MEI 1998. Huru-hara melanda ibukota dan beberapa kota lain Indonesia. Periode 13-14 Mei menjadi puncak chaos bernuansa rasialis. Rumah dan pertokoan milik orang Tionghoa nyaris tak ada yang luput jadi sasaran penjarahan dan pembakaran. Puluhan bahkan ratusan orang Tionghoa jadi korban pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
Namun di tengah gejolak itu, setitik embun penyejuk datang dari para pendekar bulutangkis yang bertarung di Thomas dan Uber Cup di Hong Kong. Ironisnya, embun itu datang justru dari mereka yang mayoritas keturunan Tionghoa.
Sumbangan untuk Tim Thomas & Uber Cup
Krisis moneter, pemantik kerusuhan rasialis itu, berimbas besar kepada PBSI. Induk bulutangkis Indonesia itu kekurangan dana untuk mengirim Yap Seng Wan alias Hendrawan dkk. ke Hong Kong. Dana operasional PBSI tak mencukupi.
Ketua PBSI cum KSAD Jenderal TNI Subagyo H.S. lalu mencari dana di luar dana abadi PBSI. Upayanya berhasil menghimpun bantuan dari pengusaha. “Malam ini (Selasa, 21 April 1998), tercatat seluruhnya 35 pengusaha yang dengan sukarela memberikan sumbangan yang terkumpul Rp74 miliar,” ujar Subagyo, dimuat Kompas 22 April 1998. Dana itu cukup untuk memberangkatkan tim Thomas dan Uber ke Hong Kong.
Baca juga: Thomas Cup, Piala Dunia-nya Bulutangkis
Pemberian bantuan itu, kata Subagyo, dilakukan secara transparan, melalui bagian keuangan. Dia menolak yang lain dari pada itu (tidak transparan tanpa melalui bagian keuangan), seperti yang coba dilakukan Pengusaha Aburizal Bakrie dengan berupaya melayangkan bantuan langsung kepada Subagyo.
“Dari awal sudah selalu saya ingatkan, semua dana harus transparan. Jangan lupa, saya juga yang nanti akan mempertanggungjawabkannya,” lanjut perwira tinggi matra darat kelahiran Piyungan, Yogyakarta, 12 Juni 1946 itu.
Perjuangan di Tengah Gejolak
Selesai masalah pendanaan tak berarti masalah yang membelit PBSI kelar. Gejolak batin tetap menghambat, terutama bagi para anggota tim berdarah Tionghoa seperti Hendrawan, Chandra dan Indra Wijaya, Haryanto Arbi, Susi Susanti, dan Mia Audina. Mereka risau akan sanak-famili di tanah air.
Namun, gejolak batin itu akhirnya bisa mereka atasi. Bahkan ketika PBSI menargetkan tim Indonesia agar mempertahankan dwigelar Thomas dan Uber Cup, mereka tak keberatan.
Toh, suasana tak umum itu memicu PBSI melonggarkan aturan kepada para anggota tim. “Pengurus pun mengambil kebijakan bagi para atlet bisa bebas bertelefon ke Jakarta. Tujuannya agar pemain bisa tahu keadaan keluarganya di Tanah Air,” tulis Carmelia Sukmawati dalam biografi berjudul Subagyo HS: KASAD dari Piyungan.
Baca juga: Piala Uber Lambang Supremasi Bulutangkis Putri
Meski diliputi kekhawatiran, para atlet berupaya tetap fokus pada tugas utama. Tim Uber berhasil mencapai final. Sayang, di partai puncak mereka dikalahkan RRC 1-4. “Kerusuhan yang cenderung bersifat rasial itu sedikit banyak berpengaruh pada anggota tim,” tulis Carmelia.
Berbeda dari tim Uber, tim Thomas berhasil mengatasi gejolak batin lebih baik. Lawan demi lawan mereka libas hingga mereka tiba laga final. Batalnya Subagyo datang ke Hong Kong –lantaran keadaan tanah air tak memungkinkannya sebagai orang nomor satu di angkatan darat meninggalkan gelanggang– sebagaimana dia janjikan sebelumnya, tak menyurutkan spirit tim Thomas Indonesia.
Baca juga: Raihan Uber Cup Seharga Kain Brokat
Di partai puncak yang dimainkan di Stadion Queen Elizabeth, 24 Mei, Hendrawan berhasil memenangkan nomor tunggal putra. Di dua nomor ganda putra, pasangan Chandra Wijaya/Sigit Budiarto dan Ricky Subagdja/Rexy Mainaky juga memenangkan keduanya. Indonesia sukses menundukkan Malaysia 3-2, Thomas berhasil dipertahankan.
Gelar Thomas Cup ke-11 itu menjadi hadiah menyejukkan bagi publik tanah air. Kedatangan tim langsung disambut suasana gembira sekaligus haru. “Pak Bagyo menangis haru dan menyampaikan rasa terima kasih atas perjuangan di Hong Kong,” cetus manajer tim dikutip Kompas 24 Mei 1998.
Baca juga: Public Enemy Bernama Scheele