Reh) oleh serdadu Belanda di Aceh pada 1904, banyak dari korban tewasnya adalah anak-anak dan perempuan.
Sastrawan Mark Twain, yang tergabung di organisasi American Anti-Imperialist League dan acap mengutuk aksi-aksi Amerika sejak Perang Filipina-Amerika (1899-1902), turut mengecamnya. Seiring santernya kabar kemenangan Jenderal Wood di media massa, penulis novel The Adventures of Tom Sawyer (1876) dan Adventures of Huckleberry Finn (1884) itu berkomentar pedas merespon Pembantaian Kawah Moro itu di kolom suratkabar The New York Times, edisi 10 Maret 1906.
“Dalam hal apa itu disebut pertempuran. Sungguh tidak ada kemiripannya dengan pertempuran. Dalam pertempuran lazimnya ada perbandingan lima yang terluka dan satu tewas. Ketika tragedi yang disebut-sebut sebagai pertempuran ini berakhir apa yang terjadi? Tidak ada satupun pemberontak yang masih hidup. Kesimpulannya tampak jelas. Kita (Amerika, red.) menyelesaikan pekerjaan empat hari dengan membantai orang-orang tak berdaya itu. Kegembiraan Presiden (Roosevelt) atas pencapaian hewan peliharaannya, Jenderal Wood, mengingatkan kita pada euforia presidensial sebelumnya,” kata Twain, tersalin dalam otobiografinya yang dituliskan Harriet E. Smith, Autobiography of Mark Twain: Volume 1.
Pertempuran Berat Sebelah
Pasca-Perang Spanyol-Amerika (21 April-13 Agustus 1898) dan Perang Filipina-Amerika (1899-1902), praktis wilayah Kesultanan Sulu di Filipina Selatan direbut Amerika, lalu ditempatkan di bawah Provinsi Moro pimpinan Jenderal Wood. Namun seperti juga di wilayah lain, bara api pemberontakan bergolak dipicu perlawanan Suku Moro yang ada di Pulau Jolo.
Jenderal Wood mengerahkan pasukan hingga ke Gunung Bud Dajo untuk mengejar pemimpin pemberontak bernama Pala. Pala dilindungi beberapa datu (kepala adat), yang kemudian membuat kubu pertahanan dengan membangun barikade-barikade cotta di kaki bukit hingga perbentengan utamanya di sisi barat puncak Kawah Bud Dajo.
“Sekretaris Provinsi Moro, George Langhorne menggambarkan kaum pemberontak itu sebagai ancaman yang mesti dilenyapkan. (Jenderal) Wood juga menegaskan, ‘gejolak di Moro tak lain disebabkan para ulama Arab yang fanatik yang mengganggu di wilayah Timur,’” tulis Joshua Gedacht dalam artikel “Mohammedan Religion Made It Necessary to Fire: Massacres on the American Imperial Frontier from South Dakota to the Southern Philippines” di buku Colonial Crucible: Empire in the Making of Modern American State.
Yang dimaksud Langhorne adalah para datu dan ulama Moro yang menolak cedula tax, pajak sensus yang dikenakan per kepala dengan jumlah tetap terhadap setiap penduduk yang sudah dewasa. Orang-orang Moro menolak dengan dasar Bates Agreement pada 1902 yang melindungi setiap adat-istiadat mereka sekaligus pengecualian pajak cedula.
Maka perlawanan itu timbul. Menurut Wagner, selain Pala, beberapa pemberontak lain seperti Abu Kahal dan Sahiron juga dilindungi para datu di Pulau Jolo. Suku Moro sendiri, yang kemudian membangun kubu pertahanan di puncak kawah Bud Dajo, dikomandoi Datu Adam di cotta sisi selatan, Panglima Imam dan Imam Harib di sisi timur, serta Imam Sanuddin dan Agil di sisi barat.
Kubu-kubu pertahanan di puncak Bud Dajo dipertahankan oleh sekitar 1.000 pejuang Moro. Umumnya mereka bersenjatakan keris, tombak, dan lantaka atau senapan perunggu tua dari abad ke-13. Jelas bukan persenjataan yang imbang jika dibandingkan dengan persenjataan milik Amerika.
Baca juga: Pembantaian di Puri Cakranegara
Jenderal Wood yang mengerahkan setidaknya 750 personel tersebar di satuan-satuan Infantri ke-6, Infantri ke-19, Artileri Baterai ke-28, Kavaleri ke-4, dan Pamayapa (polisi militer lokal Filipina), seperti dicatat Wagner, punya persenjataan jauh lebih top. Tidak hanya senapan-senapan modern dan artileri gunung, pasukan itu juga membawa beberapa pucuk senapan mesin.
“Pada 2 Maret (1906), Wood lebih dulu memerintahkan Kolonel J.W. Duncan menyiapkan pasukan Infantri ke-6 untuk men-sweeping penduduk di sekitar Gunung Bud Dajo. Lalu Duncan dan pasukannya merangsek ke kaki bukit untuk membersihkan sejumlah barikade dan cotta yang hanya terbuat dari nipah dan bambu,” tambah Gedacht.
Sembari mengonsolidasikan segenap pasukan yang dibagi ke beberapa kolom tempur, Wood dan para komandan pasukannya mendirikan kamp untuk mengepung puncak gunung selama beberapa hari. Pada 5 Maret 1906 pagi, pertempuran dimulai dengan menghujani kubu-kubu suku Moro di puncak kawah dengan tembakan meriam-meriam gunung.
“Dari berbagai perbincangan dengan para personel yang terlibat, tampaknya tembakan (meriam) Letnan Mack yang paling efektif menyerang bibir kawah dan sekitarnya. Di antara reruntuhan barikade dan parit-parit pertahanan, terdapat mayat-mayat bergelimpangan dengan anggota tubuh berantakan dan sarat pecahan peluru (meriam),” ungkap laporan Kapten McGlachlin, dikutip Wagner.
Gerak ofensif besar-besaran baru dikerahkan pada 7 Maret pagi. Kendati sempat menemui perlawanan para pejuang Moro, tapi barikade-barikade mereka begitu lemah ketika dihujam serangan-serangan granat. Sekira pukul 7 pagi juga terjadi serangan sporadis sekira 200 pejuang Moro bersenjatakan pedang, tombak, dan keris tetapi begitu mudah dipatahkan pasukan Amerika.
Lantas keesokan harinya, 8 Maret ketika sudah berhasil menarik beberapa senapan mesin ke kaki bukit, pasukan Amerika begitu mudah menumbangkan para pejuang Moro bak domino. Hampir tak ada satupun pejuang maupun penduduk sipil Moro yang tersisa. Lebih dari 900 nyawa lenyap, termasuk di antaranya anak-anak dan perempuan. Sementara pihak Amerika hanya kehilangan 21 serdadunya tewas dan 70 lainnya terluka.
“Women and Children Killed in Moro Battle”, begitu tajuk utama harian The New York Times melaporkan pada edisi 11 Maret 1906. Tak ayal atas desakan Kongres Amerika, Menteri Perang William Howard Taft mengirim telegram untuk meminta klarifikasi Jenderal Wood.
“Wood memberi penjelasan tentang tingginya angka korban anak-anak dan perempuan, di mana ia mengklaim anak-anak dijadikan tameng hidup dan tak sedikit perempuan yang mengenakan busana laiknya laki-laki dan ikut angkat senjata. Sementara Gubernur Jenderal Filipina, Henry Clay Ide, turut mengklarifikasi secara terpisah bahwa anak-anak dan perempuan itu tak sengaja jadi korban dari tembakan-tembakan artileri,” tulis Jack C. Lane dalam Armed Progressive: General Leonard Wood.
Baca juga: Banjir Darah di Puri Smarapura
Terlepas tangan Wood yang berlumuran darah dari 900 nyawa, Presiden Roosevelt memujinya. Dalam sebuah telegram, Presiden Roosevelt memberi ucapan: “Selamat kepada Anda dan para perwira dan prajurit di bawah komando Anda dalam pertempuran yang brilian, di mana Anda menegakkan kehormatan bendera Amerika”.
Walau begitu, pemberontakan suku Moro belum berhenti setidaknya hingga 1913. Ketika Provinsi Moro dipimpin Brigjen John J. Pershing sempat terjadi masa tenang walau akhirnya sempat pecah lagi peperangan di lokasi serupa, Pertempuran Bud Dajo II (18-26 Desember 1911) dan konflik terakhirnya, Pertempuran Bud Bagsak (11-15 Juni 1913) yang mengakhiri pemberontakan Moro.
Kendati begitu, Pembantaian Kawah Moro itu yang paling dikenang hingga era modern. Presiden Filipina (2016-2022) Rodrigo Duterte pernah mengungkitnya lagi menjelang pertemuan dengan Presiden AS Barack Obama pada September 2016, membuat Presiden Obama akhirnya memilih membatalkan jadwal pertemuannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar