SOSOK berambut putih yang terkuncir itu mengukir senyum ketika menyambut Historia.ID di depan rumahnya yang asri berfasad era kolonial di Jalan Tanjung, Cihapit, Bandung pada Sabtu (26/10/2024) pagi. Sudarsono Katam, lelaki gaek berusia 79 tahun itu, duduk santai dengan menyilangkan kaki di ruang tamunya ketika mulai “berdongeng” sejarah urban dan sosial di Bandung.
Berbagai aspek diceritakannya. Termasuk perihal pengumuman berbau rasis semasa kolonial, “verboden voor honden en inlander”, yang disinggung Prabowo Subianto dalam pidatonya pasca-pelantikan presiden, 20 Oktober 2024. Selain terpasang di kolam renang Manggarai, Jakarta dan tempat-tempat umum lain, kalimat rasis yang artinya “Dilarang masuk untuk anjing dan pribumi” itu juga ada di Bandung. Katam berkisah kalimat rasis itu juga terdapat di dua zwembad (kolam renang) di Bandung era kolonial.
“Ada juga. Ada tulisan dilarang masuk seperti itu di kolam renang Cihampelas dan Centrum. Verboden voor honden en inlander. Jadi bangsa kita (bumiputera) disamakan dengan anjing,” ujar Katam.
Baca juga: Prabowo Berenang di Manggarai
Sejarah tentang kolam renang legendaris itu juga sudah sempat ia “rekam” dalam buku pertamanya, Album Bandoeng Tempo Doeloe (2005), yang ia tuliskan bersama Lulus Abadi. Kolam Renang Centrum yang berada di Bilitonweg (Jalan Belitung) dan dibangun pada 1925 kini masih eksis sebagai salah satu bangunan cagar budaya dengan nama Pemandian Tirtamerta.
Nasib berbeda dialami Tjihampelas Zwembad yang usianya lebih tua, dibangun medio 1904 oleh Nyonya Homann, istri pemilik Homann Hotel (kini Hotel Savoy Homann). Kolam renang yang kini berada di Jalan Cihampelas itu sudah tak lagi ada bekasnya karena sudah tertimbun bangunan apartemen modern.
“Awalnya kolam ikan tapi diubah oleh Nyonya Homann jadi kolam renang. Tapi saya enggak yakin itu kolam renang pertama di Hindia Belanda. (Kolam renang) pertama di Bandung, iya. Dulu memang khusus orang-orang Eropa tapi akhirnya pudar juga di masa (pendudukan Jepang),” lanjut penulis sekira 20 buku tentang sejarah perkotaan Bandung tersebut.
Baca juga: Sejarah Kolam Renang Pertama di Indonesia
Mendapat Inspirasi di WC
Sebuah rak besar yang sesak dengan buku memenuhi satu sudut ruang tamu. Satu rak besar lain tampak pula di ruangan lain dari sela pintu yang sedikit terbuka di belakang kursi Katam. Tidak hanya sejarah, buku-buku bertema lain turut menjadi koleksi Katam yang hobinya mengoleksi sejak remaja.
“Pertamakali suka beli buku itu sejak SMP. Buku apa saja yang saya suka, pasti dibeli. Beberapa saya jual karena jadi pedagang buku selepas saya pensiun. Sekarang menyesal juga karena ternyata banyak buku langka yang dijual. Saya akui waktu itu memang orientasinya (butuh) duit. Lagipula saya enggak punya latar belakang sejarah. Saya sendiri (merasa) lucu karena awalnya enggak ngerti kenapa kecemplung di sejarah,” kenang Katam.
Lelaki bernama lengkap Sudarsono Katam Kartodiwirio itu lahir di Lampung Utara pada 10 Agustus 1945 tapi besar dan tumbuh di Kota Bandung sejak usia kelas tiga sekolah dasar (SD). Sebagaimana yang diakuinya, ia sama sekali tak punya background sejarah. Katam justru jebolan jurusan teknik pertambangan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan berkarier sebagai “tukang insinyur” di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN, kini Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional/ORTN BRIN) kurun 1978-2002.
“Ada enggak tuh hubungannya sama sejarah Bandung? Enggak ada, kan? Hahahaha...” Katam tertawa lepas.
“Saya terjerumus di (sejarah) itu ketika sudah mulai pensiun. Sebelum pensiun, saya banyak ngumpulin buku sampai berkardus-kardus, (memenuhi) ruangan, kolong tempat tidur. Enggak fokus juga buku sejarah atau sastra. Mana yang saya suka, pasti dibeli. Enggak tahunya jadi modal hidup saya setelah pensiun,” tambahnya.
Baca juga: Warisan Nakhoda Pertama
Lantaran uang pensiunannya dirasa tak mencukupi, ia menjual buku-bukunya dengan membuka kios di rumahnya. Suatu ketika, medio 2002, salah satu pelanggan yang sudah jadi teman baiknya, Luli alias Lulus Abadi, penasaran kenapa Katam tidak sekalian saja menulis buku.
“Akhirnya setelah Luli ngomong begitu, muncul inspirasinya dari WC. Waktu di WC terlintas untuk mau nulis. Why not? Bahan ada, referensi ada, pengetahuan saya cukup ada juga. Keluar dari WC, saya telepon dia. Wah dia senang dan mau dukung. Mulailah menilik sejarah (urban) Bandung karena saya tahunya cuman Bandung. Dia yang mengerti arsitektur karena dia selain arsitek juga seorang kontraktor,” Katam berkisah.
Pengetahuan tentang perkotaan Bandung setidaknya masih ‘nyantol’ di ingatan Katam. Toh, semasa SD ia gemar ‘blusukan’ bersama teman-temannya.
“Pas SD saya sudah senang blusukan, main ke mana-mana yang jauh dari rumah pakai sepeda. Sama teman-teman, saya suka ngumpulin bungkus rokok karena waktu itu masih populer buat jadi taruhan mainan. Selain keliling dari Cicadas sampai Tegallega, sampai Sukajadi untuk cari bungkus rokok, saya penasaran sama gedung-gedung yang dilewati. Jadi pengetahuan tentang kota sudah ada walaupun saya enggak tahu gedung-gedungnya arsitektur apa dan arsiteknya siapa. Nah di situ keunggulannya Luli yang arsitek dan kontraktor,” lanjutnya.
Baca juga: Arswendo Atmowiloto Hidup untuk Menulis
Belakangan, ia baru menyadari kegemarannya bertualang sembari “merekam” A-Z perkotaan Bandung lewat ingatan masa kecilnya menurun dari mendiang ayahnya, Mas Katam Kartodiwirio. Ayah Katam merupakan pensiunan pegawai Departemen Pekerjaan Umum (PU) yang merantau ke banyak daerah di Indonesia.
“Dia (pegawai) di PU. Jadi dia sudah melanglangbuana sejak dari Aceh sampai Bangka, Lampung, dan terakhir terdampar di Bandung. Terakhir-terakhir dia minta pulang ke Bandung karena sudah beli rumah ini. Terakhir sebelum pensiun, dia pengawas, pelaksana, koordinator kebersihan dan perawatan gedung (dinas) keuangan di kota Bandung,” tutur Katam.
Katam akhirnya menerbitkan buku pertamanya, Album Bandoeng Tempo Doeloe, bersama Lulus Abadi pada 2005. Hingga kini sudah 20 buku ia terbitkan. Di antaranya Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe, Gedung Sate Bandung, Bandung: Dari Masa ke Masa, Oud Bandoeng dalam Kartu Pos, Tjitaroemplein, Gemeente Huis, Gedung Bank Indonesia Bandung, Insulinde Park, Album Bandoeng En Omstreken: 1845-1910-an dan Dari Villa Isola ke Bumi Siliwangi.
Baca juga: Sastrawan Peranakan yang Terlupakan
Buku-buku Katam itu jadi medium yang mempermudah masyarakat menyelami sejarah urban Bandung ketimbang mengubek-ubek arsip. Jelas, buku-buku itu juga jadi rujukan penulisan sejarah perkotaan Bandung selain buku-buku karya mendiang sejarawan Haryoto Kunto.
“Mulanya di buku pertama memang saya mengikuti gayanya Haryoto Kunto. Di buku pertamanya (Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, 1984) kan Kunto menulis semuanya. Baru berikutnya dia menulis buku-buku (sejarah) yang lebih detail. Saya juga sudah mulai berhenti jualan buku tahun 2020. selain memang pasaran buku mulai menurun, saya membangun lagi koleksi buku saya,” terangnya.
Dibanding buku-buku Kunto, buku-buku Katam cenderung seperti album foto yang disertai narasi sejarah. Foto-foto dianggap Katam bisa lebih “berbicara” untuk mengajak pembacanya bak masuk ke lorong waktu tentang Bandung di masa lawas.
Baca juga: Remy Sylado dan KNIL
“Soal foto, saya dari dulu semenjak senang ‘ngoprek’ komputer, sudah mulai cari foto tentang Bandung. Mulanya cari di KITLV, Tropenmuseum, dan segala macam yang waktu itu masih bebas, masih free, dan mudah diunduh, enggak seperti sekarang,” urai Katam.
Kendati karya-karyanya sering jadi rujukan penulisan sejarah, Katam menolak disebut sejarawan. Apalagi “kuncen” sejarah perkotaan Bandung.
“Kenapa sih orang-orang ngotot melabeli saya sejawaran atau kuncen Bandung? Padahal mah soal (sebutan) kuncen, sejarawan, itu hak patennya Haryoto Kunto. Saya kenal beliau dan saya hormat sama Haryoto Kunto. Sudahlah kalau terpaksa, sebut saja saya pecinta Bandung karena saya dari kecil sampe tua hidup di Bandung,” tandas Katam.
Baca juga: Race, Islam and Power Bukan Catatan Perjalanan Biasa