OLIMPIADE Paris 2024 resmi berakhir seiring upacara penutupannya pada Minggu (11/8/2024). Tetapi kampung atletnya masih sibuk akan beragam aktivitas, mengingat akan kembali jadi akomodasi para atlet di Paralimpiade Paris 2024 (28 Agustus-8 September 2024).
Kampung atlet olimpiade di Paris yang terletak di kawasan Saint-Denis, île-Saint-Denis, dan Saint-Ouen, dibangun mulai 2019. Mengutip laman resmi olimpiade, kampung atletnya bisa menampung 14.250 atlet olimpiade dan sekitar 8 ribu atlet paralimpiade. Tidak hanya mengakomodir tempat-tempat peristirahatan, kampung atlet Paris 2024 juga dilengkapi satu hotel elit, satu residence pelajar, taman-taman nan cantik dengan total luas 10 hektare, serta sejumlah bangunan perkantoran dan layanan jasa umum untuk memenuhi kebutuhan para atletnya.
Meski begitu, kampung atletnya masih jauh dari sempurna. Terutama bagi kebutuhan atlet. Salah satu problem yang dihadapi adalah ketiadaan penyejuk ruangan di setiap kamarnya. Bahkan, kontingen Indonesia harus membawa AC portable sendiri agar para atlet nyaman beristirahat di kamar.
Baca juga: Satu Abad Olimpiade Paris
Komplain soal kamar juga disampaikan pihak lain. Terlebih tempat tidur yang disediakan terbuat dari kardus dan busa. Belum lagi persoalan lain seperti kelayakan konsumsi makanan dan privasi bagi para atlet di ruang ganti.
“Kasur (busanya) sangat keras. Buruk. Sangat, sangat keras. Kami tiba dalam keadaan capek pada akhirnya tetap harus rebahan dan istirahat,” kata pesenam Spanyol, Ana Perez, dikutip Newsweek, Selasa (30/7/2024).
Petenis Amerika Serikat Coco Gauff bahkan sampai memilih keluar dari kampung atlet. Ia mencari hotel sendiri buat dirinyaa dan tim serta stafnya.
Hal itu mesti jadi bahan evaluasi sebelum kembali menjamu ribuan atlet paralimpiade dengan aneka ragam kebutuhan khusus. Terlebih demi kesuksesan penyelenggaraan untuk kota Paris sebagai host. Sebab, dalam catatan sejarah kampung atlet olimpiade pun bermula di kota yang sama satu abad lampau.
Baca juga: Saat Sungai Seine Berwarna Merah
Mulanya Kampung Olimpiade
Fase pertama konsep olimpiade modern sudah digulirkan di Olimpiade Athena 1896. Namun baru 28 tahun kemudian para atlet dunia yang tampil diberi akomodasi oleh tuan rumah.
Olimpiade Paris 1924 bukan hanya jadi olimpiade pertama yang diliput jurnalis via siaran radio secara live tapi juga jadi olimpiade pertama yang menghadirkan kampung atlet bagi para kontestannya dari 45 negara partispan.
“Pada (Olimpiade) Paris 1924 kita melihat lahirnya kampung olimpiade, terkonsep sebagai bangunan inovatif yang tetap bisa digunakan setelah event dengan beberapa fasilitas modernnya. Walaupun saat itu akomodasinya masih seperti barak dan beberapa peneliti belum meyakini itu sebagai kampung atlet sungguhan,” ungkap John Home dan Garry Whannel dalam Understanding the Olympics.
Baca juga: Mula Api dan Pawai Obor Olimpiade
Konsep tersebut lahir dari buah pikiran Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Baron Pierre de Coubertin. Gagasannya berasal dari pengalamannya melihat beberapa olimpiade terdahulu, di mana ia melihat banyak atlet tak punya kawasan terpusat hingga selalu terpencar dalam hal tempat tinggal dan pemenuhan kebutuhan lain.
“Coubertin menggagas ‘kampung olimpiade’ di masa terakhir jabatannya (sebagai presiden IOC) dengan harapan bahwa kampung baru itu akan membawa kedekatan secara global dan jadi pusat interaksi dengan emosi yang bercampur-baur,” tulis John D. Kelly dalam artikel “Professional Team Sports and the Urbanisation of Desire” yang termaktub dalam buku The New Geopolitics of Sport in East Asia.
Kampung atletnya saat itu dibangun di barat laut kota Paris, berdekatan dengan Stade Olympique Yves-du-Manoir atau dikenal juga dengan Stade de Colombes yang jadi venue utama Olimpiade Paris 1924. Bangunan tempat tinggal para atlet dibangun sebagai barak-barak dan kabin kayu portable yang dilengkapi fasilitas air bersih, kantor pos, salon rambut, hingga restoran.
Sejak saat itu, setiap host diwajibkan menyediakan akomodasi berupa kampung olimpiade. Terlebih sebelum selesai masa jabatannya, Coubertin menyisipkan gagasannya itu ke General Technical Rules IOC yang kelak dikenal sebagai Piagam Olimpiade. “Komite penyelenggara olimpiade berkewajiban menyediakan akomodasi, tempat tidur, dan makanan bagi para atlet per orang dan per hari,” demikian bunyinya.
Maka, Los Angeles sebagai host Olimpiade 1932 pun mengikutinya. Kampung atlet di Olimpiade 1932 dibangun di kawasan Baldwin Hills dengan menghadirkan sejumlah bungalow modular untuk mengakomodir sekira dua ribu atlet. Kampung atletnya dilengkapi fasilitas panggung dan amphiteater, klinik kesehatan, dll. sehingga sudah mirip kota mini.
“Di (kampung olimpiade) inilah para atlet dari empat penjuru dunia, dengan beragam kebiasaan, bahasa, dan gagasan-gagasan berbeda tinggal dan bersosialisasi selama olimpiade berlangsung,” sebut Presiden Komite Olimpiade Amerika Serikat Avery Brundage dalam laporan penyelenggara, The American Olympic Committee Report, Games of the X Olympiad, Los Angeles, California; III Olympic Winter Games, Lake Placid, New York 1932.
Baca juga: Pencemaran Sungai Seine yang Mengkhawatirkan
Konsep dari Los Angeles ini kemudian ditiru penyelenggara Olimpiade Berlin 1936. David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936 menulis, kampung atletnya dibangun di Döberitz, salah satu kota penyangga ibukota yang juga dekat dengan sebuah pangkalan militer angkatan darat Jerman.
“Kampung olimpiadenya dibangun meniru model (olimpiade) Los Angeles, sekitar 14 kilometer dari (kompleks olahraga) Reichssportfeld. Karena dekat dengan basis militer, maka militer Jermanlah yang bertanggungjawab atas segala administrasi kampung olimpiadenya,” tulis Large.
Di Döberitz itulah para atlet dari 49 negara diakomodasi dalam 142 permukiman semi-permanen berupa kabin-kabin berkapasitas dua orang, serta toilet dan kamar mandi yang bisa memuat 16-24 orang. Pasca-olimpiade, kampung olimpiade itu diambil-alih militer Jerman.
Pengecualian memang terjadi di Olimpiade London 1948. Mengingat terbatasnya anggaran pasca-Perang Dunia II, IOC mengizinkan panitia penyelenggaran tidak membuat bangunan-bangunan baru untuk kampung olimpiadenya. Sebagai gantinya, akomodasi para atlet dari 59 negara ditempatkan di fasilitas-fasilitas militer dan beberapa kampus.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Meski terbilang kampung atlet darurat, saat itu sudah mulai ada pemisahan antara atlet putra dan putri. Para atlet putra ditempatkan di basis-basis Angkatan Udara Inggris (RAF) di Uxbridge dan West Drayton, serta basis Angkatan Darat Inggris di Richmon Park. Adapun para atlet putri diakomodasikan di beberapa kampus di kota London.
Masih dalam kondisi darurat, konsumsi dan kebutuhan bahan bakar untuk setiap kontingen pun dijatah. Untuk konsumsi saja, misalnya, masing-masing atlet diberi ransum 5.467 kalori per hari, sebagaimana ransum para pekerja pelabuhan dan buruh tambang.
“Jika bicara soal keadaannya, tidak ada yang luar biasa. Setelah bertanding (dayung), saya dan rekan-rekan makan malam dengan roti-roti gulung, setelah itu pulang,” kenang atlet dayung Amerika yang saat itu meraup tiga emas, Bert Bushnell, dilansir , 7 Juli 2005.
Pada Olimpiade Melbourne 1956 dengan lebih banyaknya atlet putri yang ikut serta, panitia penyelenggara mesti membuat kompleks atlet yang juga terpisah dan menyediakan beragam kebutuhan perempuan. Para atlet putra pun dilarang masuk ke area putri dan mereka hanya bisa saling berinteraksi satu sama lain di aula makan.
Seiring waktu, perubahan signifikan baru terjadi lagi di Olimpiade Los Angeles 1984. Bangunan akomodasinya di kampung olimpiade tak lagi dipisahkan berdasarkan gender, melainkan berdasarkan kontingen, sebagaimana yang terus bertahan sampai sekarang.
Baca juga: Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade