A Private War, Perang Batin si Wartawati Perang
Kisah Marie Colvin yang disegani di garis depan. Pantang gentar menyampaikan kebenaran dari daerah perang.
RUANG redaksi The Sunday Times di suatu pagi tahun 2001 ramai dengan rutinitas para awaknya. Suasana tersebut justru bikin koresponden perang Marie Colvin (diperankan Rosamund Pike) uring-uringan. Ia tak betah, sampai menyebutnya “Ruangan Horor”.
Ketersiksaan Marie kian bertambah dengan transisi teknologi yang mulai marak dipakai para jurnalis saat itu. Marie yang masih gaptek merasa keteteran. Ia kadung terbiasa dengan alat perekam, pena, notes, dan telepon satelit untuk mendiktekan beritanya dari lapangan ketimbang membongkar-pasang sambungan internet ke laptopnya. Maka ketika bertemu editor kanal internasional, Sean Ryan (Tom Hollander), Marie memohon untuk kembali ke lapangan ketimbang di belakang meja redaksi. Marie bersikeras ingin terbang ke Sri Lanka lantaran di sana ada perang saudara antara milisi Macan Tamil dengan militer pemerintah yang sudah bertahun-tahun tak terliput media manapun.
Namun sayangnya, setelah berhasil menemui pemimpin pemberontak Macan Tamil di sebuah desa di Vanni, Marie dan beberapa milisi pemberontak yang mengawalnya tepergok patroli pasukan pemerintah. Maria pun berinisiatif menunjukkan jati dirinya sebagai orang Amerika dan wartawan. Dalam momen itulah sebuah RPG (Rocket-Propelled Grenade) meledak di dekatnya hingga membuatnya tumbang, lalu ditawan pasukan pemerintah hingga berakhir di sebuah rumahsakit. Selain mengalami luka di dada, Marie kehilangan mata kirinya.
Baca juga: The Whistleblower yang Membuka Borok PBB
Tetapi kejadian yang membuat Marie mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) itu baru sekadar pembuka drama biopik bertajuk A Private War yang disutradarai Matthew Heineman. Biopik yang merangkum 11 tahun terakhir (2001-2012) aktivitas jurnalistik Marie di sejumlah zona konflik itu diadaptasi dari artikel karya Marie Brenner yang dimuat Vanity Fair, 18 Juli 2012 bertajuk “Marie Colvin’s Private War”.
Scene berganti ke adegan Marie sudah pulih dan sedang meyakinkan Ryan bahwa dia belum akan menanggalkan rompi wartawannya. Meski begitu, baru dua tahun kemudian ia bertugas lagi ke lapangan, tepatnya Irak, karena ia masih butuh waktu untuk mengatasi PTSD-nya yang membuatnya sering bermimpi buruk dan makin kecanduan alkohol.
Meski dicemaskan Rita Williams (Nikki Amuka-Bird) sahabatnya dan David Irens (Greg Wise) mantan suaminya, Marie tetap mengepak alat perekam, pena, buku catatan, telepon satelit dan tak ketinggalan buku Face of War, kumpulan pengalaman wartawati perang Martha Gellhorn yang diperlakukannya sebagai jimat keberuntungan.
Di markas pasukan koalisi di Irak, Marie ditandem dengan wartawan yunior Kate Richardson (Faye Marsay) dan bereuni dengan Norm Coburn (Corey Johnson), fotografer kenalan lamanya sejak konflik di Timor Timur. Kala para wartawan di-briefing tentara Amerika Serikat di markas militer itu, Marie juga bersua bekas perwira artileri Inggris yang beralih jadi fotografer lepas, Paul Conroy (Jamie Dornan).
Saat Richardson dan Coburn digiring mengikuti militer Amerika, Marie mengajak Conroy untuk meliput cerita lain, sebuah kuburan massal rahasia di sebelah barat Baghdad. Keduanya pun menyelinap bersama Mourad (Fady Elsayed), wartawan Irak yang merangkap penerjemah, untuk melacak kuburan massal itu dekat Danau Habbaniyah.
Benar saja. Saat operator ekskavator sewaan mulai menguruk lokasi sesuai informasi yang didapat Marie, ditemukan tulang-belulang yang masih terbungkus pakaian yang membusuk. Mereka adalah 600 tahanan politik yang dibantai rezmi Saddam Hussein sejak 1991 dan baru terungkap pada 2003 itu oleh Marie. Saking herannya, Richardson menghampiri Marie dan bertanya mengapa ia sampai nekat melakukan jurnalisme investigatif itu di tengah situasi yang membahayakan.
“Karena yang kita lakukan adalah draf kasar dari sebuah sejarah. Kau harus bisa menemukan kebenaran dari apa yang kita lihat. Jika kau kehilangan itu, maka kau tak membantu siapapun di sini,” kata Marie.
Baca juga: Sang Samurai Kemanusiaan di Afghanistan
Setelah ke Irak, Marie absen lama dari lapangan. Selain terus mengalami mimpi buruk karena PTSD-nya, dia mulai sering berpesta. Di satu pesta yang diadakan temannya, ia bertemu pebisnis berstatus duda, Tony Shaw (Stanley Tucci). Berbeda dari mantan suaminya, Shaw menganggap tempat Marie adalah di lapangan, bukan di balik meja redaksi.
Marie akhirnya kembali ke zona konflik. Kali ini ke Libya di masa “Arab Spring” (2011). Ia bahkan bisa kembali mewawancarai langsung Muammar Gaddafi sebelum pemimpin flamboyan itu ditemukan tewas di pipa saluran limbah. Tetapi di Libya itu juga mentalnya kembali terpukul usai melihat kawan lamanya, Norm Coburn, tewas.
Perang mulai membuat batinnya berkecamuk. Di satu sisi dia ingin terus memberitakan kebenaran dari zona konflik demi mata dunia bisa terbuka. Di sisi lain, ia makin menderita kecanduan alkohol dan rokok dan dihantui mimpi buruk akibat PTSD. Ia selalu bermimpi melihat seorang gadis Palestina berusia 12 tahun, Safa Abu Seif, yang tampak cantik tapi berlumuran darah.
Bagaimana ia tetap bisa bertugas dalam kondisi trauma dan di bawah dentuman roket dan meriam serta desingan peluru di Homs (Suriah) pada Februari 2012 bersama Conroy? Saksikan kelanjutan A Private War di aplikasi daring Mola TV.
Dramatisasi dan Fakta Historis
Music scoring dipadu efek suara desingan peluru dan gelegar meriam cukup berhasil mengiringi adegan-adegan menegangkan, trauma, dan teror yang mendominasi petualangan Marie di berbagai medan konflik. Perpaduan itu cukup mengaduk-aduk perasaan penonton, bahkan serasa tersayat ketika diperlihatkan suasana horor perang yang dialami karakter Marie dan Conroy melalui kameranya.
Maka ketika dirilis pada 2 November 2018, biopik ini menuai respon positif para kritikus film. Kritikus Neil Pollack sampai merekomendasikan A Private War diputar di kampus-kampus yang punya jurusan jurnalistik. Pasalnya sutradara cukup berhasil menggambarkan bagaimana para jurnalis di garis depan acap bertaruh nyawa demi memberitakan kebenaran di samping menunjukkan betapa kehidupan mereka juga selalu diteror trauma saat kembali ke kehidupan normal.
“Sebagaimana yang digambarkan dengan terang dalam film, Colvin menjadi salah satu orang yang paling kacau hidupnya akibat jalan hidup yang ia pilih sendiri. Colvin melaporkan kebenaran sampai ia terbunuh. A Private War mestinya bisa diputar dan ditonton minimal sekali di sekolah-sekolah jurnalisme,” tulis Pollack di kolom Book and Film Globe, 16 November 2018.
Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak
Namun, seyogyanya penonton mesti bisa menempatkan diri agar tak terjebak ke dalam perasaannya. Pasalnya, biopik ini dikemas dalam drama sehingga sutradara tak sepenuhnya menggambarkan kisah Marie sesuai fakta. Sosok Kate Richardson dalam film, misalnya, itu adalah karakter gabungan para wartawati muda yang mengagumi dan pernah dibimbing Marie. Pun tokoh Norm Coburn, merupakan karakter gabungan para kolega Marie di lapangan yang menjalin persahabatan erat meski kantor berita mereka bersaingan.
“Kami merasa perlu memfiksikan karakter itu demi kebutuhan cerita dan menjaga sensitivitas bagi mereka yang masih berkabung akan kematian Colvin. Ada beberapa karakter juga yang memaksa kami untuk menjadikannya sebagai satu karakter gabungan. Tanpa mengurangi rasa hormat orang-orang yang pernah terlibat, kami juga mesti melakukannya demi durasi dan membuatnya jadi lebih masuk akal,” ujar Heineman, disitat Time, 5 November 2018.
Heineman mencoba memberi gambaran cukup detail lewat pribadi Marie. Hal-hal seperti pakaian dalam mahal La Perla yang acap dikenakan di balik kemeja dan rompi wartawan, atau mantel nilon merk Prada yang dikenakan Marie demi menyamarkan diri di Homs karena pasukan pemerintah Suriah menargetkan wartawan, ditampilkan Heineman dengan perfect.
Namun, Heineman justru “terpeleset” dalam beberapa hal fundamental tentang Marie karena melenceng dari fakta historisnya. Soal pertemuan Marie dengan Conroy, contohnya. Di film, Marie bertemu Conroy saat tiba di Irak pada 2003 dan sejak saat itu Conroy selalu mendampingi Marie di Irak, Libya, hingga Suriah. Faktanya, setelah Marie dan Conroy bertemu di Irak di tahun itu, keduanya hanya beberapa kali bertemu dan sejak saat itu tak pernah lagi bertatap muka hingga tujuh tahun kemudian. Dalam artikelnya di Vanity Fair yang jadi dasar adaptasi film ini, Brenner menceritakan bahwa Marie mendengar nama Conroy karena tertarik akan kelakuan Conroy membuat rakit demi bisa menembus perbatasan Suriah-Irak.
“Selama berhari-hari para jurnalis berkemah, tidur di kursi plastik di kantor konsul terdekat di perbatasan. Itu pertamakali saya melihat sosoknya. Saya melihat dia masuk ke sebuah ruangan tapi kemudian berbalik dan keluar dari pintu,” kata Conroy kepada Brenner.
Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan
Saat itu, medio Maret 2003, banyak jurnalis berusaha mendapatkan visa untuk bisa masuk ke Irak demi meliput Perang Irak (2003-2011). Saking tak sabaran menunggu, Conroy bersama seorang stringer dari The New York Times membuat rakit di kamar hotelnya, lalu meluncurkannya ke sungai dekat hotel. Namun, mereka tepergok tentara Suriah dan baru dilepaskan setelah ditahan beberapa jam.
“Colvin yang mendengar cerita itu lalu mencari saya. ‘Kau membuat sebuah perahu? Saya suka itu! Semua orang di sini terlihat seperti mayat tak berdaya. Mari berlayar!’” kata Conroy mengenang obrolan pertamanya dengan Marie.
Setelah itu mereka hanya melanjutkan obrolan sembari menenggak alkohol di bar hotel dan baru bertemu lagi tujuh tahun kemudian. Baru pada 2011 Marie dan Conroy bekerjasama sebagai koresponden-fotografer lepas meliput Arab Spring di Misrata, Libya.
Baca juga: Perempuan di Banyak Palagan
Fakta lain yang juga melenceng adalah kebiasaan merokok Marie. Sampai menjalani tugas terakhir pada masa hidupnya di Homs pada 2012, Marie digambarkan masih kerap menyulut rokoknya sembari menulis berita. Padahal, faktanya Conroy mengklaim bahwa Marie sudah berhenti merokok penuh saat masih di Libya setahun sebelumnya.
“Di Libya kami terpaksa diet. Tidak ada roti, tidak ada minuman keras. Terkadang hanya ada kurma kering dan tuna kaleng. Lebih sering Marie bertahan dengan (keripik) pringles, air mineral, dan pernah satu kali dia mendapatkan telur dari toko. Marie benar-benar berhenti merokok. Dia sudah kehilangan semua giginya. Setiap kali saya mau menyalakan rokok, dia akan bilang: ‘Hembuskan asapnya untuk aku, Paul. Aku sangat merindukannya’,” imbuh Conroy.
Trauma Gadis Palestina
Kisah Marie sedikit-banyak menyerupai kisah idolanya, Martha Gellhorn. Di mana ada perang, di situlah Gellhorn berada. Itu membuat Marie selalu membawa dan menjaga buku Face of War karya Gellhorn di setiap tugas lapangannya. Marie mengikuti jejaknya dengan jadi koresponden konflik di Timur Tengah pada 1986 serta Chechnya, Kosovo, Sierra Leone, Zimbabwe, dan Timor Timur pada dekade 1990-an.
Namun, pengalaman-pengalamannya itu hanya disinggung sedikit dalam film A Private War. Pasalnya, sang sutradara ingin memfokuskan pada 11 tahun terakhir Marie saja, dari Sri Lanka hingga Suriah.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Tetapi ada satu trauma yang senantiasa ditampilkan Heineman, yakni Marie dalam mimpi buruknya selalu dihantui ingatan akan kematian seorang gadis Palestina. Kendati dalam film identitas gadis itu diganti dengan dinamai Safa Abu Seif dan berusia 12 tahun, Marie melihatnya sendiri ketika nyawanya melayang di kamp pengungsian di Beirut, Lebanon.
“Safa Abu Seif, gadis Palestina 12 tahun, tewas dengan timah panas menembus jantungnya. Aku menyaksikan bagaimana orangtuanya terus memeluk jasadnya yang berlumuran darah. Dia mengenakan anting mutiara. Mungkin dia mengira bisa terlihat cantik hari itu,” kata Marie dalam satu adegan.
Gadis bernama asli Haji Achmed Ali dan berusia 22 tahun itu tewas dalam sebuah baku tembak di Kamp Pengungsi Bourj el-Baranjneh, Beirut Barat pada 1987. Marie melihatnya saat bersama fotografer Tom Stoddart meliput Perang Saudara Lebanon (1975-1990) untuk United Press International mulai medio April 1987.
Menurut Lindsey Hilsum dalam In Extremis: The Life of War Correspondent Marie Colvin, momen getir itu terjadi pada pagi 5 April 1987 kala Achmed Ali membeli bahan makanan dan persediaan air minum untuk keluarganya di luar kamp. Saat itu sedang terjadi baku tembak antara milisi Amal dengan PLO. Akibatnya, Achmed Ali harus berlari menghindari desingan peluru untuk bisa kembali ke kamp dengan menenteng belanjaannya. Nahas, dua butir peluru penembak runduk milisi Amal menembus kepala dan dadanya menjelang gerbang kamp. Saat Achmed Ali tumbang, nyaris tiada seorangpun yang berani mengevakuasi tubuhnya yang berlumur darah dan debu.
“Tetapi ada dua perempuan pemberani yang berlarian membawa tandu sambil melindungi diri dari tembakan untuk mengambil (tubuh) Ali dari tanah dan membawanya ke tempat aman. Dia (Ali) sempat terjatuh dari tandu dan kemudian dibawa ke kamp dengan diseret. Mereka adalah perempuan yang jengah dengan para lelaki penakut,” ujar Marie dalam laporannya yang dikutip Hilsum.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Ali langsung dibawa ke klinik di dalam kamp namun nyawanya tak terselamatkan. Marie menyaksikan bagaimana orangtuanya sedih saat jasad Ali dimandikan sebelum dimakamkan.
“Walau rambutnya masih berlumur darah, Haji Achmed Ali kini terlihat lebih muda. Ia sedang dimandikan. Tubuhnya begitu lembut dan cantik. Dia mengenakan sepasang anting emas kecil. Tampak seseorang mencoba membuka kepalan tangannya yang menggenggam butiran debu berlumur darah, sisa rasa sakit yang jadi saksi bisu menjelang ajalnya,” sambung Marie.
Bersama Marie, Stoddart turut menjadi saksi. Lensa kameranya bahkan mengabadikan prosesi sejak Achmed Ali masih coba diselamatkan tim dokter sampai dinyatakan tewas. Film hasil rekaman itu disimpan Marie dalam sebuah kaleng yang disembunyikannya di balik pakaian dalamnya bersama dengan surat Dr. Pauline Cutting, dokter Inggris yang ingin minta ratu Inggris ikut bertindak.
Film dan surat itu lantas dibawa Marie dan Stoddart keluar Beirut menggunakan feri menuju Siprus. Baru ketika di Siprus, ia mengirim berita via faksimil dan rekamannya dikirimkan kemudian. Kisah itu lantas dijadikan headline di suratkabar The Sunday Times dengan tajuk “Snipers Stalk Palestinian Women on the Path of Death”.
Deskripsi Film:
Judul: A Private War | Sutradara: Matthew Heineman | Produser: Matthew Heineman, Matthew George, Charlize Theron, Marissa McMahon, Basil Iwanyk | Pemain: Rosamund Pike, Jamie Dornan, Tom Hollander, Stanley Tucci, Faye Marsay, Corey Johnson, Nikki Amuka-Bird, Greg Wise | Produksi: Acacia Filmed Entertainment, Thunder Road Pictures, Denver and Delilah Productions | Distributor: Aviron Pictures | Genre: Drama Biopik | Durasi: 110 menit | Rilis: 2 November 2018, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar