Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Kolam Renang Pertama di Indonesia

Perempuan bisa hamil di kolam renang. Dan ini sejarah kolam renang pertama di Indonesia.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 23 Feb 2020
Ilustrasi: kolam renang umum. ( Fernando Randy/Historia )

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitti Hikmawatty, menjadi trending topic, karena pernyataannya yang dikutip tribunnews.com, bahwa perempuan bisa hamil meskipun tidak terjadi penetrasi langsung tetapi ada sebuah mediasi seperti di kolam renang.

Keterangan itu viral di media sosial, menuai beragam komentar dan meme, dan tentu saja bantahan dari kalangan kedokteran. Ibu Sitti kemudian meminta maaf dan mencabut pernyataannya.

Kolam renang yang dimaksud Ibu Sitti tentu saja tempat pemandian umum, di mana banyak orang berenang bersama. Kolam renang umum terdapat di mana-mana. Siapa saja bisa masuk dengan membayar karcis. Pengelola menyediakan kolam dengan kedalaman berbeda-beda untuk anak-anak, remaja, dan dewasa.

Advertising
Advertising

Kolam renang telah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Kolam renang pertama berada di Bandung, Jawa Barat, berawal dari kolam ikan sederhana yang dibangun pada 1904. Kolam renang Cihampelas itu terletak di sisi jalan kecil Tjihampelaslaan (Jalan Taman Hewan), yang menghubungkan Lembangweg (Jalan Cihampelas) dan Ghyselsweg (Jalan Tamansari).

"Kolam renang Tjihampelas adalah kolam renang tertua di Bandung. Kolam renang ini semula merupakan kolam ikan milik Ny. Homann, istri pemilik Hotel Savoy Homann, Tuan Homann," tulis Sudarsono Katam Kartodiwirio dan ‎Lulus Abadi dalam Album Bandoeng Tempo Doeloe.

Kolam renang Cihampelas dibangun untuk melayani tamu-tamu hotel. Pada masanya termasuk lengkap dengan tiga buah kolam berstandar internasional. Kolam renang Cihampelas sempat menjadi tempat berlatih Perkumpulan Berenang Bandung (Bandoengse Zwem Bond) yang berdiri pada 1917.

Baca juga: Cerita Lucu Soegih Arto Ketika Jadi Ajudan Bung Hatta

Kolam renang itu hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda dan Eropa. Plang larangan bagi pribumi sungguh menyakitkan. Mantan Jaksa Agung Letjen TNI (Purn.) Soegih Arto menjadi saksinya pada masa kecil.

"Saya masih ingat waktu di Bandung guru olahraga setengah mati mencari kolam renang untuk pelajaran berenang," kata Soegih Arto dalam memoarnya, Sanul Daca.

"Di kolam renang Centrum," lanjut Soegih Arto, "jelas tidak mungkin, karena tertulis dengan huruf besar VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDERS atau terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah DILARANG UNTUK ANJING DAN ORANG PRIBUMI. Begitulah derajat bangsa kita sewaktu dijajah Belanda, padahal ini sudah tahun 1940."

Akhirnya, berkat seorang anggota Volksraad (Dewan Rakyat), para siswa diperbolehkan berenang di kolam renang Cihampelas. "Alangkah gembiranya kami, karena naik derajat setingkat di bawah bule, sedikit di atas anjing. Asyik juga berenang dengan bule-bule, apalagi wanitanya yang berbadan putih padat. Sayang pada waktu itu belum ada bikini," kata Soegih Arto.

Baca juga: Revolusi Celana Seksi

Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution juga punya pengalaman berenang di kolam renang Cihampelas. Saat itu, dia sedang mengikuti pendidikan militer CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) di Bandung tahun 1940.

"Tiap akhir minggu kami berenang di Cihampelas. Saya belum pernah sebelumnya berenang di dalam kolam renang, apalagi dengan cara gaya tertentu. Saya berenang di kali di masa kecil, karena itu harus mulai lagi belajar dari mula pangkal," kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda.

Kolam renang Tjihampelas di Bandung, 1930-1935. (Tropenmuseum).

Menurut Sudarsono Katam dan ‎Lulus Abadi, selain kolam renang Cihampelas, kolam renang lain di Bandung adalah kolam renang Centrum (sekarang bernama kolam renang Tirta Merta), yang dibangun pada 1920 dengan gaya arsitektur modern tropis Indonesia, karya arsitek C.R. Wolff Schoemaker. Letak kolam ini di Bilitonstraat (sekarang Jalan Belitung). Kolam renang lainnya berada di kompleks Dago Teehuise (Dago Tea House) dan di Cimindi cukup dikenal masyarakat Bandung, tetapi telah ditutup sejak akhir tahun 1950-an.

Baca juga: Riwayat MF Siregar Sang Teknokrat Olahraga (Bagian I)

Pada 1950-an, kolam renang Cihampelas dan Centrum menjadi tempat berlatih atlet-atlet renang daerah dan nasional. Bahkan, renang menjadi olahraga pertama yang melakukan pemusatan latihan nasional (pelatnas) di Bandung untuk menghadapi Olimpiade Roma 1960 dan Asian Games 1962 di Jakarta.

"Sistem pelatnas ini kemudian diikuti oleh cabang-cabang lain sebelum akhirnya Sukarno menyetujui pelatnas Asian Games dipusatkan di kota kembang tersebut," tulis Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti dalam biografi M.F. Siregar, Matahari Olahraga Indonesia.

Saat itu, M.F. Siregar ditunjuk sebagai pelatih kepala cabang olahraga air yang terdiri dari renang, polo air, dan loncat indah. "Sejak tahun 1950-an, Siregar punya kebiasaan meninggalkan rumah pukul 04.30 pagi untuk melatih renang dan polo air di klub Tirta Merta maupun di pelatnas renang yang saat itu dilaksanakan di Bandung, dan di perkumpulan renang Tirta Taruna dan pelatnas di Jakarta," tulis Brigitta dan Primastuti.

Baca juga: Riwayat MF Siregar Sang Teknokrat Olahraga (Bagian II)

Sayangnya, kolam renang Cihampelas barakhir nahas. Setelah sempat terbengkalai, akhirnya kolam renang pertama di Indonesia itu dibongkar untuk dijadikan hotel. Penghancuran itu disayangkan sejumlah pihak di antaranya Irsan Sutedja, mantan atlet renang dan anggota Komisi Teknik Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) KONI Jawa Barat.

"Sejak tahun 1959," kata Irsan dikutip detik.com, "saya berlatih mengawali karier saya sebagai atlet renang di kolam Centrum dan Cihampelas itu."

TAG

kolam renang

ARTIKEL TERKAIT

Empat Hal Tentang Sepakbola Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Philippe Troussier si Dukun Putih Momentum Bayer Leverkusen Wasit Pemberani Bernama Tjen A. Kwoei