Martin Aleida, Sang Peliput Istana
Bagaimana seorang wartawan muda menjadi saksi sejarah kemanusiawian sosok Sukarno dari jarak dekat.
Suatu hari yang tidak biasa terjadi di redaksi Harian Rakjat – suratkabar partisan milik PKI. Njoto, wakil ketua CC PKI (orang ketiga dalam partai) datang. Hari itu, Njotolah yang memimpin rapat redaksi. Sementara itu, wartawan muda bernama Nurlan duduk menyaksikan dari belakang.
“Tiba-tiba, dia (Njoto) mengatakan yang akan menggantikan Anwar Dharma adalah Nurlan. Semua orang melihat ke belakang, kepada saya,” tutur Martin Aleida dalam dialog sejarah Historia “Kisah Wartawan Zaman Bung Karno”, 23 Juni 2020.
Nurlan adalah nama kecil Martin Aleida. Ketika ditunjuk Njoto, usianya kala itu belum genap 22 tahun. Posisi baru yang akan dilakoninya cukup mentereng pada zamannya: menjadi wartawan Harian Ra’jat yang khusus bertugas di Istana Negara untuk meliput kegiatan Presiden Sukarno.
“Saya tidak tahu mengapa saya dipilih,” kata Martin, “mungkin karena Sukarno suka dengan yang muda.“
Anak Njoto
Awal 1965, Martin mulai bertugas meliput ke Istana. Jas dan dasi merupakan keharusan bagi wartawan Istana. Martin masih ingat jas coklatnya ditempah di penjahit Lioeng di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Wartawan muda kelahiran Tanjung Balai itu sempat grogi ketika menghadap Komandan Seksi 1 Tjakrabirawa Mayor Eli Ebram untuk mendapatkan kartu tanda pengenal. Dengan itulah, wartawan punya akses meliput ke Istana.
Suatu pengalaman berkesan bagi Martin saat dirinya menjadi satu dari sedikit wartawan yang diundang Bung Karno dalam jamuan minum teh di Istana Merdeka. Pada pagi itu, Bung Karno hanya mengenakan kaos oblong dan sandal pantofel coklat namun tanpa peci. Sangat sederhana penampilan dari orang nomor Republik Indonesia itu.
Pada saat itu, Martin dapat menyaksikan Sukarno dari jarak dekat. Cukup dekat untuk mengamati kuku jempol Sukarno yang panjangnya setengah milimeter. Tepat di sebelah Martin, ada seorang perwira muda perempuan dari Angkatan Laut yang mengajaknya berbincang. Saat berbincang, melintaslah Bung Karno. Dengan ramah Bung Karno menyapa.
“Hey, sudah kenal lama ya?” tanya Bung Karno sambil tersenyum.
“Tidak Pak, dia nih yang terus menerus mengajak saya ngobrol,” jawab Martin.
“Korannya apa?” kata Bung Karno.
“Harian Rakjat,” jawab Martin agak gentar.
Sukarno pun sumringah seraya berkata, “Wah… anaknya Pak Njoto yaa!”
Orang-orang pun tertawa. Seakan-akan, Bung Karno memperkenalkan Martin dengan wartawan yang lain. Saat itu, tampak ajudan-ajudan utama Sukarno seperti Letkol (Pol) Sumirat, Letkol (Pol) Mangil Martowidjojo, dan Letkol (AL) Bambang Widjanarko.
Baca juga:
Meski bersua dengan wartawan, Bung Karno tidak sungkan membicarakan banyak hal. Mulai dari kegemarannya makan masakan Tionghoa di kawasan Glodok, hingga soal Musso, gembong PKI Madiun. Sebagaimana dituturkan Martin, Bung Karno menceritakan bahwa di lengan Musso ada cacat kena tikam pisau karena suka berkelahi. Sukarno tentu kenal baik dengan Musso sebab keduanya pernah tinggal di pondokan Haji Tjokroamnito di Surabaya.
“Pembicaraan itu begitu encer dan menyenangkan,” kenang Martin.
Sukarno yang Manusiawi
Jauh dari kesan angkuh, di mata Martin, Bung Karno adalah pribadi yang sangat hangat kalau didekati. Memori Martin terngiang pada peristiwa peringatan dasawarsa Konferensi Asia Afrika pada April 1965. Saat itu di halaman Istana, Bung Karno sedang mengantar pemimpin Kamboja, Pangeran Norodom Sihannouk menuju mobilnya. Ketika Bung Karno naik kembali ke Istana, Martin telah menunggu di tangga atas sambil mengajukan tanya, apakah Pangeran Sihounuk akan datang kembali. Tanpa disangka-sangka, Bung Karno menanggapinya dengan antusias, “Oh iya, iya. Datang lagi ya,” katanya
“Itu suatu keberanian yang hebat karena wartawan yang lain tidak ada yang melakukan itu,” ujar Martin.
Baca juga:
Bung Karno yang gagah ketika berpidato itupun bisa juga lelah. Martin menangkap momen itu ketika dalam suatu acara peresmian, Bung Karno menyampaikan pidato. Ketika selesai pidato, Bung Karno masih melihat orang-orang disekelilingnya masih berdiri. Barangkali karena sedang capek atau ada masalah, Bung Karno menghardik.
“Kenapa masih berdiri semua? Seperti botol. Bubar!” seru Bung Karno.
Martin juga punya pengalaman dalam suatu acara, Bung Karno tiba-tiba nyeletuk, apakah para wartawan sudah makan atau belum? Sukarno pun dengan senang hati mengajak wartawan makan bersama ala prasmanan. Barangkali menurut Martin, hanya di masa Sukarno-lah, wartawan bisa makan bersama presiden nyaris tak berjarak.
Sukarno pun merupakan sosok terbuka tanpa kehilangan sisi-sisi manusiawinya. Ada suatu kebiasaan di Istana saban kali Bung Karno menyampaikan wejangannya yakni selalu menjadikan pertunjukan kesenian sebagai acara penutup. Dan di sanalah Bung Karno kerap larut dalam tarian lenso.
Baca juga:
Sekali wakti ada kejutan. Njoto yang menjadi menteri negara berdiri dari kursi dan bergabung dengan tim musik. Alat music selo yang dimainkan Njoto mengiringi penyanyi Titiek Puspa atau Lilis Suryani melagukan tembang kesukaan Sukarno. Bung Karno, dalam amatan Martin sangat senang dengan suasana seperti itu, ketika ada seorang menterinya yang punya kepekaan terhadap musik.
Menurut Martin, di kalangan wartawan Istana termasuk fotografer tertanam komitmen untuk menjaga citra diri Bung Karno. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis agar tidak menampilkan secara fisik penampilan Sukarno. Hal itu semata-mata bukan karena tekanan dari Istana melainkan rasa hormat terhadap sang presiden.
“Bung Karno itu mengasyikan dan karena itulah kita hormat. Kita tidak mau mengatakan dia memakai kaos oblong saat menerima tamunya. Apalagi kalau dia difoto dalam keadaan botak, saya rasa tidak pernah,” kata Martin.
Baca juga:
Martin tidak lama menjadi wartawan Istana. Friksi internal partai maupun redaksi Harian Rakjat menyebabkan posisinya digantikan wartawan lain pada Juli atau Agustus 1965. Martin pun beralih sebagai wartawan harian Zaman Baru terbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) yang masih berafilisasi dengan PKI.
Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, semua organisasi yang berafiliasi dengan PKI dibubarkan. Martin Aleida hidup dalam pelarian dan menjadi buruan. Pada 1966, Martin tertangkap dalam Operasi Kalong, disiksa dan dipenjara selama setahun tanpa diketahui apa kesalahannya. Setelah bebas, dia kemudian menjadi wartawan Tempo dan dikenal sebagai penulis sejumlah kumpulan cerpen maupun novel. Martin termasuk sebagai penyintas tragedi 1965 yang baru saja menerbitkan memoarnya berjudul Romantisme Tahun Kekerasan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar