Perempuan di Banyak Palagan
Hasrat berkelana dan menuliskan tempat-tempat yang dikunjungi membuatnya terjun ke berbagai palagan.
PURWOKERTO, 1946. Keriuhan mewarnai stasiun kereta. Beberapa pemuda 12-an tahun menenteng bermacam senjata: pisau, pedang, bambu runcing, pistol atau senapan. Ada juga yang membawa batu. Wajah mereka tak ramah. Di pakaian mereka tertempel emblem merah-putih.
“Sepanjang pagi itu kami tak melihat derai tawa ataupun kegembiraan, sungguh membingungkan, karena kami sering mendengar bahwa orang Jawa begitu periang dan sederhana,” demikian pengamatan Martha Gellhorn dalam bukunya The Face of War.
Waktu itu Gellhorn, koresponden mingguan Collier’s, berkunjung ke Jawa untuk meliput perang. Toh dia kagum dengan semangat dan persatuan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Dia juga memuji rasa kemanusian orang Indonesia yang tak mengganggu tawanan Belanda. “Orang Indonesia menyalami mereka dengan baik dan bersahabat, memberikan mereka buah dan bunga serta pakaian hingga uang,” tulisnya.
Di Surakarta, Gellhorn mengikuti rapat terbuka di mana Sukarno berpidato di depan para pelajar, yang begitu antusias menyimak pidato itu. Gellhorn mengakui, “Dia orator besar.” Dia jadi ingat ketika Hitler berpidato di depan anak-anak.
Lahir di Saint Louis, 8 November 1908, Gellhorn datang dari keluarga makmur. Ayahnya, George Gellhorn, seorang ginekolog sedangkan ibunya, Edna Fischel, aktivis yang memperjuangkan hak pilih perempuan. Gellhorn sempat masuk kampus elit Bryn Mawr College, Pennsylvania, tapi tak tamat. Dia memilih jadi penulis karena berhasrat mengunjungi dan menulis banyak tempat di dunia.
Dia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah mingguan New Republic. Secara berkala dia mengirimkan artikel. Tak lama kemudian dia hijrah ke Paris dan bekerja untuk United Press dan St. Louis Post Dispatch. Selain menulis, Gellhorn aktif dalam gerakan perdamaian, yang kemudian dia tuangkan dalam novelnya, What Mad Pursuit (1934).
Setelah sempat menikah dengan ekonom Bertrand de Jouvenel, Gellhorn memutuskan pulang ke Amerika. Dia lalu bekerja pada proyek penulisan dampak Depresi Besar di Amerika Serikat. Hasilnya menarik perhatian banyak orang. Eleanor Roosevelt, istri Presiden Franklin Delano Roosevelt, menjadikan tulisan itu sebagai pengantar bukunya, My Day.
Pada 1939, di Key West, Florida, Gellhorn bertemu dengan novelis Ernest Hemingway. Mereka bertemu kembali setelah keduanya meliput Perang Saudara di Spanyol. Hemingway meliput untuk North American Newspaper Alliance, yang kemudian juga menghasilkan novel For Whom The Bell Tolls. Sementara Gellhorn meliput untuk Collier’s dan menjadi awal kariernya sebagai koresponden perang terkemuka. Sejak itu, selain menulis novel, Gellhorn mulai melaporkan situasi perang di berbagai negara.
Rambut blonde, kaki jenjang, dan semangat petualangannya memikat hati Hemingway. Mereka berpacaran, sementara Hemingway masih dalam proses perceraian dengan istrinya. Setelah meliput Praha, Helsinki (Finlandia), dan berkeliling Eropa, Asia, maupun Pasifik selama Perang Dunia II, Gellhorn akhirnya menikah dengan Hemingway pada 20 November 1940. Perkawinan mereka tak berjalan baik. Hemingway menganggap Gellhorn terlalu dominan dan menjulukinya “UC” (Unwilling Companion) atau “tak mau berteman”.
Setelah menikah, Gellhorn mendapat tugas liputan dari Collier’s ke China. Hemingway ikut. Tak jelas apakah Gellhorn tahu, selain meliput, “Hemingway juga menerima tugas mata-mata untuk pemerintah AS,” tulis Peter Moreira dalam Hemingway on the China Front: His WW II Spy Mission with Martha Gellhorn. Selepas dari China, giliran Gellhorn mengikuti Hemingway, yang jadi voluntir untuk angkatan laut AS, ke Havana, Kuba.
Tinggal beberapa saat, Gellhorn berangkat ke Italia pada 1943 untuk memulai liputan Perang Eropa. Hemingway berusaha menghalangi, mengatakan apakah Gellhorn memilih pasangannya atau berpetualang liputan. Gellhorn tetap saja meliput Perang Eropa, dari Kampanye Semenanjung Italia, D-Day atau pendaratan pasukan Sekutu di Normandia pada 6 Juni 1944, kamp konsentrasi Dachau, hingga Pertempuran Bulge di Belgia.
Selama meliput, Gellhorn tak segan ikut pasukan bergerak, makan ransum beku, atau tidur di tanah. Penguasaan bahasa sangat membantu, sehingga dia bisa mendapatkan cerita dari sumber pertama. “Jutaan pembaca Amerika, lelaki maupun perempuan, mempelajari detail tragedi terbesar Eropa darinya,” tulis Doris Weatherford dalam American Women During World War II: An Encyclopedia.
Pascaperang, Gellhorn bercerai dari Hemingway –kisah cinta mereka baru-baru ini diangkat ke layar lebar dengan judul Hemingway & Gellhorn. Kelak dia ingin dilupakan sebagai istri ketiga Hemingway. Gellhorn kemudian menikah lagi dengan T.S. Matthews, editor Time, tapi juga tak bertahan lama.
Dia masih terlalu asyik dengan kerja jurnalistiknya. Sebagai koresponden Atlantic Monthly, dia mengunjungi Jawa. Dia sempat mengikuti rombongan Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke ibukota Yogyakarta. Kumpulan reportase perangnya terangkum dalam buku The Face of War (1959), yang oleh The New York Times disebut sebagai “buku antiperang yang brilian”.
Gellhorn bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia benci kolonialisme, apapun bentuknya. Dalam perjalanan menuju Yogya, dia bercakap dengan penyair bernama Johnny –yang menurut dugaannya adalah Chairil Anwar, anak didik dan kerabat jauh Sjahrir–, yang bertanya apakah rakyat Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya? Dia menjawab: pasti. Jawaban itu bukan hanya untuk menghibur si penanya. “Jelas, karena tak akan ada imperium kolonial lagi di manapun. Tak seorang pun yang mengakuinya lebih jelas dibandingkan orang-orang Belanda di Jawa,” tulisnya dalam The Face of War.
Setelah itu dia tinggal di Kenya, mengikuti transisi negeri itu dari sebuah koloni ke negeri merdeka. Menyusul kemudian Perang Enam Hari antara Arab-Israel, Perang Vietnam, dan Uni Soviet. Reportase terakhirnya adalah Perang Panama.
Martha Gellhorn menghabiskan masa tuanya di London. Kanker membuatnya buta. Pada 1998 dia meninggal setelah overdosis. “Tugas seorang jurnalis adalah menghadirkan berita, menjadi mata bagi nurani manusia,” tulisnya dalam pengantar The Face of War.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar