Orang mengenalnya sebagai legenda bulutangkis Indonesia. Bersama timnya, dia ikut mengantarkan Indonesia menjuarai Thomas Cup pada 1958, 1961, dan 1964. Dialah Ferry Sonneville.
Ferry merupakan anak dari pasangan Dirk Jan Sonneville –yang berdarah Belanda-Perancis–dan Leoni Elizabeth de Vogel –berdarah Indo-Belanda. Dirk kelahiran Maos, daerah Banyumas, pada 22 Juli 1906. Dirk bekerja di perusahaan gas di sekitar Jatinegara, Jakarta. Hidup mereka berkecukupan untuk ukuran zamannya. Mereka tinggal di bilangan Kemayoran.
“Sang suami gemar bermain tenis dan bahkan pernah menjadi juara tenis di Jakarta. Sedang sang istri gemar bermain bulutangkis, dan terkenal sebagai pemain yang tangguh,” tulis Wisnu Subagyo dalam Ferry Sonneville, Karya dan Pengabdiannya.
Pada 1935, Leoni jadi juara tunggal putri bulutangkis di Jakarta. Namun, rumahtangganya dengan Dirk tidak lama. Mereka bercerai setelah punya anak bernama Ferdinand Alexander Sonneville alias Ferry Sonneville pada 3 Januari 1931.
Dirk nikah dengan perempuan Ambon bermarga Noya. Sedangkan Leoni nikah lagi dengan Eduard Antonius Hubeek, seorang pegawai kantor gubernur. Perkawinan Leoni kali ini juga menghasilkan anak yang disapa Tonny.
Namun, belum lama bahtera rumahtangga Leoni dibina, Perang Dunia II pecah. Perang itu juga menjadi masa kehilangan bagi Leoni. Dia kehilangan mantan suaminya dan juga suaminya. Menurut arsip pribadi Oorlogsgraven Stichting (OGS) atas nama Dirk Jan Sonneville, Dirk yang sebelum Maret 1942 menjadi brigadir tentara di Hindia Belanda termasuk tawanan perang yang dieksekusi tentara Jepang di Ancol, Jakarta sekitar 12 Desember 1944. Bersama beberapa orang yang lain, Dirk sempat ditahan di bekas gedung Konsulat Perancis di Jakarta. Dirk dieksekusi atas keterlibatannya dalam gerakan sabotase bawah tanah bersama tawanan perang lain.
Sementara, Eduard Antonius Hubeek merupakan milisi setelah perang pecah. Informasi dalam kartu tawanan perang atas nama dirinya menyebutkan, Hubeek dimilisikan sebagai prajurit kelas dua sebelum Maret 1942, waktu di mana Jepang menguasai bekas Hindia Belanda. Dia lalu menjadi tawanan perang Jepang dan pada 1943 dibawa ke Jepang. Hubeek ditempatkan di Fukuoka namun pada 6 Januari 1945 jatuh sakit dan meninggal karena pneumonia enam hari berikutnya. Jenazahnya kemudian dikremasikan.
Di masa pendudukan Jepang, Ferry bertahan hidup dengan berjualan ikan. Pendidikannya yang baru setingkat sekolah dasar berantakan di zaman sulit itu. Dia kerap berganti pekerjaan.
Di zaman Jepang itu pula, seperti ditulis majalah Express, Ferry belajar beladiri jiujitsu pada seorang perwira tentara Jepang. Sebagai murid tunggal, Ferry tentu bisa lebih menyerap ilmu yang diajarkan lebih lengkap. Maka setelah 1950, dia menjadi guru jiujitsu yang sangat terkenal di sekitar Jakarta.
Judo dan Jiujitsu merupakan martial art populer di era 1950-an. Koran De Nieuwsgier tanggal 9 November 1953 memberitakan, minat pada dua olahraga beladiri asal Jepang itu meningkat.
Kendati Ferry sudah dikenal sebagai juara bulutangkis, ia tak segan mengajar jiujitsu yang dibukanya. Ferry mengajar di Balai Prajurit dan Krekot. Muridnya beragam, dari remaja laki-laki, pegawai bank, pegawai perusahaan dagang, hingga para polisi. Polisi yang diajarinya merupakan anggota Brigade Mobil, Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN), dan Jawatan Resersi. Usia muridnya rata-rata antara 10 hingga 50 tahun.
Koran De Vrije Pers edisi 13 Juli 1954 memberitakan, Ferry bersama Buddy Leng mengadakan demontrasi judo dan jiujitsu pada pertengahan 1954. Keduanya memperagakan bagaimana mengunci dan membanting lawan.
Namun, dunia jiujitsu kemudian harus ditinggalkan Ferry karena dia harus kuliah ekonomi di Rotterdam. Di masa inilah dia menjadi juara dunia bulutangkis hingga namanya melegenda. Setelah karier bulutangkisnya meredup pada 1965, Ferry pernah memimpin Yayasan Trisakti, yang ditunjuk Jenderal Abdul Haris Nasution mengambil alih bekas kampus Res Publica yang dicap kiri.