BULUTANGKIS Indonesia sedang tidak baik sepanjang tahun ini. Terlepas dari hanya All England sebagai satu-satunya gelar bergengsi yang diraih, prestasi para wakil Indonesia menukik drastis. Paling getir adalah kegagalan total di Asian Games ke-19 di Hangzhou, China, 23 September-8 Oktober 2023.
Untuk pertamakalinya sejak 1962, Indonesia gagal meraih sekeping pun medali dari cabang bulutangkis. Sebagai salah satu negara adidaya bulutangkis, Indonesia lazimnya meraih setidaknya satu emas di pesta olahraga terbesar se-Asia itu. Prestasi bulutangkis Indonesia terendah sebelumnya terjadi di Asian Games 1986 dengan hanya memetik empat perunggu. Selain dari nomor ganda putra (Liem Swie King/Bobby Ertanto), perunggu itu datang dari nomor ganda putri (Rosiana Tendean/Imelda Wiguno), serta tim beregu putra dan putri.
Tahun ini merupakan tahun kelam. Di Kejuaraan Dunia atau bahkan Indonesia Open di rumah sendiri, Indonesia gagal total. Diperparah di Asian Games. Atas kegagalan itu, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (kabid binpres) PBSI Rionny Mainaky mengaku bertanggungjawab.
“Saya atas nama tim bulutangkis Indonesia meminta maaf kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga, Komite Olimpiade Indonesia, dan seluruh masyarakat Indonesia atas kegagalan ini. Hasil ini tanggung jawab saya sebagai Kabid Binpres,” ungkap Rionny di laman resmi PBSI, 9 Oktober 2023.
Sesampainya di Jakarta, PBSI menggelar evaluasi. Dari 16 poin yang disampaikan di Pelatnas PBSI di Cipayung pada 11 Oktober 2023, salah satu yang paling digarisbawahi adalah persoalan mental. Para pemain terlampau terbebani tekanan harus juara dan tidak boleh kalah hingga berujung tak bisa mengeluarkan performa terbaik.
Baca juga: Richard Mainaky "Tukang Pukul" dari Ternate
Mental Juara King Smash
Medio Februari 2019 di kediamannya yang asri di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Liem Swie King memposisikan punggungnya di sofa besar warna krem di ruang tamunya untuk mendapatkan kenyamanan. Meski kadang menyunggingkan senyum kecil, pembawaannya yang serius seperti tak pernah pudar. Terlebih saat sudah menyinggung bagaimana kerasnya ia menempa fisik dan mental semasa jadi pemain kurun 1971-1988.
Siapa tak mengenal legenda hidup berjuluk “King Smash” itu. Segudang prestasi yang mengharumkan nama besar Indonesia pernah diraihnya. Kejuaraan Asia, SEA Games, Asian Games, Kejuaraan Dunia, Piala Dunia, All England hingga Thomas Cup, semua pernah diraihnya.
Sebagai manusia, King jelas pernah mencicipi getirnya kekalahan. Di berbagai turnamen pernah mengalaminya, termasuk di sejumlah Asian Games. Pada Asian Games 1974, ia hanya sanggup membawa pulang perunggu. Di Asian Games 1982, dia harus puas dengan perak. Sementara di Asian Games 1986, lagi-lagi sekadar memetik perunggu.
“Kan kita sudah latihan mati-matian tapi kan ya namanya olahraga, ada menang dan ada kalah. Kalau sedang kalah itu ya merasa tercambuk, wah harus latihan lagi. Tiap mengalami kekalahan ya pahit karena waktu itu runner-up apapun dianggap kalah. Jadi targetnya harus juara,” kata King mengenang, kepada Historia.
Baca juga: Keluar dari Bayang-Bayang Liem Swie King
Cambukan bernama “kekalahan” itu selalu jadi salah satu faktor buat King untuk acap menambah sendiri porsi latihan. Baik selama masih meniti karier di PB Djarum maupun di Pelatnas PBSI.
“Dulu latihan selalu nambah. Swie King dulu habis lari ‘trap-trapan’ ke (Gunung) Muria, masih mau nambah. Kuat banget memang fisiknya Swie King,” jelas Anwari, salah satu pelatih pertama Swie King di PB Djarum, saat ditemui Historia di Kudus, medio Januari 2019.
Bagi King, kebugaran fisik jadi unsur terpenting untuk jadi nomor wahid. Memang, masa itu turnamen tak sebanyak sekarang yang bertebaran turnamen-turnamen terbuka. Namun tantangannya, kala itu setiap pemain diharuskan bisa bermain rangkap.
“Dulu awalnya saya tunggal, lalu sering double (ganda, red). Dengan Pak Chris (Christian Hadinata), dengan Kartono. Waktu masih muda fokus enggak terpecah ya. Latihan saya keras. Fisik saya cukup bagus, jadi merangkap saya kuat. Sampai Thomas Cup 1984 juga masih merangkap. Di pelatnas tunggal dan double, latihannya bareng. Ketika teman sparring kurang, saya sering masuk. Yang paling dekat dan paling pas double saya dengan Christian. Ya karakternya, tipenya Christian juga cocok dengan tipe saya,” sambung King.
Baca juga: Gelar Juara Dunia yang Tak Disangka Christian Hadinata
Jika saat ini yang paling jadi keuntungan adalah fasilitas latihan dan iming-iming guyuran bonus besar, di era King keuntungan terbesarnya adalah justru bisa sekaligus menempa mental dengan sparring dengan banyak pemain juara. Sparring melawan Rudy Hartono, misalnya.
“Pertandingan itu kan suatu ujian buat kita. Latihannya sudah benar, belum? Apa yang kurang? Makanya sparring di pelatnas juga penting. Karena kita latihannya sama juara dunia semua. Waktu itu bisa ngalahin Rudy Hartono sudah kayak juara dunia. Jadi targetnya gampang, di depan mata. Saya anggap sparring itu guru, latihan paling penting. Dari situ kita bisa banyak belajar,” kenangnya lagi.
Prinsip King begitu simpel. Jika kalah di satu pertandingan penting, kemauan untuk berlatih lebih keras harus terus menyala. Tak peduli jika ia kemudian menang dan juara zonder mendapat imbalan bonus besar.
“Memang enggak ada imbalan apa-apa tapi mati-matian latihan sampai enggak lanjutin sekolah. Hanya kebanggaan kalau kita menang. Tapi kan (juara) itu cita-cita. Bisa mencapai, ya di situ kepuasannya. Beda mungkin dengan sekarang. Jiwa pemain harus punya jiwa integritas yang tinggi. Bahwa uang bukan yang utama tapi prestasi,” tutur King.
Baca juga: Gelar Bulutangkis Demi Ibu Pertiwi
Oleh karenanya bagi King, menjadi aneh ketika semua fasilitas sudah lebih maju dan memadai dibanding eranya tapi justru prestasi bulutangkis Indonesia bak jalan di tempat. Di era modern yang kekuatan bulutangkis dunianya makin merata, bakat saja takkan cukup jika tak dibarengi dengan kemauan untuk berlatih ekstra keras dan menempa mental tidak mau kalah.
“Meski dia berbakat tapi kalau yang lainnya engak melengkapi ya enggak bisa. Untuk mencapai sesuatu itu harus berjuang, berlatih keras, dan pantang menyerah. Itu sifat dasar yang harus dimiliki semua pemain. Itu syarat itu. Fasilitas sudah demikian maju, tinggal kemauan sama sifat enggak mau menyerah, enggak mau kalah harus dimiliki tiap atlet,” lanjutnya.
“Kalau dia mentalnya enggak mau all out, ‘kalau kalah ya sudah’, ya enggak boleh prinsip begitu. Sekarang kalah, lain kali prinsipnya harus menang. Harus lebih keras latihannya. Kalau yang ‘nerimo-an’ (kalah) ya gimana? Sekarang banyak yang enggak punya kemauan dan integritas seperti pemain dulu, mau capek, mau berjuang. Kalau enggak punya itu ya susah walau bakatnya bagus apalagi malas, ya susah,” tandas King.
Baca juga: Indonesia dan Kejayaan All England