Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Pernikahan Pasangan Emas Olimpiade

Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta Alan dan Susi ada karena terbiasa bersama di asrama

Oleh: Randy Wirayudha | 16 Jan 2019
Alexander Alan Budikusuma (kanan) & istrinya, Lucia Francisca Susi Susanti. (Instagram astecid).

SEKIRA 4000 orang undangan hadir di ballroom Hotel Gran Melia Kuningan, Jakarta, 9 Februari 1997. Selain para stakeholder bulutangkis, hadir pula stakeholder-stakeholder olahraga lain. Sebut saja Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar, Ketum PBSI Letjen (Purn) Soerjadi, Wakil Presiden keenam Try Sutrisno yang sebelumnya menjabat ketum PBSI selama dua periode.

Pengusaha sekaligus pemilik Klub Jaya Raya Ir. Ciputra tak ketinggalan. Jaya Raya merupakan klub yang menaungi Susi Susanti. Ciputra dan para hadirin hari itu datang untuk menghadiri pernikahan pasangan peraih dua emas pertama olimpiade, Alan Budikusuma dan Susi Susanti.

Baca juga: Kala jenderal rangkap jabatan pimpin PBSI

Advertising
Advertising

Resepsi megah dan unik juga digelar seminggu setelah keduanya menikah lewat upacara sakramen di Gereja Santo Yakobus, Jakarta Utara. Resepsinya dibuka dengan aksi pesenam Zainul Abidin yang melompati lingkaran bendera Olimpiade, lantas disambung prosesi Alan dan Susi mencium bendera merah putih.

Resepsi mewah dengan tema “Grand Athena Wedding” itu jadi satu dari sekian momen terbaik dalam hidup Alan-Susi. Alexander Alan Budikusuma (Goei Ren-fang) dan Lucia Francisca Susi Susanti (Wang Lian-xiang) menikmatinya lantaran lima tahun sebelumnya jadi dua orang pertama yang membuat sang saka merah putih berkibar di olimpiade, di Barcelona 1992.

Dua Perantauan di Pelatnas

Di balik pernikahan Alan-Susi itu, banyak titian berliku yang mereka lalui bersama. Jalan berliku itu terus mereka temui dari sejak saling mengenal hingga saat mengurus pernikahan.

Sejak masuk Pelatnas Senayan di akhir 1980-an, keduanya bisa dekat lantaran sama-sama perantau yang meretas karier bulutangkis di ibukota. Alan asal Surabaya, Susi datang dari Tasikmalaya. Berawal dari seringnya Alan meminjam buku dari Susi di asrama, keduanya menjalin asmara.

Witing tresno jalaran soko kulino, kata orang Jawa. Benih-benih cinta itu datang karena seringnya mereka ngobrol tentang bulutangkis dan keluarga masing-masing.

“Kami sudah mulai cukup dekat dan intens sejak 1989. Dikarenakan saya dan Susi jauh dari orangtua. Sama-sama perantauan. Tiap hari bertemu di Pelatnas dan itu membuat hubungan kami dekat. Kan tidak seperti sekarang. Gampang telefon keluarga, WA (pesan singkat WhatsApp) atau video call. Dulu telefon itu mahal,” kata Alan kepada Historia.

Alan Budikusuma berkisah tentang masa-masa pacaran hingga pernikahan dengan Susi Susanti (Randy Wirayudha/Historia).

Alih-alih mengganggu fokus latihan keduanya, asmara Alan-Susi justru sama-sama makin termotivasi. “Tujuan hubungan kami bukan semata-mata pacaran, tapi juga saling support. Orangtua saya dan Susi juga selalu mengingatkan. ‘Ingat lho, kamu bisa latihan di PB Djarum dan kemudian Pelatnas, sudah dikasih kesempatan bisa sampai terpilih menjadi salah satu tim nasional’. Jadi, pacaran sih oke, untuk mendukung yang positif, itu yang selalu diingatkan,” lanjutnya.

Alan mengakui, kadang terbersit sedikit rasa iri lantaran tak bisa pacaran dengan Susi laiknya muda-mudi seusianya. Saat yang lain bisa memadu kasih ke berbagai tempat dengan berbagai akvititas romantis, Alan dan Susi tetap disibukkan oleh  rutinitas tepok bulu.

“Hampir setiap hari ya di asrama. Ketemu di lapangan setiap latihan, di jam makan siang dan malam. Hanya bisa komunikasi saja di waktu-waktu itu. Tak seperti pacaran orang lain, malam mingguan, nonton. Kalau senggang paling ramai-ramai juga pergi ke luar Pelatnas naik bus sama yang lain. Ya seperti itulah keadaannya,” sambung Alan.

Baca juga: Cinta Kasih Susi Susanti untuk Negeri

Kesibukan latihan lebih meningkat saat keduanya sama-sama dalam persiapan Olimpiade Barcelona 1992, saat bulutangkis untuk kali pertama jadi cabang resmi. Susi bersama Sarwendah Kusumawardhani terpilih dua andalan tunggal putri Indonesia. Sementara, Alan bersama Ardy B Wiranata dan Hermawan Susanto (kini suami Sarwendah) jadi andalan di nomor tunggal putra.

Baik Susi maupun Alan mesti konsentrasi dengan program-program latihan yang porsinya lebih dari biasanya. “Hampir selalu kita enggak bisa bangun dari lapangan sehabis latihan berat itu. Tapi memang saya dan Susi berkomitmen dan saling kasih motivasi bahwa kita harus fokus dulu. Hampir tak ada waktu senggang karena kita butuh lebih banyak waktu untuk recovery. Kita kesampingkan hal-hal pribadi dan lebih fokus untuk olimpiade,” kenang Alan.

Perkara SBKRI

Kerja keras dan pengorbanan Alan dan Susi tak sia-sia. Pada Februari 1997, keduanya memutuskan melepas masa lajang. Namun, masalah kembali menghadang. Kendati pasangan emas olimpiade itu besar jasanya buat Indonesia, Alan dan Susi kesulitan mengurus pernikahan lantaran tersandung kebijakan diskriminatif bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

“Yang pasti adalah, seluruh pengurusan, baik pembuatan dan perpanjangan paspor, pernikahan, selalu diminta SBKRI karena itu yang paling pokok. Kalau enggak punya itu, apapun pengurusan tidak bisa keluar,” kata Alan.

Baca juga: Kristalisasi Keringat dan Air Mata Susi Susanti

Kendati SBKRI sudah dianulir Presiden Soeharto lewat Keppres Nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, praktik persyaratan SBKRI masih eksis sampai awal Orde Reformasi. Tapi setelah Susi banyak protes lewat beragam media, pengurusan dokumen pernikahannya bisa dirampungkan dengan segera.

“Iya setelah Susi bicara di media-media jadinya lebih mudah. Tapi tetap saja terus terang saya kecewa. Kenapa kami harus dipertanyakan. Padahal saya juga sudah berbuat banyak. Saya juga lahir di Indonesia. Orangtua saya lahir di Indonesia. Kelak, kita pun ingin meninggal di Indonesia. Makanya saya selalu mempertanyakan SBKRI kenapa harus ada? Kenapa saya dipertanyakan tidak nasionalis. Padahal saya nasionalis, saya orang Indonesia walaupun saya etnis Tionghoa,” kata Alan sambil berkaca-kaca matanya.

Baca juga: Thomas Cup yang Diraih Saat Indonesia Dilanda Huru-Hara

Beruntung, masa sulit itu segera berganti dengan kebahagiaan pernikahan. Pernikahan Alan-Susi, tulis Majalah Bulutangkis edisi Maret 1997, ongkosnya mencapai Rp1 miliar. Gaun pengantin Susi dirancang mewah, plus mahkota berlian berbobot 15 kilogram.

“Kami dibantu banyak teman-teman. Gaunnya Susi dibikin Pak Kim Thong. Jas saya dari Richard Costume and Design. Panggung, dekorasi, semua mereka bantu kami. Jadi sebenarnya biaya untuk pernikahan dari kami sendiri ya minim. Karena mereka melihat suatu kebanggaan karena kita kan couple, juara olimpiade pertama dan mereka ingin bantu. Saya sangat berterimakasih pada mereka semua,” tandasnya.

TAG

susi susanti bulutangkis

ARTIKEL TERKAIT

Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Torehan Medali Olimpiade dari Sabetan Raket Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Kala Liem Swie King Bicara Mental Tak Mau Kalah Cerita Liem Swie King Terobos Banjir Badminton is Coming Home! Menguber Uber Cup Putri Bulutangkis dengan Segudang Prestasi Elizabeth Latief dan Semangat Kartini Indonesia dan Kejayaan All England