DALAM film Susi Susanti: Love All yang akan beredar di bioskop-bioskop Tanah Air mulai 24 Oktober 2019 nanti, aktor Lukman Sardi akan memerankan Mangombar Ferdinand Siregar, teknokrat olahraga legendaris. Lukman mengaku tertantang memerankan tokoh yang mengarsiteki prestasi monumental medali emas Susy Susanti dan Alan Budikusuma di Olimpiade Barcelona 1992 itu.
Untuk menyelami karakternya, Lukman membaca biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia, serta mewawancara sejumlah eks-pebulutangkis nasional.
“Menarik, soal bagaimana seorang teknokrat olahraga tapi dia juga menjadi keluarga dari pemain-pemain bulutangkis ini. Apalagi sebelumnya dia sempat di PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia) tapi kemudian dia harus bisa memahami banyak hal lain dalam dunia olahraga itu sendiri. Dia sangat concern dengan olahraga,” tutur Lukman Sardi kepada Historia di sela peluncuran poster resmi Susi Susanti: Love All, 20 Agustus 2019.
MF Siregar memulai kiprahnya di bidang olahraga dari mengurusi cabang akuatik. Saat pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto, bintangnya kian terang hingga dia menduduki jabatan sekjen di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat.
Baca juga: Ketika Soeharto Melihat Atlet Tak Bersepatu
Namun, Siregar merasa ada yang kurang. Walau sudah lama turut dalam Asian Games (sejak 1951) dan Olimpiade (sejak 1952), gaung Indonesia justru belum terdengar di Asia Tenggara. Kontingen Indonesia, dipimpin Siregar, baru turut serta dalam SEA Games pada 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kendati tiada sambutan terhadap kedatangan kontingen Indonesia yang berisi 313 atlet cum ofisial, Indonesia pulang dengan gelar juara umum.
Sukses itu lantas membuat negara-negara tetangga belajar ke Indonesia. Dari Indonesia pula mereka baru mengenal metode pelatnas.
Baca juga: Malaysia dan Keikutsertaan Indonesia di SEA Games
“Ide untuk pelatnas di luar negeri itu datang dari Pak Suprajogi dan saya. Ternyata hasilnya luar biasa. Ini merupakan pengembangan dari sistem pelatnas yang sudah kami lakukan di cabang renang pada 1961 di Bandung sebagai persiapan ke Asian Games IV (1962),” tutur Siregar dalam biografinya.
Firasat Olimpiade dan Air Mata Barcelona
Percaya atau tidak, Siregar pernah melontarkan dua firasat soal prestasi Indonesia di olimpiade yang terbukti benar. Kedua firasat itu diungkapkannya dua tahun sebelum datangnya medali pertama dan enam tahun sebelum Susy dan Alan membawa pulang dua emas pertama.
Firasat itu, kata Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, dikeluarkannya usai dianugerahi medali emas L’Ordre Olympique. Anugerah yang diserahkan langsung oleh Wakil Ketua IOC Alexandre Siperco di Gedung KONI, Jakarta, 29 Januari 1986.
“Saya anggap pemberian ini kepada rakyat Indonesia, bukan saya pribadi. Saya bertekad agar bangsa Indonesia dapat disejajarkan dengan negara maju di olahraga. Saya ingin lihat bendera Merah Putih berkibar di Olimpiade 1988 dan mendengar lagu ‘Indonesia Raya’ dikumandangkan di Olimpiade 1992,” kata Siregar, yang menjadi orang Indonesia ketiga yang menerima anugerah dari IOC setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Silver Olympic Order, 1983) dan R. Maladi (Silver Olympic Order, 1984).
Baca juga: Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian I)
Firasat Siregar benar. Trio atlet panahan Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani mempersembahkan medali (perak) pertama buat Indonesia di Olimpiade Seoul 1988. Saat itu bendera dwiwarna dikerek ke atas meski hanya di pucuk tertinggi kedua. Sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan di tiang tertinggi diiringi “Indonesia Raya” terjadi di Barcelona 1992. Pencapaian yang sekaligus menjawab tuntutan penguasa rezim Orde Baru.
Saat itu, Siregar yang dipercaya menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI dibebani tugas berat. Presiden Soeharto memintanya memimpin misi emas mengingat prestasi bulutangkis Indonesia di berbagai kompetisi internasional tengah di puncak.
Baca juga: Siregar Bikin Bendera Merah Putih Berkibar
Mau tak mau, Siregar mengurusi hampir semua persiapan. Mulai soal asupan nutrisi hingga mental pemain, semua jadi hal yang terus dipikirkannya.
“Dia sangat sadar akan konsekuensi dan tanggungjawab tugasnya itu. Mungkin karena beban berat di pundaknya, dia sampai serangan jantung. Sebagai pribadi, yang saya pikirkan adalah berjuang untuk opa,” kenang Susy Susanti dalam testimoninya di biografi Siregar.
Baca juga: Cinta Kasih Susy Susanti untuk Negeri
“Opa” merupakan panggilan Siregar yang diberikan oleh anak-anak asuhnya saking intimnya pendekatan Siregar dengan para pemainnya. Selain Susy, Alan turut merasakannya. Suatu ketika, Alan tampil buruk di Thomas Cup 1992 dan jadi biang kekalahan di final. Padahal, ajang itu dijadikan PBSI sebagai pemanasan jelang olimpiade. Alhasil, Alan dimarahi habis-habisan oleh pelatihnya, Indra Gunawan dan Rudy Hartono. “Akibat kekalahan itu saya sempat frustrasi,” kata Alan kepada Historia.
Di situlah Siregar datang sebagai penyelamat. Siregar menenangkan Alan dan mengimbaunya untuk lebih keras dalam latihan selepas Thomas Cup. Alan pun manut dan dengan suntikan motivasi lain dari tunangannya, Susy, Alan pun bangkit.
“Sesudah pulang saya diberi motivasi lagi setelah sempat seminggu terpuruk, stress, depresi. Setelah diberi motivasi, saya melakukan program berbeda. Biasanya yang sehari enam jam, untuk olimpiade ditambah durasinya. Benar-benar habis fisik kita di lapangan. Kalau habis latihan biasanya badan susah dibikin bangun lagi,” sambungnya.
Baca juga: Di Balik Pernikahan Pasangan Emas Olimpiade
Alan berhasil menjungkirkan prediksi yang lebih banyak mengunggulkan Ardy B. Wiranata, lawan Alan, dalam final tunggal putra bulutangkis olimpiade. Indonesia akhirnya membawa pulang dua emas, dua perak, dan satu perunggu di Olimpiade Barcelona 1992. Semuanya berasal dari cabang bulutangkis. Selain Alan dan Susy, dua perak lain disumbangkan Ardy Wiranata dan pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan, serta perunggu dari Hermawan Susanto.
Sayangnya Siregar tak bisa melihat anak-anak asuhnya meraih itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Ia dilarang dokter menyaksikan langsung karena kondisi jantungnya masih dalam tahap pemulihan. Pun begitu, ia tetap bisa merasakan haru Susy Susanti dan Alan yang berlinang air mata kala mendengar “Indonesia Raya” di podium utama. “Kapan lagi bendera kita bisa berkibar di podium olimpiade – tiga sekaligus lho. Belum tentu bisa ditandingi oleh negara lain,” papar Siregar.
Kiprah Siregar lantas tutup buku mulai 2007 akibat kondisi kesehatannya yang kian menurun selepas menjabat anggota Dewan Kehormatan KONI Pusat. Tiga tahun berselang, 3 Oktober 2010, ia mengembuskan nafas terakhir.
Baca juga: Kontingen SEA Games Indonesia Tanpa Sambutan di Malaysia
Sebelum tiada, ia sempat prihatin dengan anjloknya prestasi olahraga Indonesia di SEA Games 2005. Baginya, itu adalah hasil dari pembinaan olahraga yang amburadul, di mana sistemnya telah melenceng dari yang pernah ia tanamkan. Ia juga sempat mengkritik Pekan Olahraga Nasional (PON) yang tak menelurkan atlet-atlet binaan bermutu untuk dibawa ke pentas internasional.
“Yang terjadi di PON adalah jual-beli atlet yang semakin marak. Semua daerah ingin menjadi juara umum tetapi tidak mau bersusah payah melakukan pembinaan,” katanya.