DI masa lalu kebanyakan orang berpandangan kebiasaan mandi merupakan hal berbahaya bila dilakukan terlalu sering. Pandangan ini muncul karena orang-orang menganggap kulit manusia dapat menyerap cairan yang berada di sekitar permukaannya. Kendati demikian, mereka yang hidup di zaman Renaisans sangat menyukai wewangian dan berupaya untuk memiliki tubuh yang wangi setiap harinya.
Menurut Constance Classen, David Howes dan Anthony Synnott dalam Aroma: The Cultural History of Smell, bahaya yang diyakini akibat mandi dapat dilihat dari tindakan pencegahan yang dilakukan saat mandi yang jarang dilakukan. Francis Bacon, misalnya, menyusun sebuah aturan mengenai tata cara mandi yang lebih mirip ritual wewangian yang rumit daripada membasuh tubuh dengan air.
“Pertama, sebelum mandi, gosok dan urapi tubuh dengan oyle, dan salep, agar kehangatan dan manfaat dari air mandi dapat meresap ke dalam tubuh. Kemudian duduklah dua jam di dalam bak mandi; setelah mandi, bungkuslah tubuh dengan sebuah kain yang terbuat dari masticke, mur, pomander dan kunyit, untuk menahan keringat atau pernapasan pori-pori, hingga melembutkan tubuh, setelah didiamkan di dalam kain selama 24 jam, campuran bahan-bahan itu akan menjadi padat dan keras. Terakhir, dengan minyak wangi dari oyle, garam, dan kunyit, kain pembungkus dilepas, lalu urapi tubuh,” tulis Classen, Howes, dan Synnott.
Baca juga:
Sekuat Dupa, Sewangi Cleopatra
Alih-alih untuk membersihkan diri dari kotoran, orang-orang justru menganggap mandi untuk membuat tubuh terbebas dari bau tidak sedap. Mereka pun lebih suka menggunakan air mawar daripada sabun saat mandi. Alasannya, sabun yang terbuat dari lemak atau minyak ikan paus yang dikombinasikan dengan kalium seringkali berbau menyengat. Akan tetapi, air mawar tak dapat mengatasi permasalahan bau badan dengan mudah. Oleh karena itu, seorang ahli kebersihan Prancis di abad ke-16 menyarankan, “akan berguna untuk menekan dan menggosok kulit dengan campuran bunga mawar”.
Pandangan bahwa mandi tidak boleh terlalu sering membuat orang-orang mengandalkan parfum untuk mengatasi bau tidak sedap pada tubuh. Jack Turner menulis dalam Spice: The History of a Temptation, pada abad pertengahan, parfum biasanya dibuat dengan bahan dasar minyak atau lemak hewani, dengan tambahan anggur, rempah-rempah, dan wewangian aromatik. Seorang Fransiskan Spanyol, Juan Gil de Zamora, menulis tentang penggunaan lemak dari hewan eksotis seperti macan tutul dan unta dengan anggur dan kayu manis.
“Lemak pertama-tama dipotong dari dagingnya, kemudian dimasak dalam anggur, lalu dimatikan dan dibiarkan semalaman. Keesokan harinya, anggur ditambahkan lagi; kemudian campuran tersebut digiling, diaduk, dan didiamkan beberapa saat, lalu akhirnya dipanaskan kembali dengan campuran tujuh minyak eksotis. Pada tahap akhir, berbagai buah seperti plum ditambahkan, bersama dengan bahan pokok wewangian Yunani dan Romawi, terutama kayu manis dan cassia,” tulis de Zamora dikutip Turner.
Selain menjelaskan proses pembuatan wewangian, de Zamora juga memberikan formula untuk prototipe deodoran ketiak abad pertengahan dengan menyarankan penggunaan kayu manis, cengkeh, dan anggur untuk mengatasi ketiak yang bau.
Pentingnya membuat tubuh selalu wangi karena parfum tidak hanya dapat menutupi bau tidak sedap, tetapi juga mampu menghilangkannya. Selain itu, wewangian juga dianggap sebagai terapi untuk memperkuat dan menstimulasi pikiran dan tubuh. Besarnya minat orang Eropa terhadap parfum mencapai puncaknya pada abad ke-16 dan 17 ketika, di kalangan orang kaya, segala sesuatu mulai dari surat hingga anjing peliharaan diberi wewangian.
Para bangsawan merupakan kelompok utama dan paling penting dalam industri perkembangan parfum. Sejumlah raja dan ratu dikenal sebagai pencinta wewangian. Ratu Elizabeth I dari Inggris, misalnya, mengaku selain rutin mandi sebulan sekali ia juga menyemprotkan wewangian ke tubuhnya. Kala itu, mawar dan musk merupakan salah satu kombinasi yang umum digunakan, dan menjadi favorit Ratu Elizabeth I dan ayahnya, Raja Henry VIII.
Baca juga:
“Begitu keranjingannya sang ratu terhadap wewangian, pada suatu kesempatan ketika Ratu Elizabeth menjamu delegasi duta besar Prancis, dua meriam ditembakkan, yang satu dengan bubuk beraroma manis, dan yang lainnya dengan air manis, sangat harum dan menyenangkan,” tulis Classen, Howes, dan Synnott.
Raja Prancis Louis XV juga sangat menggemari parfum. Bahkan ia dijuluki sebagai la Cour parfumée atau parfum berjalan. Ia mengharuskan penggunaan parfum berbeda setiap hari dalam seminggu dan memastikan bahwa ia tidak pernah pergi tanpa tubuh yang wangi. Gundik sang raja, Marquise de Pompadour, juga memiliki kegemaran serupa terhadap wewangian. Konon kabarnya ia menghabiskan satu juta franc untuk membuat bank parfum.
Dipandang sebagai penghilang bau badan yang lebih efektif ketimbang mandi, parfum di zaman Renaisans dan modern awal hanya dimiliki oleh orang-orang kalangan atas. Lambat laun parfum yang eksklusif menjadi penentu status sosial di masyarakat. Karena hal ini pula, wangi semerbak yang memanjakan indra penciuman hanya dapat dicium di kota-kota metropolitan, sementara orang-orang di pedesaan sebagian besar belum terjamah wangi parfum.
Menurut sejarawan Steven Zdatny dalam A History of Hygiene in Modern France: The Threshold of Disgust, orang-orang di pedesaan Prancis, tak hanya belum akrab dengan parfum tetapi juga jarang sekali mandi meski aliran sungai banyak ditemukan di sekitar wilayahnya. “Hal ini terjadi karena mereka menganut prinsip kesopanan yang berpandangan bahwa beberapa bagian tubuh tidak boleh diperlihatkan secara sengaja di depan umum. Dengan demikian hanya bagian tubuh tertentu yang sering terkena air, sementara bagian lain tidak pernah dicuci,” tulis Zdatny.
Selain prinsip kesopanan, orang-orang di pedesaan jarang sekali mandi karena menganggapnya berbahaya bagi tubuh. Masyarakat pedesaan pun terbiasa dengan bau badan yang menyengat. Pria dan wanita yang bekerja di lahan, dalam interaksi yang terus-menerus dan tanpa batas dengan hewan, lebih dihargai dan dipandang sebagai tanda kejantanan pada pria dan keseksian pada wanita. “Sementara pria yang terlalu sering membersihkan diri justru dianggap kurang maskulin, dan mengarah pada kebanci-bancian,” tulis moralis Joseph Virey dalam Dictionnaire des sciences médicales (1820) dikutip oleh Zdatny.
Namun, revolusi industri yang menarik para pendatang dari pedesaan ke kota besar, toleransi mereka terhadap bau yang menyengat menjadi perhatian golongan urban, khususnya kalangan atas. Selain meningkatnya populasi perkotaan, bertambahnya pabrik juga memicu permasalahan limbah dan pembuangan sampah. Hal ini mendorong gerakan reformasi sanitasi di kota-kota Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Baca juga:
Gerakan ini semakin besar ketika pada akhir abad ke-19, ditemukan bahwa bukan bau yang menyebarkan penyakit, melainkan kuman. Namun, kuman penyebab penyakit ditemukan di tempat-tempat berbau tidak sedap sehingga untuk mencegah penyebarannya, bau tidak sedap harus dianggap sebagai hal yang berbahaya dan harus dihilangkan.
Dalam hal kebersihan pribadi, mandi penting untuk menghilangkan kuman penyebab penyakit. Seiring dengan berkembangnya tempat pemandian umum maupun pembangunan kamar mandi pribadi, orang-orang mulai membersihkan tubuh mereka.
Kesadaran akan perilaku hidup bersih yang tumbuh di masyarakat meningkatkan kepedulian terhadap bau badan dan cara-cara untuk mencegahnya. Sampai akhir abad ke-19, parfum masih menjadi barang mewah dan hanya dimiliki segelintir orang berduit. Hal ini mendorong diciptakannya deodoran dan antirespiran secara massal dengan harga yang terjangkau. “Jika di abad-abad sebelumnya hanya orang-orang kaya yang disibukkan dengan ‘tubuh yang wangi’, kepedulian terhadap bau badan kini juga telah merasuk ke dalam kesadaran semua kelas sosial,” tulis Classen, Howes, dan Synnott.*