Masuk Daftar
My Getplus

Mengabadikan Kenangan Lewat Foto Kematian

Memotret orang meninggal menjadi kebiasaan populer bagi masyarakat Eropa di era Victoria. Jenazah dihias sedemikian rupa untuk dipotret sebagai kenang-kenangan bagi mereka yang ditinggalkan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 22 Jan 2025
Foto kematian Kaisar Jerman, Frederick III, di tahun 1888. (Reichard & Lindner/Wikimedia Commons).

TAK ada yang lebih dirindukan daripada sesuatu yang tidak bisa lagi dimiliki, dan tidak ada kehilangan yang lebih terasa daripada yang disebabkan oleh kematian.

Berkabung merupakan cara lazim mengekspresikan rasa kehilangan atas kematian orang yang dikasihi. Bagi mereka yang ditinggalkan, kematian pasangan, anggota keluarga atau teman dekat terasa lebih menyesakkan karena menciptakan kekosongan di tengah upaya melanjutkan hidup dan berusaha mengisinya dengan kenangan. Dalam kondisi seperti ini, foto adalah representasi dari apa yang tidak ada.

Menurut Racheal Harris, Jack Denham, Julie Rugg, dan Ruth Penfold-Mounce dalam Photography and Death: Framing Death Throughout History, penemuan fotografi berperan penting dalam mengabadikan ingatan. Foto memiliki makna penting apabila dilihat dalam konteks berkabung, karena foto menangkap kemiripan yang lengkap dari orang yang sekarang tidak ada. Kendati melihat gambar yang mirip dapat memicu rasa sakit karena perasaan kehilangan, namun dengan memiliki fotonya, mereka yang ditinggalkan dapat memastikan bahwa seseorang yang telah tiada tidak akan hilang dari ingatan, dan tetap dapat terhubung dengan orang tersebut meski telah tiada.

Advertising
Advertising

Foto kematian atau fotografi postmortem merupakan upaya mereproduksi ingatan tentang seseorang yang telah tiada secara artistik. Pemotretan ini populer di kawasan Eropa dan wilayah koloni Inggris pada abad ke-19. Biaya produksinya yang mahal membuat foto kematian umumnya dilakukan oleh kalangan menengah atas. Namun, seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap foto kematian, yang mendorong munculnya juru foto yang menawarkan jasa memotret orang yang telah tiada, harga pemotretan menjadi bervariasi sehingga terjangkau oleh kalangan menengah dan bawah.

Baca juga: 

Menggali Sejarah Pemakaman

“Pada 1850, hampir semua keluarga di era Victoria yang ingin memiliki foto kematian dari orang yang mereka sayangi dapat membayar sekitar 25 sen untuk sebuah daguerreotype atau foto,” tulis Beth Ann Guynn dalam “Postmortem Photography”, termuat di Encyclopedia of Nineteenth-century Photography.

Pada pertengahan abad ke-19, perhatian terhadap kematian begitu populer di Eropa dan Amerika. Kematian dipandang sebagai kejadian alamiah yang tak terelakkan dan siklus hidup paling utama, baik secara romantis maupun realistis. Tingginya angka kematian, terutama bayi dan anak-anak, membuat masyarakat terbiasa dengan kematian. Mereka menganggap kematian adalah kehendak Tuhan. Umumnya kematian terjadi di rumah, sehingga perasaan kehilangan ditanggung bersama oleh seluruh anggota keluarga sebagai peristiwa yang harus dicatat dan dikenang. Atas dasar ini, foto kematian berperan penting dalam mengekspresikan rasa kehilangan akibat kematian.

Foto-foto kematian di masa-masa awal kemunculannya sangat menonjolkan sisi personal. Kamera seringkali memotret kematian yang tidak akan diperlihatkan dalam kehidupan. Sementara itu, masuknya fotografer ke dalam ruang yang sangat pribadi, menunjukkan statusnya, bersama dengan dokter dan pendeta, sebagai tokoh penting dalam proses kematian. “Perlu diingat bahwa sepanjang abad ke-19, kesedihan merupakan emosi publik yang dapat diterima, menjadi janda dipandang sebagai peran wanita seumur hidup, dan diskusi tentang kematian serta orang yang telah meninggal dianggap sebagai topik pembicaraan yang sopan di kalangan masyarakat,” tulis Guynn.

Sejalan dengan meningkatnya perpindahan masyarakat ke wilayah yang jauh, seringkali membelah lautan, foto kematian menjadi semakin penting dalam rangkaian proses pemakaman. Perjalanan yang memakan waktu lama membuat anggota keluarga tak dapat menghadiri upacara pemakaman kerabatnya. Sebagai gantinya, foto kematian akan dikirim untuk kenang-kenangan terakhir bagi mereka yang ditinggalkan.

Selain itu, fotografi sebagai teknologi mutakhir yang mahal pada abad ke-19 membuat tak semua orang pernah mengabadikan potret dirinya semasa hidup. Oleh karena itu, foto kematian menjadi satu-satunya kenang-kenangan yang dapat menampilkan sosok yang telah tiada dengan begitu mirip. Adrian Mackinder menulis dalam Death and the Victorians: A Dark Fascination, atas dasar ini para fotografer berupaya membuat subjek terlihat alami, hidup, dan sehat. Orang yang sudah meninggal dapat disandarkan di kursi, dipegang oleh perawat, diposisikan sedemikian rupa agar terlihat rileks dan dalam keadaan tenang yang alami, tidak kaku, dan asing seperti yang biasanya terlihat pada mayat. Untuk memungkinkan hal ini, periode waktu kematian juga menjadi faktor yang sangat penting.

Foto kematian bayi dengan gaun bersulam yang disandarkan di kursi sekitar tahun 1860 dan 1880. Tingginya angka kematian bayi dan anak-anak di abad ke-19, mendorong sejumlah orang tua menyewa jasa fotografer untuk melakukan pemotretan bersama putra-putri mereka yang telah meninggal. (Ambrotype/Tintype filing series (Library of Congress)).

“Akan jauh lebih meyakinkan dan menarik jika foto kematian diambil hanya beberapa jam setelah kematian seseorang, daripada setelah jangka waktu yang cukup lama ketika tubuh mulai membusuk. Dan jika orang tersebut meninggal karena trauma atau kecelakaan yang menyebabkan kerusakan pada wajah atau tubuh, maka hal ini akan membuat pekerjaan mengambil foto menjadi lebih sulit lagi,” tulis Mackinder.

Baca juga: 

Naluri Mengubur Mayat

Terkadang orang yang masih hidup juga ikut berpose bersama orang meninggal untuk menciptakan potret keluarga yang lebih menyentuh. Hal ini seakan dilakukan untuk menciptakan ilusi bahwa semua orang dalam foto itu masih hidup dan sehat. Guna meminimalkan kontras, tidak jarang orang yang masih hidup sengaja dibuat pucat dan tatapan matanya terlihat kosong, sementara fitur-fitur pada tubuh orang yang telah meninggal diatur sedemikan rupa untuk membuatnya tampak hidup. Hal ini dilakukan dengan berbagai teknik, mulai dari memposisikan jenazah di dekat jendela agar cahaya alami menyinari dan mencerahkan penampilannya, atau menggunakan trik tata rias wajah; menutupi bagian pipi yang cekung, serta menambahkan rona dan warna pada bibir yang pucat. Sementara itu, anak-anak dan bayi yang meninggal biasanya digendong oleh orang tua mereka saat pemotretan, seolah-olah mereka sedang tidur nyenyak.

Metode paling rumit dalam memotret orang meninggal adalah menggunakan peralatan khusus, kerangka atau tali pengikat yang menopang jenazah dalam posisi berdiri. Beberapa pihak berpendapat penggunaan peralatan untuk menopang jenazah yang akan difoto hanya mitos belaka. Namun, dalam beberapa bukti yang terdokumentasi, berbagai upaya dilakukan untuk membuat orang meninggal tampak hidup dalam foto-foto kematian.

Di sisi lain, bagaimana tubuh orang meninggal atau hampir meninggal ditampilkan dalam gambar akan bervariasi, tergantung pada usianya dan kemakmuran keluarganya. Menurut Harris, dkk., karena kebanyakan foto kematian diambil di rumah, tempat tidur akan dilapisi sprei berwarna putih polos, terkadang dengan hiasan renda. Penggunaan linen berkualitas tinggi yang dibeli secara khusus sebagai persiapan menjelang kematian merupakan tanda penghormatan.

Pakaian juga dibeli atau dipersiapkan. Kendati sekarang telah umum menghias orang meninggal dengan pakaian kesukaannya, di masa lalu, pakaian terbaik miliknya ditetapkan untuk pemakaman. Jenazah akan ditampilkan dengan pakaian lengkap (terkadang mengenakan sepatu), dengan mata dan mulut tertutup rapat. Topi digunakan untuk menutupi rambut yang menipis atau rontok. Jika tubuh telah menderita akibat sakit yang lama, linen akan diselipkan ke dagu, sehingga hanya fitur wajah yang terlihat. Pada jenazah yang kerusakannya terlihat jelas, bunga-bunga diletakan di sekitar wajah, yang menciptakan kontras dengan penampilan yang tirus. Jenazah juga dimandikan dan rambutnya ditata dengan gaya sesuai masanya.

Foto kematian seorang wanita muda yang tampak mengenakan luaran seperti blazer dan sarung tangan. Rangkaian bunga tampak menghiasi bagian leher wanita yang terlihat seperti tengah tertidur itu. (Ambrotype/Tintype filing series (Library of Congress)).

Dari perspektif estetika, pencahayaan yang lembut diadopsi sebagai cara menutupi tahap awal pembusukan dan mengaburkan tampilan kurus yang mungkin terjadi akibat penyakit berkepanjangan. Pencahayaan yang lembut juga memberikan kesan seolah-olah berada dalam mimpi atau suasana romantis. Suasana rumah yang intim, khususnya kamar tidur atau taman, juga penting untuk menciptakan suasana damai.

Baca juga: 

Transportasi Publik Buat Angkut Mayat

“Taman bahkan secara khusus mengingatkan pada kembali ke alam atau surga, yang berkaitan erat dengan pandangan mengenai Taman Firdaus dalam ajaran agama. Pada contoh lain, di mana jenazah difoto di dalam studio, terlihat jelas bahwa latar belakangnya telah dibuat agar tampak seolah-olah subjek berada di dalam rumah,” tulis Harris, dkk.

Meski cukup populer di kalangan masyarakat Victoria pada abad ke-19, tak semua orang memiliki sentimen positif terhadap foto kematian. Mereka yang kontra berpandangan bahwa pengambilan foto kematian justru memberikan trauma kepada mereka yang terlibat karena dianggap terlalu mengerikan.

Popularitas foto kematian mulai menurun di abad ke-20. Fasilitas medis yang lebih baik dan penurunan angka kematian bayi secara bertahap berperan besar sebagai faktor pendukung. Selain itu, kematian berpindah dari rumah ke rumah sakit dan fasilitas perawatan, di mana para dokter dan tenaga medis profesional tak lagi memiliki kesabaran terhadap kamera yang mengganggu. Pada saat itu, biaya pembuatan foto juga semakin murah sehingga foto-foto orang yang masih hidup sudah cukup banyak dan tak perlu lagi mengambil foto orang meninggal.*

TAG

fotografi

ARTIKEL TERKAIT

Sejak Kapan Orang Tersenyum saat Difoto? Pesona dari Desa Penglipuran Para Menteri Hobi Fotografi Merekam Dua Sisi Pematangsiantar Kisah Sukarno dan Planetarium Pewarta Foto Historia.id Meraih Penghargaan APFI Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak” Jejak Bung Karno di Jakarta Warna-warni Mudik Lebaran Tahun Ini di Jakarta Pewarta Foto Historia Mendapat Penghargaan APFI