PLAZA de las Tres Culturas di Distrik Tlatelolco, Mexico City masih disesaki sekitar 10 ribu massa mahasiswa dan pelajar di pengujung petang 2 Oktober 1968. Unjuk rasa dan orasi menolak penyelenggaraan olimpiade masih bergema ketika aparat militer Meksiko mulai mengepung. Menjelang pukul 6 petang, tetiba saja dua peluru suar ditembakkan ke arah massa yang memicu kepanikan dan berujung tragedi.
Di hari itu, ribuan mahasiswa kiri dari UNAM, IPN, serta beberapa kampus lain dan pelajar dari berbagai sekolah menengah atas yang tergabung dalam Consejo Nacional de Huelga (CNH) atau Dewan Mogok Nasional menggelar demonstrasi besar-besaran. Sudah sejak Juli CNH menentang pemerintah yang dikuasai rezim otoriter Partai Revolusioner Institusional (PRI) yang sudah berkuasa sejak 1944.
“Tahun 1968 di Mexico City jadi masa di mana aliansi antara pelajar, kaum pekerja, dan kalangan miskin kota mulai berani menentang rezim pemerintah. Para pelajar turun ke jalan-jalan, ke alun-alun, di dalam bus-bus, membentuk brigade rakyat. Tidak ada pemimpin sentral dalam gerakan mereka, hanya ada komite-komite yang punya tujuan menuntut demokrasi,” tulis pakar studi Amerika Latin Jeffrey Rubin di kolom majalah Dissent, edisi musim panas 2002, “From Che to Marcos”.
Baca juga: Enam Olimpiade yang Direcoki Boikot (Bagian I)
Di Tahun itu, ibukota Meksiko tersebut kebetulan jadi tuan rumah Olimpiade XIX yang dihelat rentang 12-27 Oktober 1968. Mexico City mengajukan diri sebagai host sejak 1963 dan kemudian sukses terpilih mengalahkan tiga kota lain: Detroit (Amerika Serikat), Lyon (Prancis), dan Buenos Aires (Argentina). Maka Olimpiade 1968 jadi momen pertama olimpiade dihelat di Amerika Latin dan perdana pula di belahan bumi selatan.
Rezim PRI yang dipimpin Presiden Gustavo Díaz Ordaz jelas takkan melewatkan momentum olimpiade untuk sportwashing (pencitraan) ke mata dunia. Maka faktor keamanan, termasuk dari gerakan-gerakan oposisi kiri, diprioritaskan betul olehnya. Untuknya, pemerintah sampai membentuk pasukan keamanan berseragam preman, Olympia Battalion.
Pasukan Olympia Battalion terdiri dari aparat-aparat militer, polisi, dan agen-agen keamanan federal. Tugasnya membungkam potensi-potensi gangguan jelang, selama, dan pasca-olimpiade. Pasukan inilah yang kemudian jadi pemicu provokasi dalam demonstrasi kolosal 2 Oktober 1968 dan berujung tragedi Pembantaian Tlatelolco.
Baca juga: Enam Olimpiade yang Direcoki Boikot (Bagian II – Habis)
Massa Pelajar Dibantai Paramiliter
Aksi demonstrasi 2 Oktober 1968 rencananya jadi klimaks dari protes CNH dan sejumlah oposan kiri. Aksi-aksi serupa sudah digelar sejak Juli dan Agustus yang berujung penahanan ratusan aktivis.
“Dengan ditahannya ratusan pelajar justru aksi-aksi lain yang berujung kekerasan bertambah masif sejak Juli dan Agustus. (Presiden) Díaz Ordaz merasa perlu mengisolasi massa yang dianggap barisan radikal itu agar tidak jadi ancaman keamanan nasional menjelang olimpiade. Maka ia menyetujui pengendalian keamanan yang terdiri dari 60 penembak runduk, tentara, pasukan berkuda, aparat kepolisian, hingga Olympia Battalion,” tulis Dolores Trevizo dalam Rural Protest and the Making of Demoracy in Mexico, 1968-2000.
Mulanya, sekira 10 ribu massa mahasiswa dan pelajar itu menggelar aksi protes dengan damai. Bahkan beberapa warga setempat yang tinggal di kompleks permukiman sekitar yang bukan bagian dari mereka sampai ikut menyaksikan aksi massa di Plaza de las Tres Culturas itu.
Baca juga: Saat Sungai Seine Berwarna Merah
Massa memfokuskan titik aksinya di alun-alun, tepatnya di dekat Kompleks Gedung Apartemen Chihuahua. Namun sejumlah aparat menyiagakan diri di berbagai titik lain dekat lokasi, di antaranya dekat Gedung SRE atau Sekretariat Kementerian Luar Negeri, Gereja Santiago de Tlatelolco, dan gedung-gedung apartemen lain di sekitar plaza.
“Massa dengan khidmat mendengarkan orasi-orasi para aktivisnya yang acap menyelipkan slogan-slogan provokatif, ‘No queremos Olimpiadas, Queremos Revolucion!’ (Kami tidak menginginkan Olimpiade, Kami menginginkan revolusi!), meski mereka diawasi sekira 5.000 aparat keamanan dan pasukan paramiliter bersenjata,” ungkap David L. Andrews dkk., dalam artikel “The Olympics and Terrorism” yang termaktub dalam buku The Politics of the Olympics: A Survey.
Namun pukul 5.55 petang waktu setempat, tiba-tiba saja sebuah peluru suar ditembakkan ke arah kerumunan massa dari salah satu menara Gedung SRE. Lalu 20 menit berselang, dua peluru suar ditembakkan lagi dari sebuah helikopter.
“Suar-suar yang muncul dari udara itu membut massa otomatis menengok ke atas. Lalu massa dilanda kepanikan dan mereka berlarian ke segala arah. Masih dipertanyakan siapa yang memerintahkan (penembakan peluru suar) itu,” singkap jurnalis Elena Poniatowska dalam bukunya, Massacre in Mexico.
Massa dan warga sekitar yang sebelumnya hanya jadi penonton, dilanda chaos dan tak bisa menyelamatkan diri ke manapun. Aparat gabungan sudah lebih dulu mengepung plaza. Atas alasan keamanan dan ketertiban, anggota-anggota Olympia Battalion yang berbaur dengan massa mulai melakukan penangkapan. Menimbulkan aksi kekerasan.
“Tembakan peluru suar itu sebenarnya jadi sinyal yang sudah disepakati sebelumnya, untuk kami memblokade dua akses (plaza) untuk mencegah siapapun masuk dan keluar,” aku Kapten Ernesto Morales Soto ketika diwawancara Poniatowska.
Baca juga: Kisah Penghadang Tank di Tiananmen
Banyaknya massa yang melawan saat ditangkap direspons aparat dengan tembakan. Kemelut itu juga memicu para penembak runduk yang memposisikan diri di atap Gereja Santiago de Tlatelolco untuk menyerang. Anggota-anggota Olympia Battalion di atap Gedung Apartemen Molino del Rey bereaksi serupa dengan memuntahkan peluru-peluru senapan mesin mereka.
Korban pun berjatuhan. Tak hanya dari pihak pendemo tapi juga warga biasa di sekitar lokasi yang terkena peluru-peluru nyasar. Sejumlah laporan investigasi independen mencatat, korban tewasnya antara 350-500 jiwa dan lebih dari 1.000 terluka. Sementara atau badan intelijen Meksiko CNI melaporkan ada sekitar 1.345 orang yang diciduk. Hasil investigasi Poniatowska juga mencatat sejumlah aksi penyiksaan terhadap mereka yang ditahan.
“Kepada media massa, rezim pemerintah Presiden Díaz Ordaz mengklaim aparat keamanan terpaksa melepaskan tembakan karena terprovokasi adanya tembakan dari pihak massa, meski faktanya saat itu massa pelajar sama sekali tak bersenjata dan kekacauan bermula dari tembakan suar aparat,” tandas Kara Michelle Borden dalam Mexico ’68: An Analysis of the Tlateloclo Massacre and its Legacy.
Baca juga: Richard Jewell dalam Kemelut Bom Olimpiade