SUSI Susanti bakal beraksi lagi. Mulai 24 Oktober 2019, ia bakal memperlihatkan bagaimana kecintaannya pada keluarga, bulutangkis, dan negeri bisa mendorongnya terus bekerja keras dalam tiap pertandingan hingga akhirnya berbuah prestasi yang mengharumkan nama Indonesia.
Tentu, bukan Susi asli peraih medali emas pertama olimpiade bagi Indonesia yang akan beraksi itu. Tapi, Susi yang diperankan Laura Basuki dalam Susi Susanti: Love All. Film bertema olahraga kedua setelah 3 Srikandi (2016) itu bakal diputar di bioskop-bioskop tanah air empat hari sebelum Hari Sumpah Pemuda.
Sutradara Sim F mengangkat kisahnya berpusar pada prestasi Susi kala bertarung di Olimpiade Barcelona 1992. Bagaimana perjuangannya yang menguras tenaga dan emosi itu dilakukan sebelum akhirnya berbuah emas.
Baca juga: Cinta Kasih Susi Susanti untuk Negeri
Di balik keberhasilan itu, ada nama lain yang berjasa selain pelatih Liang Chiu Hsia (diperankan Jenny Zhang). Dialah Mangombar Ferdinand Siregar (Lukman Sardi), teknokrat olahraga yang kala itu menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB PBSI.
“Pak Siregar ini salah satu orang yang dihormati di olahraga. Dari zamannya Bung Karno, dia sudah ada (berkiprah, red.). Pada saat itu dia diminta oleh Pak Try Sutrisno (Ketum PB PBSI) untuk menangani PBSI yang sedang punya target juara di dunia internasional, terutama olimpiade,” tutur Lukman saat konferensi pers launching poster resmi Susi Susanti: Love All, Selasa (20/8/2019).
Memerankan Siregar jadi tantangan tersendiri buat putra mendiang komposer Idris Sardi itu. Pasalnya, Lukman tak bisa menyelami karakter si tokoh lantaran sudah tiada sejak 2010. Lukman hanya bisa mendalami lewat buku biografinya karya duet jurnalis olahraga senior Brigitta Isworo dan Primastuti Handayani, Matahari Olahraga Indonesia, maupun bertanya pada beberapa orang yang kenal almarhum.
“Pendalamannya lumayan challenging karena bukunya cuma ada satu. Saya juga enggak sempat ketemu keluarganya. Lebih banyak baca bukunya dan karakternya saya tanya-tanya ke teman-teman bulutangkis. Dia memang orang yang sangat dekat dengan atlet-atlet, sehingga mereka manggilnya ‘Opa’,” lanjutnya.
Dari dua “metode” pendalaman itu Lukman menafsirkan sosok “Opa” Siregar sebagai orang yang tak berjarak dengan anak-anak asuhnya. Ia juga pribadi yang sangat perhatian pada orang-orang di sekitarnya. Termasuk soal kewarganegaraan pelatih Susi, Liang Chiu Hsia, yang dianggap Siregar sebagai kekalahan di balik kesuksesan Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.
“Dia berusaha keras agar sang pelatih mendapatkan kewarganegaraan. Tapi situasi justru menyudutkan. Saat itu akhirnya dia merasa tidak berhasil dengan bagaimana dia menjanjikan ‘Habis ini elo dapat kewarganegaraan Indonesia.’ Tapi ternyata tidak terjadi dan itu menjadi suatu ganjalan tersendiri buat dia,” sambung Lukman.
Beban Emas Olimpiade dari Soeharto
Semua berawal dari prestasi trio pemanah Nurfitriyani Saiman-Lilies Handayani-Kusuma Wardhani yang berhasil mempersembahkan medali (perak) pertama buat Indonesia di Olimpade Seoul 1988. Sukses itu memicu Presiden Soeharto menuntut lebih di pesta olahraga empat tahunan terbesar dunia itu.
Permintaan Soeharto itu, sebagaimana ditulis Brigitta dan Primastuti, dititipkannya kepada Ketum PB PBSI Try Sutrisno via Menpora Akbar Tandjung. Try lantas membagi beban itu ke pundak Siregar dengan menunjuknya sebagai kepala Bidang Binpres pada Munas PBSI di Manado, 18 Desember 1989.
“Pak Siregar, You langsung pegang pasukan tempur,” kata Try.
“Lho, saya kan sudah tua. Apa tidak ada kader-kader muda di kalangan bulutangkis?” jawabnya.
“Pokoknya Pak Siregar langsung pegang pasukan tempur, langsung bimbing kader,” perintah Try.
Baca juga: Antara Raket dan Senjata
Dengan terpaksa, Siregar mengiyakan. Maklum, meski lulusan sport science dengan gelar Master of Physical Education dari Springfield Collenge, Massachusetts, Amerika Serikat pada 1964, ia belum tahu banyak soal bulutangkis. Kiprahnya saat itu baru di federasi renang (PRSI), gulat (PGSI), dan senam (Persani). Banyak istilah maupun peraturan bulutangkis yang tak diketahuinya.
Oleh karena itu, Siregar belajar secara otodidak dengan bertanya pada para pebulutangkis seperti Verawaty Fajrin dan Ivana Lie. Butuh waktu enam bulan bagi Siregar untuk mengenal satu per satu pemain pelatnas.
Namun, itu hanya masalah teknis sepele. Yang jauh lebih penting baginya, soal konsep. Maka untuk memompa mental atlet, Siregar pun menggandeng psikolog Belanda Dr. N. Singer. Ia juga mengajak ahli farmasi Titus Kurniadi. Dari dia pula Siregar ambil keputusan untuk mengasupi para atletnya mengonsumsi vitamin dan suplemen impor dari Amerika ketimbang melakukan blood doping, demi menghindari sanksi doping International Olympic Committee (IOC).
Untuk teknis di lapangan, pelatihan diserahkannya pada masing-masing pelatih. Christian Hadinata dipercayanya tetap menangani ganda putra, Rudy Hartono dan Indra Gunawan di tunggal putra, dan Liang Chiu Hsia di tunggal putri. Selebihnya, Siregar enggan ikut campur. Ia lebih ingin mengayomi demi menstabilkan mental pemain, mengingat para energi para atletnya sudah terkuras dalam latihan.
“Opa (Siregar) figur pengurus yang sangat kebapakan. Dia selalu mau mendengarkan orang lain dan sangat perhatian. Ia bukan orang Batak yang menggebu-gebu, cenderung kalem. Berkomunikasi dengannya selalu enak. Rasanya semua atlet bisa terbuka dengan opa. Kami semua menganggapnya seperti ayah,” ungkap Susi.
Baca juga: Ketika Rumah Susi Susanti Nyaris Dibakar
Tak ayal, Siregar disayang oleh anak-anak asuh dan para asistennya. Susi pernah begitu khawatir akan kondisi fisik Opa Siregar yang kendati kesehatannya sedang tidak prima namun berusaha selalu menemani pelatnas.
“Dia sangat sadar akan konsekuensi dan tanggungjawab tugasnya itu. Mungkin karena beban berat di pundaknya, dia sampai serangan jantung. Sebagai pribadi, yang saya pikirkan adalah berjuang untuk opa,” tambahnya.
Saat memantau para anak asuhnya sebulan sebelum pembukaan olimpiade, 6 Juni 1992, Siregar kena serangan jantung akibat penyempitan pembuluh darah di jantungnya. Serangan jantung itu dipicu kecemasan berlebih Siregar saat melihat Susi jatuh dengan kondisi split –hal yang biasa Susi lakukan sejak kecil sebagai penari balet. Dada kiri Siregar langsung nyeri. Ia lantas dibawa pelatih ganda campuran Richard Mainaky dan Aryono Miranat pulang ke Kemanggisan, Jakarta Barat.
Kondisi Siregar tak kunjung membaik hingga malam membuatnya dilarikan ke Rumahsakit Abdi Waluyo. Alhasil, ia gagal menemani para atletnya berangkat ke Barcelona karena lantas dirujuk ke rumahsakit San Francisco Heart Institute, Amerika Serikat.
Meski dirawat, pikirannya tetap melayang ke Barcelona. Larangan dokter tak menyurutkan keinginannya untuk bertemu “anak-anaknya”. Dokter pun akhirnya memberi Siregar izin berangkat ke Barcelona pada 19 Juli.
Bersama istri dan salah satu putrinya, Siregar tiba di Barcelona empat hari berselang. Dia langsung memberi wejangan agar menghiraukan dulu kabar-kabar yang berkembang di media nasional.
“Saya tak mau menerima kenyataan bahwa media massa di Jakarta hanya menumpahkan harapan pada Susi. Di sini ada 13 pemain. Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Kamu tak perlu takut lawan. Lawan yang harus takut sama kamu. Raket adalah temanmu,” tutur Siregar di hadapan ke-13 atletnya.
Baca juga: Di Balik Pernikahan Pasangan Emas Olimpiade
Siregar lantas memilih pulang ke tanah air lantaran dilarang dokter menonton langsung final cabang bulutangkis. Kondisi jantungnya belum bersahabat. Saat final tunggal putri, ia hanya dikabari pertandingannya oleh Richard Mainaky. Betapa haru perasaannya kala tahu Susi menang.
“Saya bermimpi Pak Siregar datang lagi (dalam tidurnya sebelum final). Itu berarti dorongan buat saya untuk memenangkan pertandingan. Gelar ini untuk Pak Siregar,” kata Susi.