Tukang Pukul dari Ternate
Jadi debt collector setelah pensiun dari bulutangkis, nasib Icad “diselamatkan” Christian Hadinata. Lebih berhasil sebagai pelatih.
TANPA kenal lelah, tangan kanan Richard Mainaky terus mengayunkan raket untuk memukul kok yang diumpan tangan kirinya. Laju demi laju deras kok itu lalu mengarah ke Gloria Emanuelle Widjaja yang berada di seberang net. Begitu intensnya Richard menggojlok skill antisipasi anak asuhnya itu sampai tumpukan kok yang ada ludes.
Gloria merupakan satu dari beberapa anak didik Icad (sapaan akrab Richard Mainaky) di Pelatnas PBSI, di mana dia sudah lebih dari dua dekade jadi spesialis pelatih ganda campuran. Pagi itu, Jumat 11 Januari 2019, Icad sedang tidak membesut pasangan top Indonesia Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir lantaran keduanya sedang rehat untuk menghadapi Indonesia Masters 2019, yang –dihelat pada 22-27 Januari– akan jadi turnamen perpisahan Liliyana sebelum pensiun.
Kendati usianya sudah 53 tahun, Icad masih segar dan fisiknya masih tegap dan kekar bak tukang pukul. Kerasnya genggaman saat bersalaman menandai reputasinya, yang kadang dijuluki “pelatih bertangan besi” atau “raja tega” oleh beberapa pemain binaannya.
“Saya prinsip begini. Sebenarnya pelatih itu bukan pintar ya. Dia harus mau tegas, disiplin, kerja keras. Itu yang membuat atlet berhasil. Kalau pelatih cuma pintar tapi tidak tegas dan kerja keras, mau pemain bagaimanapun, akan sulit. Jadi saya punya prinsip harus tegas, agar pemain punya disiplin dan semua harus jalan,” ujarnya kepada Historia.
Perantau dari Indonesia Timur
Lahir di Ternate, Maluku Utara pada 23 Januari 1965, Richard Leonard Mainaky memiliki perangai keras. Icad gemar bertualang, berburu kelelawar, hingga berkelahi.
Dalam 50 Kisah Sukses dan Inspiratif Diaspora Indonesia karya Fairuz Mumtaz disebutkan, Icad jadi anggota Dinasti Mainaky pertama yang lantas jadi panutan empat dari enam adiknya: Rionny Frederik Lambertus Mainaky, Rexy Ronald Mainaky, Marleve Mario Mainaky, dan Karel Leopold Mainaky.
Richard Leonard Mainaky saat ditemui di Pelatnas PBSI. (Randy Wirayudha/Historia)
Icad dan adik-adiknya dikenalkan bulutangkis oleh ayahnya, Jantje Rudolf Mainaky. “Papi saya itu juara bulutangkis se-Maluku. Jadi Papi saya kirim kita semua main bulutangkis. Padahal dulu zaman kecil, bukan itu cita-cita kami. Saya ingin jadi tentara. Rexy sebenarnya hobi sepakbola, Marleve senangnya tinju,” kenang Icad.
Icad diarahkan bulutangkis oleh pamannya saat sudah diajak merantau ke Jakarta. Dia lalu masuk PB 56 dan dilatih Darius Pongoh, ayah dari pebulutangkis era 1980-an Lius Pongoh. Saat PB 56 bubar, Icad dibawa Darius ke PB Tangkas hingga mampu menembus Pelatnas PBSI Senayan pada 1989.
Baca juga: Kisah haru Lius Pongoh persembahkan gelar juara untuk mamanya tercinta
Sayang, di Pelatnas kariernya kurang moncer. Penyababnya, tulis Broto Happy Windomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia, kemungkinan lantaran pelatih Christian Hadinata dan Atik Djauhari kerap membongkar-pasang Icad. Hingga awal 1990, Icad bergonta-ganti spesialisasi dari tunggal putra ke ganda putra, lantas ke ganda campuran.
Dari gonta-ganti itu pula Icad punya banyak pasangan. Bermula dari Joko Mardianto, Icad lalu berpasangan dengan Icuk Sugiarto, Aryono Miranat, Imay Hendra, Bagus Setiadi, Thomas Indratjaya, hingga Ricky Subagdja. Tapi sampai diduetkan dengan Ricky, karier Icad pun sulit terdongkrak. Prestasi terbaik Icad bersama Ricky hanya menjuarai Polish International pada 1991. Tiga tahun berselang Icad, mundur dari Pelatnas.
Dari debt collector ke pencetak juara
Setelah pensiun dari Pelatnas, Icad ikut melatih di PB Tangkas selama dua tahun. Tapi lantaran masih banyak waktu luang, Icad sering ikut pamannya jadi debt collector alias penagih hutang.
“Sambil melatih kan banyak lowong (waktu) ya. Ya namanya kita dari Maluku, kan. Kebetulan ada saudara saya, Om saya, semua kan memang pekerjaannya begitu. Ada yang jadi bodyguard lah, ada yang jadi preman lah, ada yang jadi tim debt collector. Nah, saya sempat ikut nagih-nagih hutang,” tutur Icad.
Pada 1996, Icad kembali terjun ke dunia bulutangkis dengan menjadi pelatih di Pelatnas. “Awalnya sudah mulai keenakan jadi debt collector, tapi lalu dipanggil Koh Chris (Christian Hadinata). Ya saya senang. Beruntunglah saya. Kalau Koh Chris enggak panggil, mungkin ya bisa keterusan. Bisa-bisa jadi kayak John Kei, hahahaha…,” ujar Icad sambil bercanda.
Selain banyak belajar dari Christian Hadinata, Icad mengaku mengandalkan insting dalam melatih. Takdir mengatakan, Icad ternyata lebih sukses jadi pelatih ketimbang jadi pemain.
Baca juga: Christian Hadinata melegenda sebagai pemain dan pelatih terinspirasi Franz Beckenbauer
Kesuksesan Icad melatih dibuktikan antara lain dari prestasi duet ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur yang prestasi tertingginya meraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 dan keberhasilan Nova Widiyanto/Liliyana Natsir juara dunia tahun 2005. Icad kemudian membesut Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet). Keduanya berhasil juara All England, Kejuaraan Dunia, dan yang paling membanggakan, meraih medali emas Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro.
Hampir bersamaan dengan masuknya Liliyana Natsir ke PB Djarum, Icad juga turut bergabung ke PB Djarum. Sejak 2018, Icad turut membantu memantau bibit-bibit muda di Audisi Umum PB Djarum selain sibuk mempersiapkan pasangan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti untuk jadi penerus Owi/Butet.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar