Indonesia dan Kejayaan All England
Indonesia merajai All England pada 1979. Capaian dahsyat itu hingga ini belum bisa digeser.
TURNAMEN All England yang selama ini dibanggakan oleh rakyat Indonesia karena telah melahirkan banyak juara, tahun ini ibarat “penjahat”. Tak satupun pebulutangkis Indonesia memiliki peluang untuk mempertahankan tradisi juara di turnamen bulutangkis tertua itu. Induk bulutangkis dunia, BWF, mengumumkan dalam laman resminya, Kamis (18/3/2021), tim Indonesia terpaksa mengundurkan diri dari All England ke-113 (17-21 Maret 2021) karena dalam pesawat yang ditumpangi tim Indonesia pada 13 Maret lalu terdapat satu penumpang yang terpapar virus COVID-19 setelah melalui tracing yang dilakukan otoritas kesehatan Inggris.
Alhasil pemerintah Inggris mewajibkan seluruh penumpang, termasuk tim Indonesia, untuk karantina selama 10 hari terhitung dari hari pertama mereka tiba di Inggris, 13 Maret. Itu artinya, tim Indonesia takkan bisa datang ke venue di Utilita Arena Birmingham.
Menanggapi hal itu, manajer tim Ricky Soebagdja mengaku tak bisa bernegosiasi lebih jauh. Panitia turnamen maupun BWF juga tak bisa berbuat banyak karena itu merupakan kebijakan pemerintah Inggris.
“Kami sebetulnya masih berharap permasalahan ini bisa diselesaikan, artinya memungkinkan untuk tim Indonesia bisa tampil kembali. Namun karena ini sudah aturan dari pemerintah Inggris, jadi harus kita ikuti. Kerugian ini sangat luar biasa dan tak disangka-sangka bisa terjadi di All England ini,” kata Ricky menyesali, dikutip laman resmi PBSI, Kamis (18/3/2021).
Indonesia kali ini mutlak nirgelar di All England. Padahal, di hampir setiap gelarannya Indonesia selalu menempatkan minimal satu wakilnya yang menyabet gelar. Tahun lalu, 2020, pasangan ganda campuran Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti tercatat sebagai juara.
Baca juga: All England dari Masa ke Masa
Merajai All England
Meski setiap gelaran All England selalu melahirkan juara asal Indonesia, prestasi terbaik Indonesia di All England adalah All England tahun 1979 (21-25 Maret) yang dihelat di Wembley Arena. Indonesia pulang dengan menyabet empat dari lima gelar yang diperebutkan saat itu.
Tim Indonesia kala itu diisi para bintang yang tengah memasuki masa puncak. Di antaranya tunggal putra Liem Swie King dan ganda putra Tjun Tjun/Johan Wahyudi. Pelatnas untuk persiapannya dipindah dari Senayan ke Bandung pasca-Asian Games 1978.
“Pelatnas kita persiapan untuk All England dipindah ke Bandung karena kita pikir di Inggris kan dingin ya. Kita coba menyesuaikan iklim yang kurang lebih udaranya dingin, tidak seperti di Senayan,” kata Christian Hadinata mengenang, kepada Historia.
Baca juga: Christian Hadinata Ingin Seperti Beckenbauer
All England 1979 jadi momen spesial buat Christian. Ia seperti mengulang cerita pada pertamakali juara di All England 1972 di nomor ganda putra.
“Tahun 1979 momennya kurang lebih sama dengan waktu 1972. Tahun 1979 itu saya ganda campuran dengan Imelda (Wiguno), itu sama prosesnya. Mana ada pemain Asia, dari Indonesia (ganda) campuran, apalagi di All England. Sebelum kita juara di 1979, juara-juaranya orang Eropa semua. Karena ganda campuran itu Eropa lebih populer, di Asia tidak populer, tidak diminati, tidak diseriusi,” lanjutnya.
Pada All England 1979, Christian turun di ganda putra dan ganda campuran. Itu juga menjadi sejarah tersendiri di mana Indonesia jadi tim Asia pertama yang menurunkan pemain di ganda campuran.
“Waktu itu kita janjian sama Imelda. Saya bilang, ‘ayo kita main rangkap, berani enggak?’ Saya main ganda putra juga, Imelda ganda putri juga. Fisik kita juga harus ditingkatkan karena main dua nomor. Itu pertama kali juga 1979 ada ganda campuran dari Asia,” tambah Christian.
Baca juga: Ganda Putra Yang Terbuang dan Gemilang
Keseriusan dalam persiapan juga dilakoni Liem Swie King. Liem dibebani oleh “keharusan” mempertahankan gelar perdananya yang direbut pada 1978. Liem jadi unggulan pertama setelah memenangi Piala Dunia Bulutangkis di Tokyo, Jepang pada Januari 1979.
“Setelah menang di Jepang, aku bertekad untuk mempertahankan juara All England pada tahun 1979. Dalam All England tahun ini, aku juga diunggulkan di peringkat pertama setelah Prakash Padukone (India), Flemming Delfs (Denmark), dan Morten Frost Hansen juga dari Denmark,” ungkap Liem dalam otobiografinya, Panggil Aku King.
Di nomor ganda putra, Indonesia kembali menurunkan langganan juara Tjun Tjun/Johan Wahyudi di samping pasangan Christian Hadinata/Ade Chandra. Sejak 1974 hingga 1978, Tjun Tjun/Johan tak pernah puasa gelar juara di All England.
Benar saja keputusan yang diambil kepala tim. Mayoritas wakil Indonesia tak terbendung sejak babak 32 besar. Saat dua kompatriotnya, Lius Pongoh dan Dhany Sartika, tumbang di perempatfinal, Liem melaju sampai babak puncak di mana ia bersua Delfs. Hanya butuh dua set buat Liem untuk merengkuh gelar All England keduanya.
Kecemerlangan Liem disusul pasangan ganda putri Verawaty Wiharjo/Imelda Wiguno. Di final, mereka menekuk duet Jepang Atsuko Tokuda/Mikiko Takada lewat permainan sengit tiga set, 15-3, 10-15, dan 15-5. Imelda juga menyumbang gelar ketiga bagi Indonesia lewat ganda campuran, berpasangan dengan Christian. Di final, mereka mempecundangi duet tuan rumah (Inggris) Mike Tredgett/Nora Perry, 15-1 dan 18-17.
Sayangnya di ganda putra, Tjun Tjun/Johan nyaris tak bisa mengikuti kegemilangan tiga nomor sebelumnya. Pasalnya saat melakoni semifinal kontra pasangan Yoshitaka Iino/Masao Tsuchida (Jepang), Tjun Tjun/Johan dinyatakan kalah WO (walk out) oleh wasit Alan Jones. Menurut jurnalis olahraga Broto Happy Wondomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia, keputusan kontroversial itu terjadi di gim ketiga, di mana Tjun Tjun/Johan menang di set pertama dengan 15-6 namun dikalahkan di set kedua, 14-17.
Kontroversi terjadi saat Tjun Tjun/Johan dianggap terlalu lama mengambil waktu break jelang gim ketiga sehingga terlambat lima menit kembali ke lapangan. Keputusan itu membuat PBSI tak tinggal diam. RAJ Gosal, pengurus PBSI dan BAC (Konfederasi Bulutangkis Asia), langsung menegosiasikan kontroversi itu kepada wasit kehormatan Herbert Scheele.
“Rayuan terpaksa diluncurkan Gosal kepada Scheele, karena akibat keterlambatan Tjun Tjun/Johan masuk lapangan pada gim ketiga dan dinyatakan WO dan memberikan kemenangan pada ganda Jepang. Berkat diplomasi Gosal, pertandingan bisa diteruskan setelah wasit diganti,” tulis Broto.
Kesempatan itu tak disia-siakan Tjun Tjun/Johan. Kendati harus melewati pertandingan sengit, Tjun Tjun/Johan akhirnya menang 18-17. Di partai final, keduanya menang mudah, 17-16 dan 15-3, melawan duet asal Swedia, Stefan Karlsson/Claes Nordin.
Hanya gelar tunggal putri yang terlepas dari tangan Indonesia. Verawaty, yang juga turun di ganda putri dan juara bersama Imelda, jadi satu-satunya wakil Indonesia. Di tunggal putri, Verawaty kalah di babak 16 besar dari tunggal Jepang Saori Kondo, 6-11 dan 3-11.
Baca juga: Kawin-Cerai di Ganda Campuran
Kendati gagal sapu bersih, raihan empat gelar tim Indonesia di All England 1979 jadi headline di berbagai media mancanegara. Suratkabar Malaysia Berita Harian pada edisi 26 Maret 1979 menulis headline: “Pemain2 Indon Menangi Empat Gelaran England”.
“Indonesia telah menguasai Kejohanan Badminton Seluruh England yang berakhir di sini malam tadi. Pemain-pemain Indonesia memenangi empat dari liga (lima, red.) gelaran yang dipertandingkan, termasuk kemenangan pertama dalam bahagian bergu campuran. Kejayaan menonjol pemain-pemain wanita Indonesia dalam pertandingan yang beberapa tahun dikuasai pemain-pemain Eropah itu membuktikan bahawa negara tersebut benar-benar diakui sebagai negara terkuat dalam lapangan badminton dalam dunia dan tumpuan utama sepanjang pertandingan itu,” demikian koran negeri jiran memberitakan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar