Ada pemandangan unik dalam gelaran KTT G20 yang berlangsung di Bali kemarin. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono tampak membaur dengan kalangan wartawan. Sambil menenteng kamera, Basuki beraksi seperti layaknya jurnalis foto sungguhan.
Menteri Basuki terlihat memotret aktivitas Presiden Joko Widodo saat persemian dan pembibitan pohon mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai. Jauh dari lazimnya kesan seorang menteri, Basuki mengenakan topi secara terbalik. Bersama rombongan wartawan, Basuki ikut sibuk mengeker mata lensa guna mengabadikan momentum. Sesekali ia berbincang dengan pemimpin negara anggota G20, seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri India Shri Narendra. Penampilan sang menteri cukup mencuri perhatian.
Basuki memang dikenal punya hobi fotografi. Selain fotografi, ia juga berbakat di bidang musik, yakni sebagai penggebuk drum. Menteri yang punya keahlian bermusik mengingatkan kita pula pada Njoto, menteri negara pada penghujung masa kepemimpinan Presiden Sukarno. Njoto terampil memainkan alat musik gesek berupa biola dan selo.
“Bung Karno senang dengan menterinya yang punya kepekaan terhadap seni dan musik,” ujar mantan wartawan Harian Rakjat dan sastrawan Martin Aleida suatu ketika kepada Historia.
Baca juga: Martin Aleida, Sang Peliput Istana
Kembali ke soal hobi fotografi. Jauh sebelum Menteri Basuki, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja (menjabat 1957-1959) juga memiliki hobi fotografi. Negarawan yang berasal dari kalangan teknokrat ini telah bersentuhan dengan dunia fotografi sejak muda. Hobi itu terus dilanjutkan Djuanda meski telah menjabat menteri di berbagai kementerian (1946-1959), kemudian perdana menteri, bahkan menteri pertama (1959-1963). Jabatan terakhir sebagai menteri pertama itu diemban Djuanda hingga wafatnya.
“Di rumah Jalan Diponegoro 8, Ayah mempunyai kamar gelap untuk mencuci dan mencetak foto,” kata Awaloeddin Djamin dalam biografi Ir.H. Djuanda: Negarawan, Administrator, Teknokrat Utama. Awaloedin Djamin merupakan menantu Djuanda sekaligus Kapolri periode 1978-1982.
Di era Orde Baru, tersebutlah nama perwira Angkatan Udara Marsekal Madya Boediardjo. Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan I ini pun menggandrungi hobi fotografi. Kemampuan fotografinya bahkan setara profesional.
Baca juga: Jejak Revolusi dalam Fotografi
Boediardjo dalam otobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi mengatakan belajar fotografi sejak duduk di bangku sekolah MULO (setara SMP) dari seorang pemilik studio foto kebangsaan Jepang. Sebelum menekuk Belanda pada 1942, orang-orang Jepang memang sudah banyak membuka studio foto maupun toko kelontong di Pulau Jawa dan Sumatra. Melalui itulah Jepang menempatkan mata-matanya untuk menguasai negeri koloni Hindia Belanda.
“Saya pernah punya cita-cita memiliki studio foto. Mungkin karena studio fotonya orang Jepang yang menjadi guru fotografi saya waktu masih sekolah di MULO, kok tampak laris dan banyak langganannya,” kenang Boediardjo.
Impian Boediardjo memiliki kamera terwujud untuk kali pertama ketika dirinya tugas pendidikan di Royal Air Force (RAF) Staff College di Andover, Inggris pada 1953. Ia berhasil membeli kamera bekas merek Leica. Dengan tustel itulah Boediardjo melampiaskan kegemarannya membidik objek foto. Ia selalu menggantung Leica kesayangannya itu sebatas dada, menjadikannya tampak gagah.
Baca juga: Peran Fotografer dalam Mengabadikan Proklamasi Kemerdekaan
Di sela-sela kesibukannya jadi pejabat negara, kamera tak pernah lepas dari Boediardjo. Apakah itu ketika menjabat menteri, duta besar, hingga masa pensiunnya. Hasil jepretan fotonya cukup apik, meliputi berbagai macam objek, termasuk potret dirinya sendiri. Karya foto Boediardjo masih tersimpan di Galeri Boediardjo yang berlokasi di Desa Sawah Baru, Jombang, Ciputat. Katalog fotonya pun sudah dibukukan dalam Fotografi Boediardjo: Jeli, Peduli, dan Setetes Seni yang disunting kurator seni rupa Agus Dermawan T.
“Kemanapun pergi, Pak Boed selalu membawa kamera,” ungkap Agus dalam pengantar Fotografi Boediardjo. Ia menyebut Boediardjo penganut “Golden Rule” dalam fotografi.
Bagi Boediardjo, menyibukkan diri dengan menjalankan hobi berarti memperpanjang umur. Dan ia menemukan itu pada fotografi. Boediardjo wafat pada 15 Maret 1997 dalam usia lanjut 75 tahun.
Baca juga: Tahi Gajah Pangeran Kamboja